Selasa (11/2). Nama itu sah disematkan. Ia menjadi penanda tentang jenis bahaya yang kini mewabah. Dunia, bahkan sebelum nama itu dilahirkan telah merasakan akibat goncangannya. Dalam hitungan yang belum terlalu lama, tak kurang, 1.018 jiwa melayang. Dan dalam waktu yang singkat ia berhasil melumat. Ia menjadi “mesin” pembunuh yang paling berbahaya.

Di jaman ketika ruang dan waktu bisa dilipat dan menjadi dekat, nafas kematian gampang tercium. Di sebuah masa, ketika berita bisa secepat kilat mudah dibaca, ancaman hilangnya nyawa bisa menambah rumitnya persoalan. Tak juga masker yang bisa melindungi pernafasan. Tak juga sentuhan yang harus hati-hati dilakukan. Dunia dicekam seluruhnya. Dan kehidupan seumpama dibawa ke ujung kepunahan.

Dalam bahasa Zizek, inilah yang disebut dengan “The Real”. Sebuah kenyataan yang tak terduga. Tidak hanya membuat kita terkesiap. Ia juga berhasil memecah konsentrasi dari rutinitas keseharian yang kita hadapi. The real adalah sejumlah orang yang menjadi korban dengan segala kelemahan, kerapuhan, dan keanehan.

Apakah ini semacam siasat “perang dagang”? Adakah ini sejenis permakluman tentang strategi melumpuhkan lawan? Harap dicatat, China adalah raksasa yang bangun dari tidurnya. Ia menjadi mimpi buruk yang membawa pesan baru bagi siapapun yang hendak menghegemoni urusan ekonomi. Kini, China dengan milyaran penduduknya tak bisa dipandang sebelah mata. Tak bisa lagi dianggap sebagai anak gawang yang hanya melihat pertandingan dari luar lapangan.

China menjawab tantangan jaman. Ia telah menjadi pemain yang berada di dalam lapangan. Tak sekedar mengawasi, ia malah menentukan isi dan bentuk permainan. Ia tampil mengajari kita bagaimana cara berproduksi. Dunia tiba-tiba diserbu oleh apa-apa yang berbau China. Menjadi seumpama udara, ia menyelusup ruang-ruang kehidupan kita dengan barang ciptaan, rekayasa hingga jiplakan yang mirip aslinya.

Kita yang tak siap dengan “ala China” dibuat terkesiap. Kita gagap bersaing sembari menunjuk dan beralibi menyebut “serbuan” itu sebagai ancaman ideologi asing yang bisa memurtadkan. Di gelanggang penataran, dalam acara-acara berbau peneguhan keyakinan, bahkan melalui kolom dan cuitan yang bersliweran kita diingatkan dengan keras tentang bahaya itu.

COVID-19 adalah cara China mengajari dunia tentang bahaya yang tak bisa diduga. Ada rahmat tersamar dari kepanikan yang kita hadapi hari ini. Mungkin saja, ia adalah kesempatan untuk membuktikan sebuah tuturan suci yang gaungnya masih terdengar hingga hari ini: “ Tuntutlah Ilmu sampai ke negeri China”. Allahu a’lam[]

Bandung, 12 Pebruari 2020.

Dr. Radea Juli A. Hambali, M.Hum, Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *