Dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa FAH UIN SGD Bandung
Acara puncak Pekan Ilmiah Mahasiswa (PIM) dan Aksi Kreativitas Akademik dan Budaya (AKRAB) Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) diisi Gebyar Budaya dengan tema “Bersama Membangun Insan yang Berakhlak Karimah dan Beradab” pada Jumat, 22 November 2019.
Acara dibuka dengan sambutan dan laporan dari koordinator kegiatan, Dr. Ading Kusdiana, M.Hum. Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan FAH tersebut melaporkan rangkaian kegiatan yang telah dilakukan dan rundown acara puncak hari ini.
Ading juga berharap orasi kebudayaan yang dibawakan KH. Acep Zamzam Noor bisa memberikan manfaat bagi civitas akademika di FAH, baik dosen, tenaga pendidik, dan terlebih lagi bagi para mahasiswa.
“Semoga KH. Acep Zamzam hari ini bisa memberi pencerahan dan manfaat dalam orasi budayanya bagi para mahasiswa FAH baik dari Prodi Bahasa dan Sastra Arab (BSA), Sastra Ingris (SI), Sejarah Peradaban Islam (SPI) dan bagi semua yang hadir, khususnya para calon sastrawan muda dari Prodi BSA dan SI,” ujarnya.
Dekan FAH, Dr. Setia Gumilar, M.Si. yang secara resmi membuka Gebyar Budaya yang dihelat di aula gedung Anwar Musaddad tersebut menyampaikan pentingnya acara hari ini. Menurutnya, mengkaji kebudayaan tidak lepas dari mengkaji manusia, eksistensi suatu kebudayaan tergantung pada peran manusia di suatu wilayah.
Perkembangan teknologi yang begitu pesat jangan sampai membuat kita tidak memanfaatkan akal pikiran dengan baik. “Mudah-mudahan KH. Acep Zamzam bisa memberikan pencerahan bagaimana agar akal pikiran kita tetap mampu melahirkan gagasan dan karya yang bermanfaat disaat pesatnya kemajuan teknologi seperti sekarang ini,” jelasnya.
Dekan juga mengutip pernyataan Emha Ainun Najib atau Cak Nun yang mengkritisi pengertian akal yang tertulis dalam kamus karena lebih banyak mengandung arti negatif seperti ‘mengakali’, ‘diakali’, dan lainnya. Padahal sejatinya akal merupakan dasar dan fundamen bagi kebudayaan.
Setia Gumilar juga mengutip pendapat Al-Ghazali tentang 3 tipe manusia, yaitu tipe makanan, obat & penyakit. “Filosofinya, orang dengan tipe makanan itu sangat dibutuhkan setiap orang, sedangkan tipe obat itu kadang diperlukan kadang tidak, dan tipe penyakit itu orang sangat tidak diinginkan oleh siapa pun & lingkungannya, jangan sampai kita termasuk yang terakhir ini,” jelasnya.
Menutup sambutannya, Dekan Setia berpesan agar minimal kita memahami eksistensi sebagai manusia, sehingga mampu melahirkan karya-karya bermanfaat dan lebih luasnya manusia Indonesia mampu bersaing dengan bangsa lain tanpa kehilangan identitas budaya dan jati dirinya.
Sebelum acara bincang kebudayaan dimulai, diselingi terlebih dahulu sajian musik dari mahasiswa. Penampilan pantun Sunda secara spontan dari Drs. H. Mahpudin Noor, M.Si. yang merupakan dosen FAH juga mampu mengundang gelak tawa para peserta.
“Aya roda dina tanjakan, kudana sok pupuiran, hampura ka Pak Dekan ieu mah sakadar sisindiran,” pungkasnya disambut tepuk tangan dan gelak tawa para peserta.
Acara bincang budaya sendiri dipandu Bunyamin Faisal, M.Pd., dosen Sastra Inggris FAH. Narasumber, KH. Acep Zamzam Noor menyampaikan pentingnya menjaga budaya, khususnya budaya Sunda. Menurutnya, pola pikir orang Sunda dipengaruhi lingkungannya, segaimana budaya lain juga demikian.
