Bulan Safar, Momentum Instrospeksi Diri dan Menghargai Waktu

(UINSGD.AC.ID) — Islam tidak mengenal hari, bulan, atau tahun sial. Sebagaimana seluruh keberadaan di alam raya ini, waktu adalah makhluk Allah. Waktu tidak bisa berdiri sendiri. Ia berada dalam kekuasaan dan kendali penuh Rabb-nya.

Setiap umat Islam wajib berkeyakinan bahwa pengaruh baik maupun buruk tidak ada tanpa seizin Allah.   Begitu juga dengan bulan Safar. Ia adalah bagian dari dua belas bulan dalam satu tahun hijriah. Safar merupakan bulan kedua dalam kalender Qamariyah, terletak sesudah Muharram dan sebelum bulan Rabiul Awwal.

Ibnu Katsir ketika menafsirkan Surat at-Taubah ayat 36 yang membicarakan tentang bilangan bulan dalam satu tahun, menjelaskan bawah nama shafar terkait dengan aktivitas masyarakat Arab terdahulu. 

Shafar berarti kosong. Dinamakan demikian karena di bulan tersebut masyarakat kala itu berbondong-bondong keluar mengosongkan daerahnya, baik untuk berperang ataupun menjadi musafir.

Rasulullah sendiri menampik anggapan negatif masyarakat jahiliah tentang bulan Safar dengan sejumlah praktik positif. Habib Abu Bakar al-‘Adni dalam Mandhûmah Syarh al-Atsar fî Mâ Warada ‘an Syahri Shafar, memaparkan bahwa beberapa peristiwa penting yang dialami Nabi terjadi pada bulan Safar, di antaranya: (1) pernikahan beliau dengan Sayyidah Khadijah, (2) menikahkah putrinya Sayyidah Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib, (3) memulai berhijrah dari Makkah ke Madinah.

Untuk mengetahui lebih lengkap Khutbah Jumat tentang Bulan Safar, Momentum Instrospeksi Diri dan Menghargai Waktu oleh Prof. Dr. H. A. Rusdiana, Drs., MM., Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung silahkan kunjungi laman Naskah Khutbah Jumat ini


WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *