Tulisan ini diawali dengan suatu pertanyaan, apakah ketika kita menerima demokrasi dalam keadaan sadar? Jangan-jangan, kita memilih sistem demokrasi karena latah dan terpengaruhi oleh euforia global, tanpa mempertimbangkan kultur, tradisi, dan karakter budaya bangsa. Pertanyaan ini saya munculkan, karena “gara-gara demokrasi” negara ini riuh dengan caci maki antara kader partai dengan sesamanya, saling serang antarpendukung calon kepala daerah, dan bentrok antara demonstran dengan pihak keamanan.
Semua itu atas nama dan demi demokrasi. Pertanyaan selanjutnya, apakah memang hanya demokrasi satu-satunya sistem yang cocok untuk diterapkan dalam kehidupan politik kita, sementara sistem lainnya tidak cocok dan merupakan “Bid’ah Politik”? Alexander Pope, penyair Inggris (1688-1744), menyebutkan bahwa debat kusir harus ini harus itu tentang bentuk dan sistem pemerintahan hanya membuat “orang-orang tidak cerdas” saling bertikai.
Pemerintahan yang baik itu adalah pemerintahan yang diurus dengan benar, tidak ada urusan dengan bentuknya. Apakah demokrasi cukup ampuh untuk menciptakan stabilitas, kemakmuran, dan pemerataan? Apakah demokrasi memiliki korelasi positif dengan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat? Apakah demokrasi, yang membuka kran kebebasan, lebih penting daripada stabilitas?
Beberapa pertanyaan di atas tidak lantas menunjukkan bahwa saya anti demokrasi. Saya menerima seribu persen demokrasi. Saya pun tidak Yes Man pada Pope yang mengukur pemerintahan dengan efesiensi sistem administrasinya, sehingga jika administrasi suatu pemerintahan menghasilkan perkembangan ekonomi yang baik dikatakan sebagai pemerintahan yang baik, apapun sistemnya.
Baik buruk suatu pemerintahan tidak bisa hanya direduksi dengan tingkat administrasinya; terdapat banyak indikasi lain untuk pemerintahan yang baik. Namun, pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk menegaskan bahwa kita harus mendapatkan alasan paling rasional dalam menerima demokrasi dan memanfaatkannya untuk tujuan yang lebih penting lagi. Kenapa demokrasi diterima untuk kehidupan politik kita? Mungkin, salah satu jawabannya adalah karena sampai sekarang baru sistem ini yang bisa membuka ruang kebebasan kepada semua orang untuk berpendapat, bersikap, dan menuntut hak.
Andaikan suatu saat ada sistem lain yang lebih dapat menjamin kebebasan orang berpendapat, mendorong pemerataan kekayaan lebih luas, dan melindungi hak-hak sipil, kita akan menerima sistem tersebut. Kita tidak menempatkan demokrasi sebagai harga mati dan menganggap sistem lain sebagai “Bid’ah Politik”. Tidak ada satu kelompok politik pun di negeri ini yang menandaskan dirinya tidak bersifat demokratis dan bertekad menegakkan demokrasi, termasuk kelompok keagamaan sekalipun. Hal ini mengingat titik sentral demokrasi adalah penempatan kekuasaan pada partisipasi masyarakat dan sebagai pelaksanaan kehendak mereka. Dengan demikian, wajarlah kalau dikatakan bahwa demokrasi merupakan konsep yang diterima secara universal. Walaupun begitu, demokrasi bukan tujuan, tetap hanya sebagai alat untuk tujuan yang lebih besar, yaitu kemakmuran dan pemerataan. Apalah artinya kita memperjuangkan dan menegakkan demokrasi, bila ia tidak menjadikan perut rakyat menjadi kenyang, kemiskinan tidak teratasi, kekayaan negara tidak terdistribusikan secara merata, buta hurup masih tinggi di masyarakat, keamanan tidak terkendali, dan hak minoritas terabaikan.
Ketika kita memperjuangkan demokrasi, bukan artinya berjuang demi demokrasi, melainkan demi tujuan yang lebih tinggi darinya, yaitu terciptanya peluang-peluang kemakmuran dan kebebasan yang bertanggung jawab bagi semua orang. Sampai saat ini kita belum berhasil memanfaatkan demokrasi untuk kemakmuran, kesejahteraan, pemerataan, dan kebebasan yang sebenarnya. Demokrasi baru termanfaatkan oleh mereka yang memiliki nama tenar untuk politik dan kekuasaan. Selebihnya, demokrasi baru termanfaatkan di perguruan tinggi sebagai bahan baku pengetahuan dan tema-tema seminar.
Sementara itu, di tingkat bawah, demokrasi baru termanfaatkan untuk berdemo. Demokrasi mutlak harus dikawal oleh supremasi konstitusi, supaya tidak menimbulkan anomali. Di atas kemahadigdayaan demokrasi harus berdiri tegak konstitusi yang dijungjung tinggi semua orang. Seluas dan sebesar apapun ruang kebebasan yang ditawarkan oleh demokrasi tidak lantas bertentangan dengan nilai-nilai konstitusi. Bila tidak dikawal oleh konstitusi, demokrasi yang seharusnya menjadi berkah malah akan menjadi malapetaka. Akibat tidak terkendali oleh konstitusi, jangan disalahkan bila masyarakat tidak kerasan lagi dengan demokrasi, yang dampak lanjutannya adalah ketidakpercayaan mereka terhadap semua sistem yang dibangun dan ditawarkannya. Hal ini sama ketika kita tidak percaya terhadap sistem totaliter yang memasung kebebasan hingga kita menggantinya dengan demokrasi. Dan, jangan kaget pula bahwa jika suatu saat demokrasi akan dianggap sebagai “Bid’ah Politik”. Selain dikawal oleh konstitusi, demokrasi harus dipayungi oleh etika.
Etika harus dijadikan payung dalam setiap tindakan yang mengatasnamakan demokrasi. Bila tidak dikawal dengan etika, demokrasi akan berubah menjadi anarkhisme. Akibatnya, masyarakat akan menilai bahwa tatanan yang dibangun oleh sistem demokrasi tidak menghasilkan apa-apa kecuali “keributan” dan pertengkaran para elit kekuasaan. Tidak dapat dipersalahkan, andaikan terdapat sekelompok orang yang merindukan kembali lagi rezim represif yang menekan setiap perbedaan pendapat, karena demokrasi tidak dipayungi etika. Oleh karena itu, kita tegakkan demokrasi konstitusional dan bermoral, yang menempatkan konstitusi sebagai pengawal dan etika sebagai payungnya.
Sumber, Pikiran Rakyat 14 Maret 2012.