Orang sunda yang di zaman dulu hidup di wilayah berbukit, alam pegunungan hijau, air sungai jernih mengalir membuat mereka menjadi sosok yang ramah, terbuka, suka bergotong royong, silih asah asih asuh. Bahkan banyak tradisi orang Sunda zaman dulu yang menjadi inspirasi dalam membuat aturan perundanagan di pemerintahan.
Tradisi yang sudah dibangun dengan baik oleh para leluhur seharusnya tetap dijaga dan jangan dilupakan begitu saja. “Mungkin sekarang (cerita leluhur orang Sunda) sudah jadi dongeng, namun menurut Saya masih penting untuk terus digali dan dijaga, lihat saja Jepang dan Korea yang masih memegang teguh budaya mereka dan tidak tergerus teknologi. Tanpa bekal karakter dan budaya, kita akan hanyut dan hanya jadi follower saja yang akhirnya akan kehilangan identitas,” jelasnya.
Acep Zamzam Noor juga mengingatkan, sastra membuat sebuah negara lebih harmonis dan penuh toleransi. Bahkan, lahirnya Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari karya sastra.
Menurut putera ulama kondang KH Ilyas Ruhiyat itu, Sumpah Pemuda merupakan puisi yang luar bisa. Tanggal 28 Oktober 1928 sejumlah anak muda yang memiliki naluri kepenyairan berkumpul berimajinasi tentang sebuah bangsa.
“Kemudian mereka menulis sebuah puisi yang indah, yang saat ini kita kenal sebagai Sumpah Pemuda,” ujarnya. Sebuah puisi yang mengimajinasikan sesuatu yang dizaman itu belum ada dalam pikiran banyak orang, yaitu bangsa, tanah air dan bahasa.
Sastrawan asal Tasikmalaya ini menambahkan, Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedagang yang memegang teguh ajaran tasawwuf Islam, dimana ajaran tasawuf juga tak bisa dipisahkan dengan karya sastra para sufi. Sehingga, dakwah mereka dapat diterima penduduk lokal karena tidak serta merta mengganti budaya yang sudah ada.
Acara dilanjutkan dengan diskusi dan tanya jawab dengan pembicara, kemudian pembacaan pusi oleh Acep Zamzam Noor yang berjudul “Ada Banyak Cara” yang membuat para peserta merenung, riuh sekaligus tertawa karena puisi yang dibawakn sangat relevan dengan berbagai peristiwa dan kondisi bangsa saat ini. Acara bincang budaya ditutup dengan pembagian doorprize bagi peserta yang beruntung.
Selepas shalat Jumat digelar hiburan pagelaran wayang golek oleh dalang Opick Sunandar Sunarya. Para peserta terlihat sangat terhibur dengan acara ini, gelak tawa peserta selalu pecah saat Cepot, Dawala dan Gareng mengeluarkan lawakannya.
Tak lupa, anak dari dalang kondang Asep Sunandar Sunarya ini menyelipkan nasehat-nasehat bagi para mahasiswa agar sungguh-sungguh menjalani perkuliahan, berlaku lemah lembut dalam menasehati sesama, berakhlakul karimah sebagaimana akhlaknya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan harus mencintai serta memelihara budaya sendiri.
Selain itu, lewat tokoh Cepot, dalang juga mengingatkan bahwa wayang pernah dipakai sebagai media penyebaran Islam oleh salah seorang wali di zaman dulu.
Acara ditutup dengan pembagian hadiah bagi para peserta dari kalangan mahasiswa yang menjadi pemenang dalam berbagai lomba dalam kegiatan Pekan Ilmiah Mahasiswa (PIM) dan Aksi Kreativitas Akademik dan Budaya (AKRAB) Fakultas Adab dan Humaniora (FAH).[rls/IS]