Bibit Buit Hukum Rimba

Ucapan Tomas Hobes (1588-1679), homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lain) nyaris jadi kenyataan di negeri tercinta ini. Dalam tafsiran semantik, ucapan itu menyiratkan “siapa yang kuat dialah yang menang”. Ucapan itu menjadi teori yang senantiasa menarik hingga kini, termasuk di Indonesia yang konon adalah negara hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum, bukan negara kekuasaan atau negara yang mendasarkan diri pada hukum rimba.

Mari kita buka mata, dalam waktu kurang dari sebulan terdapat sejumlah kasus yang memperlihatkan secara telanjang kepada kita tentang masih berlakunya hukum rimba itu. Kasus penyerangan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), adalah salah satunya.

Segerombolan orang bersenjatakan bedil laras panjang, pistol, dan granat, menyerang Lapas Cebongan, Sabtu dini hari, 23 Maret 2013. Mereka memberondong empat tahanan di sel 5A, yakni Hendrik Angel Sahetapy alias Deki, Adrianus Candra Galaga, Yohanes Juan Mambait, dan Gameliel Yermiayanto Rohi Riwu. Mereka adalah tersangka penusukan Sersan Satu Santosa, anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus), di Hugo’s Cafe, DIY, 19 Maret 2013 lalu.

Pihak TNI AD telah membentuk tim investigasi untuk menyelidiki kasus ini. Menurut Kepala Staf TNI AD Jenderal Pramono Edhie Wibowo, tim investigasi itu dibentuk atas dasar dugaan keterlibatan anggota militer. Dalam perkembangannya, tim investigasi menyatakan kepada publik ada keterlibatan 11 anggota Kopassus Grup II Kandang Menjangan Kartasura Kabupaten Sukoharjo.

Sebelumnya, pada 7 Maret 2013 ada penyerangan dan pembakaran Markas Polres Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatra Selatan, juga diduga melibatkan oknum-oknum tentara, kali ini dari Batalyon Armed 76/15 Martapura, karena merasa tidak puas atas penanganan kasus penembakan rekan mereka oleh seorang anggota Satlantas. Menurut KSAD Jenderal Pramono Edhie Wibowo, anggota TNI yang diduga terlibat kasus ini sudah diproses dan tinggal menunggu persidangan.

Di sisi lain, ada pula polisi yang menjadi sasaran amuk massa. Kapolsek Dolok Pardamean AKP Andar Yonas Siahaan meninggal dunia setelah dianiaya massa di Desa Butu Bayu Panei Raja, Kecamatan Dolok Pardamean, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara. Saat kejadian, pada Rabu malam 27 Maret 2013, Kepolsek dan tiga anggotanya sedang berupaya menangkap bandar judi. Puluhan tersangka telah ditetapkan dalam kasus ini.

Tidak itu saja. Seorang perwira Polda Aceh, AKP Suhardiman (45), juga tewas ditikam oleh tetangganya sendiri, JB, pada Rabu 27 Maret 2013, karena masalah pribadi. Soal amuk massa, yang teranyar adalah pembakaran gedung-gedung pemerintah, partai politik, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Kota Palopo, Sulawesi Selatan,pada Minggu 31 Maret 2013, terkait pemilihan wali kota.

Sebelumnya, kasus main hakim sendiri, baik oleh anggota masyarakat maupun aparat keamanan dan penegak hukum sudah kerap terjadi. Mengapa mereka menempuh jalan pintas dengan menjadi jaksa, hakim, sekaligus eksekutor? Tidak berlebihan bila dikatakan karena kepercayaan mereka terhadap aparat penegak hukum sudah mencapai titik nadir. Maklum, proses peradilan selama ini banyak yang memperlihatkan belum berpihaknya aparat penegak hukum pada rasa keadilan masyarakat.

Contoh paling gamblang adalah peradilan terhadap Rasyid Rajasa (22). Putra bungsu Menko Perekonomian Hatta Rajasa yang menyebabkan dua nyawa melayang dalam kecelakaan lalu lintas pada tahun baru 2013 di jalan tol Jagorawi ini divonis “Cuma” enam bulan percobaan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur, pada Senin 25 Maret 2013.

Banyak vonis hakim lain yang memperlihatkan bahwa hukum ibarat pedang bermata tunggal yang hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Hukum juga ibarat jaring laba-laba yang hanya bisa menjerat serangga kecil, tapi tidak berdaya menghadapi serangga besar.

Maka, mereka pun menempuh jalan pintas: main hakim sendiri. Hukum rimba menjadi anutan. Dalam konteks ini, Indonesia telah gagal membuktikan diri sebagai negara hukum. Indonesia, dalam hal ini pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, juga telah gagal membuktikan janji tidak menyerah terhadap premanisme. Pemerintah pernah berjanji tidak akan pernah kalah terhadap segala bentuk kekerasan. Tapi, apa yang kemudian terjadi? Janji itu ternyata tinggal janji.

Jika kasus kekerasan yang juga me­nyerang simbol-simbol negara ini terus dibiarkan, jangan berharap supremasi hukum di Indonesia akan berdiri tegak. Kasus-kasus ini juga akan menimbulkan balas dendam atau aksi balasan. Homo homini lupus akan terus berkibar.

Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Himpunan Dosen Agama Islam Jawa Barat

Sumber, Galamedia 18 April 2013

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter