(UINSGD.AC.ID)-Sebelum menghadapi perhelatan akbar Pilpres 2024, masyarakat Indonesia juga akan menyambut dua agenda besar yang telah menyedot animo masyarakat jauh-jauh hari, yaitu pertandingan sepakbola antara timnas Indonesia melawan timnas Argentina, kemudian konser grup band Coldplay.
Meskipun masih jauh pelaksanaan konsernya, 15 November 2023, grup band Coldplay asal Inggris ini telah mampu menyihir publik Indonesia. Tidak hanya fans beratnya yang dibuat terpesona, publik yang dianggap kontra dengan kehadiran grup musik ini pun dibuat gaduh karena dianggap band ini mengkampayekan LGBT.
Hampir terjadi di setiap adanya konser musik dari band-band fenomenal luar negeri. Hebohnya para fans dengan berbagai persiapan penyambutan, nonton dan berbagai ritual ketika kehadiran idola. Hampir dipastikan para fans ini kehilangan akal sehatnya. Kali ini, persiapan konser Coldplay pun lagi-lagi berhasil membuat beku akal sehat para penggemarnya.
Dengan harga tiket yang sangat mahal untuk kemampuan daya beli masyarakat Indonesia, para fans ini rela melakukan apa saja asal bisa melihat live. Tiket sebanyak kurang lebih 50.000 habis dalam waktu 3 jam. Harga tiket antara 800 ribu sampai 11 juta orang rela antre membeli tiket.
Para fans band ini berjuang mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk mendapatkan tiketnya. Itu semua demi gengsi dan mendapatkan momen langka yang entah kapan lagi akan terjadi, dan tidak mau ketinggalan yang sedang tren di masyarakat. Asumi-asumsi seperti inilah yang menggerakkan para fans ini untuk segera memenuhi ekspektasinya.
Media massa dan media sosial berhasil membuat masyarakat tertarik untuk melihat, dan terlibat dalam hiruk pikuk suasana konser yang terbesar di Indonesia tahun 2023. Mulai dari sekarang, Grup band Coldplay pun bisa dipastikan semakin populer, lagu-lagunya semakin sering diputar, orang yang tidak tahu menjadi tahu dan mencari informasi lebih detil tentang grup band ini.
Untuk mereka yang memiliki modal lebih mungkin tidak ada masalah sekadar menyisihkan uang sakunya membeli tiket. Namun untuk mereka yang tidak memiliki modal untuk membeli tiket, sampai rela menabung, menjual barang-barang berharga, menggadaikan barang-barang tercinta, dan ada yang pinjam ke pinjol.
Usaha ini hanya untuk mendapatkan kebahagiaan nonton konsep live semalam. Setelah itu, mereka harus memikirkan bagaimana cara mengembalikan barang berharganya yang digadaikan atau dijual demi tiket, yang bisa jadi didapatkannya dengan berdarah-darah dalam waktu yang cukup lama.
Setelah konser, foto-foto dan video yang menjadi dokumentasi dan untuk kenangan. Dampak berharga konser lainnya nyaris tidak ada.
Fenomena konser ini memperkuat budaya konsumtif dan menomorsatukan life style, mengejar gengsi semata, juga pola pikir yang salah penempatannya. Dengan penghasilan yang pas-pasan harus rela menghabiskan dana yang besar untuk waktu yang sesaat pula. Dampak kesenangan yang sesaat namun berdampak panjang.
Konser ini merupakan peran media yang telah berhasil melakukan konstruksi informasi semenarik dan sekuat mungkin. Media membantu melakukan promosi dan marketing dengan membranding Coldplay. Media mengeksplor kelebihan-kelebihan, keunggulan-keunggulan yang dimiliki Coldplay.
Dengan terus diberondong informasi setiap waktu, masyarakat menjadi tidak berdaya. Akal sehatnya menjadi beku dengan daya magis Coldplay. Media tidak mencoba menampilkan bandingannya.
Ketika ada efek negatif dari kegiatan besar ini, seperti sampai rela pinjam ke pinjol dan fenomena ganjil lainnya, baru media menyadari akan dampak buruk dari bujuk rayu konser. Media mengubah konten gemerlap konser dengan konten berbagai penderitaan para fans. Media menjadikan penderitaan fans ini sebagai komoditi informasi yang bisa menguntungkannya.
Masyarakat harus lebih jeli, cermat, dan kritis. Daripada harus menghabiskan tabungan dan pinjam ke sana ke sini, lebih baik simpan dana besar itu untuk hal-hal yang lebih bermanfaat. Jangan terlalu memikirkan gengsi, tren, karena yang pusing dan stres bukan orang lain, akan tetapi kita sendiri. Pertimbangkan masalah yang akan didapatkan pasca konser. Bisa jadi kebutuhan primer tidak pernuhi, namun kebutuhan konser dipaksa dipenuhi.
Aksi alumni 212 yang mendemo konsep Coldplay dengan alasan LGBT, bisa ditambah dengan alasan kehadiran konser ini bisa meningkatkan utang, stres, dan masalah konsumtif yang sudah akut. Kampanyekan juga bahwa masyarakat jangan memaksakan diri demi pencitraan agar dianggap orang mampu dan kaya yang sanggup membeli tiket, padahal untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja cukup sulit.
Serahkan saja pada orang mampu yang nonton konser, kemudian mereka membuat konten yang bisa kita nikmatinya di media sosial, tanpa harus lelah berjejal, kelelahan di kerumunan orang. Konten di media sosial seputaran konser akan jauh lebih variatif dibanding nonton langsung. Sambil minum kopi santai di rumah, kita bisa mendapatkan lebih banyak angle dan suguhan informasi tentang konser. ***
Encep Dulwahab adalah pengajar Komunikasi di Jurusan Ilmu Komunikasi UIN Bandung.
Sumber, Ayo Bandung Rabu, 31 Mei 2023 | 11:19 WIB