(UINSGD.AC.ID)-Seorang Muslim selalu menebar keramahan. Pada dirinya, tiada henti dia berzikir dan bersyukur pada Tuhan. Taat beribadah dan terus menjaga diri, sehingga hatinya tenang dan nyaman. Berpenampilan menarik, indah namun tetap sederhana, apa adanya.
Wajahnya penuh senyuman, tangannya dengan ringan membantu yang membutuhkan. Terlontar kata-kata yang baik, santun, penuh optimisme, memotivasi dan menenangkan yang sedang dilanda kesusahan. Tak ada jeda untuk menggunjing saudara.
Bersikap adil pada sesama, baik untuk yang miskin ataupun kaya. Cekatan dan riang gembira membantu saudara. Dilakukan bukan karena kepura-puraan dan citra. Sepenuhnya tulus ikhlas, refleksi dari pemahaman agama dan imannya. Diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a: Beliau bersabda, “Sesungguhnya sifat ramah itu membuat suatu urusan menjadi indah, dan jika sifat ramah telah dicabut, suatu urusan itu menjadi buruk,” (HR. Muslim).
Dalam interaksinya, sikap manusia pada sesamanya bisa ramah atau marah. Keramahan itu bekal untuk meraih kebaikan. Menebar kedamaian, tidak hanya pada yang se-agama, tapi juga untuk semua umat manusia. Bukankah kita semua adalah ciptaan Tuhan yang sama? Menjadi rahmat bagi seluruh alam dalam perannya sebagai pribadi, keluarga dan organisasi.
Dalam sejarahnya, ada surah khusus dalam Alquran, yaitu surah‘Abasa (bermuka masam). Memperingatkan Rasulullah SAW saat bermuka masam ketika didatangi sahabat yang buta, Abdullah bin Ummi Maktum. Allah SWT memperingatkan, jangan-jangan yang buta itu ingin menyucikan dirinya dari dosa, atau ingin mendapatkan pengajaran.
Sementara para pembesar Quraisy itu merasa dirinya serba cukup, tidak merasa perlu mendapatkan pengajaran, karena hidupnya dikuasai keangkuhan. Demikianlah hikmah sejarah, bahwa ramah pada sesama merupakan titah. Diriwayatkan dari Jarir, r.a: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa tidak memiliki sifat ramah, dia tidak akan mendapatkan kebaikan,” (HR. Muslim).
Dalam interaksi keseharian, kecongkakan dan wajah masam itu menyebalkan. Jika manusia saja tidak menyukainya, apalagi yang Maha Kuasa. Dari Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu Hurairah r.a: Rasulullah SAW, bersabda: “Keagungan adalah pakaian-Ku, dan kesombongan adalah selendang-Ku. Barangsiapa mencabut keduanya dari-Ku, Aku akan menyiksanya,” (HR. Muslim).
Mari belajar untuk bersikap ramah. Baik situasi berat, terhinakan, tertekan atau emosional. Tentu saja itu tidak mudah, karena itu belajarlah. Cermin sikap pribadi secara sosial seorang beriman. Dari ‘Aisyah r.a, Rasulullah SAW bersabda: “Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah Yang Maha Ramah menyukai keramahtamahan. Dan Allah menganugerahkan karunia-Nya yang Dia tidak berikan pada kekerasan atau lainnya (HR. Muslim). Wallaahu’alam
Iu Rusliana, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Sumber, Republika 20 Desember 2021