Dakwah Bahasa Sunda

Begawan Sunda, Ajip Rosidi, pernah kesal mendengar pengumuman DKM di sbh masjid di Bandung agar menyampaikan khutbah dalam bhs Indonesia, jangan pakai bhs Sunda, alasannya tidak semua jamaah mengerti bhs Sunda, walaupun, kata Ajip, kenyataannya semua jamaah mengerti bhs Sunda sbg bhs ibu.

Lalu Ajip pun menulis: “Hal demikian tidak hanya di kota-kota besar seperti Bandung dan Bogor, melainkan juga di kota-kota kecamatan yang jauh dari kota besar.” Ajip berkisah, pernah jum’atan di masjid Cilimus Kuningan, yang bukan hanya khatibnya berbahasa Indonesia, tapi juga ahli masjidnya yang mengumumkan keuangan masjid. Padahal, khatibnya pun bahasa Indonesianya tidak lancar, banyak menggunakan ungkapan-ungkapan bhs Sunda.

Sbg budayawan, Ajip pun bersabda: “Agama adalah sesuatu yang dekat dengan rasa yang paling dalam, tidak hanya berurusan dengan rasio semata, maka niscaya akan lebih menyentuh rasa yang paling dalam kalau disampaikan dengan bahasa ibu.”

Ajip juga memberi tahu bahwa sudah lama gereja-gereja di Jawa Barat mempelajari bahasa dan kesenian Sunda, dan menggunakannya untuk Kristenisasi karena akan lebih mudah diterima oleh orang Sunda bila disampaikan dlm bhs ibu. Ini, kata Ajip, belum disadari oleh para pelaku dakwah di Jawa Barat sehingga banyak DKM menganjurkan untuk tidak menggunakan bhs Sunda.

Saya empati dengan kegetiran Aki Ajip dan setuju dengan pandangannya.

Maka, saya pun menghimbau, wahai para kiyai, ajengan, da’i dan mubaligh di Jawa Barat gunakanlah bahasa Sunda dalam khutbah dan ceramah Anda. Di Jawa, Sulawesi dll juga gunakalah bhs daerah masing-masing agar terasa cita rasa keragaman budaya Indonesianya.

Bila saya sedang berada di Jawa atau Ujung Pandang saya ikhlas mendengar khatibnya berbahasa daerah yang saya tidak mengerti, karena saya tidak akan memahaminya dengan rasio tapi menghayatinya dengan rasa. Agama sejatinya ada di rasa. Suasana khusyu dan khidmat ibadah ritual lebih bermakna dan lebih kita butuhkan ketimbang faham tapi malah inginnya menyanggah dan membantah. Akhirnya, khutbah pun serasa seminar atau diskusi. (Ciputat, 20/10/2014/wanci 01.02)

Moeflich Hasbullah, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN SGD Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter