UINSGD.AC.ID (Humas) — Tak ada kematian yang bisa dianggap sepele, terlebih jika yang mati itu adalah seorang guru yang karena ilmu, pengetahuan dan nasihatnya menjadi cahaya yang menerangi perjalanan. Menjadi kompas yang bisa memandu arah kemana kaki harus melangkah.
Pa Tafsir. Saya mengenalnya semenjak menjadi mahasiswa. Beliaulah yang mengenalkan saya pada rimba dan kerumitan filsafat. Sebuah ilmu yang menurut sebagian orang menyulitkan sekaligus “membahayakan”. Sebuah ilmu yang dikhawatirkan bisa mengguncang akidah dan “merobohkan” menara keimanan.
Di zaman ketika buku-buku filsafat masih langka, pak Tafsir adalah rujukan utama dan penafsir filsafat yang akurat. Ia seumpama filsuf yang dalam setiap pertemuan menyampaikan pemikiran dan menantang setiap kami untuk terlibat dalam pesona argumentasi filosofis yang menggugah.
Sungguh, saya menikmati setiap apa yang keluar dari mulutnya. Dalam setiap perjumpaan, baik di kelas, seminar ataupun dalam perjumpaan yang informal, ia seolah magnet yang menyedot perhatian dan keterpesonaan tentang rumitnya pemikiran dan uniknya akal manusia.
Di masa ketika buku-buku filsafat sangat terbatas dan menyulitkan untuk dicerna, pak Tafsir menampilkan wajah filsafat yang ramah dan mudah dikunyah.
Bacalah bukunya tentang “Filsafat Umum (Akal dan Hati Semenjak Thales Sampai James/Capra), Ia menuturkan filsafat sebagai disiplin yang gampang untuk dicerna kepala. Mungkin karena beliau ahli pendidikan, tahu betul cara menuturkan dan menyampaikan sehingga mudah untuk dipahami.
Bersama pa Afif Muhammad, pa Tafsir dikenal sebagai penulis yang produktif. Buah penanya merentang dari buku, makalah hingga artikel yang sering dimuat di koran Harian Umum Pikiran Rakyat. Sekali lagi, gaya bahasa dan frasa yang dipakai dalam setiap tulisannya selalu khas: renyah dan selalu gampang untuk dicerna dalam sekali baca.
Tak hanya dikenal sebagai pengajar, penulis produktif, pembicara handal di berbagai forum ilmiah, pa Tafsir di akhir masa hidupnya juga dikenal sebagai penempuh jalan spiritual. Sebuah laku perjalanan yang berusaha melatih dan menghidupkan hati sebagai sarana mendekat kepada yang Ilahi.
Bagi penempuh laku spiritual, disamping akal, hati juga adalah sumber kebenaran. Dipercayai, hati adalah instrumen penyempurna manusia karena yang Ilahi bersemayam di dalamnya. Maka memaksimalkan hati melalui riyadhoh akan memampukan manusia mencapai ma’arifatullah dan mengetahui rahasia-rahasia-Nya.
Pa Tafsir telah pergi menuju alam keabadian. Dari yang saya tahu, ia banyak meninggalkan jejak kebaikan sebagai penyampai ilmu dan kebijaksanaan hidup. Ketinggian posisi akademiknya sebagai ilmuwan (profesor) tak merubahnya menjadi ponggah dan tinggi hati, sebaliknya ia adalah contoh far excellence tentang kesederhanaan dan kebersahajaan.
Berkenan Allah SWT menerima kedatangannya, seumpama tamu istimewa yang disambut dengan kehangatan dan pelukan. Lalu menempatkannya di tempat terindah sesuai yang dijanjikan.
Dia yang sudah sempurna menjemput taqdirnya, berharap jiwa damailah yang menyertainya. Kematian bersama damai yang disertakan, itulah “wurdevoller tod” yang ditegaskan Martin Heidegger: Kematian yang bermartabat.
“Wahai jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridla. Masuklah sebagai hamba-hambaku. Masuklah ke dalam syurgaku”. Selamat jalan pa Tafsir[]
Radea Juli A Hambali, Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.