Dari Ritual ke Integritas Moral

(UINSGD.AC.ID)Dalam nalar iman, kehadiran pandemi covid 19 yang telah meluluh lantakan semua sektor kehidupan, tanpa terkecuali penyelenggaran ibadah haji dan umrah. Sejatinya menjadi momentum untuk melakukan sejumlah refleksi.
Refleksi dimaksud adalah inner journey, yakni sebuah proses “perjalanan ke dalam”. Perjalanan ini dilakukan untuk menemukan sejumlah masalah yang terkait dengan penyelenggaran ibadah haji dan umrah. Atas sejumlah masalah itu, kemudian kita melakukan kritik. Tentu saja, kritik dimaksud tidak selalu identik dengan mencari kesalahan. Nalar kritis kita hadirkan, untuk berusaha dengan tulus menempatakan sejumlah problematika penyelenggaraan ibadah haji dan umrah pada porsi dan posisinya.

Dalam “perjalanan ke dalam” ini, kita dihadapkan pada sejumlah realitas paradoks. Dirilis dari Data Kemenang RI tahun 2020. Dalam setiap tahun, animo jemaah Indonesia untuk melakukan ibadah haji dan umrah selalu mengalami peningkatan signifikan. Untuk ibadah haji, rata-rata waiting list jemaah Indonesia, sebelum covid 19, antara 17 sd 45 tahun. Untuk ibadah umrah, waktu yang dialokasikan untuk penyelenggaraannya adalah 10 bulan dalam satu tahun. Dalam alokasi waktu ini, jumlah jamaah umrah Indonesia pada beberapa tahun terakhir menembus angka 1 juta jamaah dalam setiap tahunnya. Itu artinya dalam setiap bulan tidak kurang dari 1000 jemaah Indonesia melaksanakan ibadah umrah.

Namun fakta tingginya animo jemaah untuk melakukan ibadah haji dan umrah ini, sangat paradoks dengan kenyataan kehidupan keseharian masyarakat Indonesia. Kita lihat misalnya, masih banyak kasus pelanggaran moral yang terjadi di negeri ini. Konon sebagaimana disitir oleh A. Ilyas Islamil (2018:109), ada seorang pejabat daerah ditangkap KPK tak lama setelah pulang ibadah umrah. Padahal baju seragam umrah dan sorban masih melekat di badannya. 

Sudah lama sesungguhnya, Nurcholish Madjid mengkrtisi fakta ini dalam narasi “Paradoks Indonesia”. Kata Cak Nur, ada tiga paradoks yang layak dikritisi, Pertama, Negara kita dianugerahi Allah SWT kekayaan alam yang luar biasa. Hingga Koes Plus pernah berdendang, “tongkat kayu dan batu jadi tanaman.” Tapi faktanya banyak rakyat Indonesia hidup miskin. Bahkan unuk semua kebutuhan pokok harus impor dari luar negeri. Kedua, jumlah penduduk indonesia sangat besar. Tetapi kualitas SDM negeri kita masih sangat rendah. Ketiga, masyarakat indonesia dikenal religius bahkan sangat religius. Tetapi faktanya ragam pelanggran moral tumbuh subur laksana cendawan di musim hujan. 

Dalam spirit refleksi, sejatinya kita hadirkan pertanyaan kritis, “mengapa semua ini masih terjadi”?. Diantara penyebabnya, konon paradoks ini muncul karena visi dan orientasi beragama hanya terfokus dan berhenti pada aspek ritual semata. Padahal jika ditelaah seacara seksama, dalam setiap ibadah ritual yang disyariatkan, selalu saja ada aspek sosial yang dihajatkan.

Pada ranah ritual, indonesia adalah potret tentang gegap gempitanya ibadah ritual. Banyak sekali masjid-masjid di kota besar yang disesaki para jemaah dalam setiap waktu sholat. Bahkan kegiatan dakwah di negeri ini tidak hanya terkait dengan momentum-momentum agama, seperti PHBI, momentum walimah (kenduri) dan rutinan saja. Bahkan momentum-momentum non agama kerap kali disleneggarakan kegiatan dakwahnya. Hari ini, dakwah di Indonesia tidak hanya identik dengan masjid dan madrasah. Bahkan tempat-tempat seperti Mall, area wisata, dan kafe kerapkali difungsikan sebagai tempat dakwah.
Namun sekali lagi gegap gempitanya dimensi ritualistik belum berbanding lurus dengan integritas moralitas. Diantara jawaban yang disodorkan para cendikiawan untuk mensolusi realitas paradoks ini adalah dibutuhkan reorientasi atau pergeseran perilaku keagamaan dari orientasi ritual unsich pada penguatan moral dan budi pekerti. Dari kesloehan individual (privat morality) menuju kesolehan sosial (public morality) bahan kesolehan institusional (institutional morality).

Kembali keawal, sesungguhnya pandemi membawa pesan dari ‘langit, agar kita rehat sejenak, untuk melakukan refleksi agar visi dan orientasi ibadah umrah bukan sekedar ritual tapi harus bergeser menuju integritas moral.

Aang Ridwan, Pembimbing Haji Plus dan Umroh Khalifah Tour dan Dosen FDK UIN Bandung

Sumber, Pikiran Rakyat 30 Maret 2021


WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *