Dies Natalis ke-53

“The illiterate of the 21st Century will not be those who cannot read or write, but those who cannot learn, unlearn and relearn “ (Alvin Toffler)

(UINSGD.AC.ID)-Istilah natal konon diambil dari bahasa Latin “Natalis”, lengkapnya “Dies Natalis”, yang berarti “hari lahir”. Menurut tutur sejarah, masyarakat pra Kristiani dalam kekaisaran Romawi menggunakan istilah ini untuk memperingati kelahiran Dewa Surya (Matahari), lengkapnya “dies natalis solis invicti”, yang berarti “hari kelahiran matahari yang tak terkalahkan”.

Pengertian ini kemudian dihubungkan dengan penyembahan kaisar sebagai Dewa Matahari. Kaisar (abad ke-3) menetapkan perayaannya pada 25 Desember, demi kehormatannya sendiri sebagai ‘Tuhan’. Menurut para sejarawan, Dies Natalis kemudian “dikristenisasi” sebagai “dies natalis” Yesus Kristus sebagai Matahari Kebenaran, Terang Dunia yang sebenarnya, Raja Alam Semesta, dan Tuhan yang sanggup turun dari takhta-Nya.

Berdasarkan kisah sejarah itu, tampak dies natalis telah menjadi semacam organisme hidup yang menyebar kemana-mana. Ia diambil pengertian dan maknanya oleh banyak peristiwa juga lembaga. Dies natalis menjadi semacam ‘axis mundi’ bahwa kelahiran adalah peristiwa sacral yang mesti dirayakan, mungkin diam-diam atau juga dengan kemeriahan.

Mengenang kelahiran adalah perjalanan menengok tonggak pertama di masa lalu. Sebuah gerak membaca ulang sejarah tentang niat, cita-cita dan keinginan. Apakah niat yang dirumuskan semula sudah benar. Tidakkah ia hanya bermetamorfosa menjadi mantera belaka? Apakah cita-cita yang dilisankan sudah dibuktikan dengan tindakan? Apakah keinginan yang diteriakan telah dijangkarkan pada kapasitas dan kapabilitas?

Dies Natalis adalah peristiwa mematutkan diri di depan cermin sejarah seraya melakukan refleksi diri dan merumuskan rencana masa depan. Kehidupan tak bisa hanya ditautkan pada sejarah kegemilangan di masa lampau tapi gagap menerka arah sejarah. Refleksi bukanlah tindakan pasif tetapi gerak pikiran untuk meraba dan mengantisipasi kejadian yang akan tiba di depan sana.

Bagaimana berrefleksi di peristiwa dies natalis UIN SGD yang ke-53?

Disrupsi digital telah menjadi penyebab sulit terbacanya masa depan. Maka tantangan terbesar dewasa ini adalah menghadapi masa depan yang tidak pasti. Ketidakpastian telah menjadi sumber kegelisahan banyak orang. Kegelisahan telah menjadi semacam ancaman terhadap semua bentuk kemapanan termasuk sistem pendidikan.

Mengurai kegelisahan akibat disrupsi digital tak bisa lagi diselesaikan oleh kemampuan ala Superman, Wiro Sableng atau pun Jaka Sembung, yang menyelesaikan persoalan secara sendirian. Dalam suasana disrupsi digital kekompakan tim dan keterbukaan untuk kerjasama adalah cara dan kunci yang paling bernilai dan menentukan. Kerjasama antar disiplin sangat menentukan karena factor perubahan ke arah inovasi dimulai dengan menumbuhkan kecerdasan kolektif.

Dengan kerjasama yang solid mari kita lecut “excellent innovation”. Tapi bagaimana cara mewujudkannya? Menurut para ahli, excellent innovation berasal dari kekuatan mindset. Alfred Binet penemu test IQ menegaskan bahwa pendidikan dan latihan yang tepat bisa membawa perubahan mendasar dalam kecerdasan. Bagi Binet, kecerdasan bukanlah sesuatu given. Kecerdasan bisa dilecut dan bahwa kemampuan dan keterampilan bisa diasah dan pilihan-pilihan strategi selalu ada.

Excellent innovation dilakukan oleh pembelajar yang tangguh dan bermental baja. Pada dirinya mengalir deras rasa ingin tahu. Memiliki kemauan tinggi. Mengkhidmati prinsip untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat di kandung badan. Konsisten menempa dan mengembangkan diri untuk perubahan. Seorang dosen atau mahasiswa harus memiliki “growth mindset “ untuk selalu menemukan kesuksesan dalam perbaikan diri dan pembelajaran, bukan sekedar kemenangan. Sebab, capaian akhir dari seluruh proses yang dilakukan adalah perubahan.

Excellent innovation dapat terwujud karena ia dijangkarkan pada kekuatan “future practice”. Sumbu dan energi kekuatan future practice adalah kreativitas dan imajinasi yang mungkin tak terlintas di benak banyak orang. Tak kalah penting yang dituntut dari keharusan tumbuhnya excellent innovation adalah adanya keinginan dan motivasi yang kuat untuk terus memberikan solusi dan manfaat yang sebesar-besarnya untuk perubahan.

UIN SGD sebagaimana tampak pada visinya hendak menjadi universitas Islam negeri yang unggul dan kompetitif berbasis wahyu memandu ilmu dalam bingkai akhlak karimah di Asia Tenggara tahun 2025. Jejak-jejak ke arah sana telah terlihat berdasarkan capaian dan sejumlah penghargaan yang diraih. Jejak-jejak prestasi dan kesuksesan itu bukan sekedar untuk menjadi superior, atau hendak menahbiskan diri untuk lebih hebat dari yang lain. Justeru sebaliknya, kesuksesan adalah hasil dari usaha yang dilakukan secara sungguh-sungguh. ” When you work your hardest to become your best “, begitu kata sebuah pepatah. Allahu a’lam[]
Tabik,

Dr. Radea Juli A. Hambali, M.Hum,. Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin (FU) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *