Sesungguhnya Allah Yang Maha Kuasa dan rasul-Nya menyukai orang yang rendah hati, penuh budi pekerti, dan membenci orang yang bermulut besar juga tinggi hati.
Dari Jabir RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di antara orang yang paling aku cintai dan paling dekat kedudukannya denganku pada hari Kiamat, yaitu yang paling baik budi pekertinya di antara kalian. Dan sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh kedudukannya denganku pada hari kiamat, yaitu yang banyak bicara, suka mengobrol dan bermulut besar.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kami telah tahu tentang orang yang banyak bicara dan suka mengobrol, kemudian apakah yang dimaksud dengan bermulut besar itu?”
Beliau menjawab, “Yaitu orang yang sombong,” (HR Tirmidzi).
Hadis tersebut mengingatkan tentang terpujinya orang yang rendah hati, mulia akhlaknya pada sesama, alam dan Tuhan. Manusia dilarang untuk bersikap sombong, berbuat sesuatu yang sia-sia, seperti banyak berbicara dan mengobrol tanpa manfaat. Lisan, perasaan dan tindakan hendaknya satu kesatuan yang tak pernah lepas dari kebermanfaatan.
Hidup di dunia ini laksana seorang murid yang ada di dalam kelas. Murid yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan akan merugi di akhir pembelajaran. Sekolah kehidupan mengajarkan manusia banyak pelajaran. Puncaknya, manusia diharapkan mampu mengetahui hakikat kehidupan.
Dalam prosesnya, orang tua harus didengar, anak muda harus mendengar. Orang tua berlimpah pengalaman kehidupan, anak muda penuh keberanian. Jadikan pengalaman dan keberanian sebagai modal menyongsong masa depan yang cemerlang. Jangan merasa hebat atas apa yang dicapai saat ini. Apalagi, merasa paling benar dan paling tahu.
Begitu banyak kekurangan yang tanpa disadari. Hanya Allah yang Maha Sempurna, sementara manusia sering berbuat kesalahan dan jauh dari kesempurnaan.
Perbanyaklah mendengar nasihat agar hidup selamat. Mendengar merupakan kekuatan untuk menghebatkan dan perbaikan yang tak berkesudahan. Mendengar itu butuh ketulusan, hati yang bebal, sulit menerima nasihat kebaikan. Bahkan hinaan pada diri kadang dibutuhkan untuk perbaikan.
Jangan malu meminta maaf dan teruslah belajar. Belajar tak sekadar pada mata pelajaran di bangku sekolahan, tapi pada sekolah kehidupan. Meminta maaf melegakan, memaafkan melapangkan.
Menjadi pemaaf memang tak mudah. Tapi yakinlah, Allah telah menyiapkan balasan terbaik bagi orang yang rela memaafkan. Pun sebaliknya, jangan merasa rendah karena meminta maaf.
Justru, di sanalah puncak dari kerendahan hati. Dengan meminta maaf dan mengakui kesalahan, maka kita akan melakukan koreksi diri dan terus menebar kebaikan.
Al-Ahnaf ibn Qais berkata, “Aku tidak memiliki satu orang musuh pun karena aku senantiasa mengamalkan tiga hal: Jika ada seseorang yang lebih baik dariku, aku mengakui kemampuannya. Jika ia lebih rendah dariku, aku tidak akan memperlihatkan kelebihanku di hadapannya. Jika ia sepadan denganku, aku akan memuliakannya dengan memaafkannya.”
Hiasi diri dengan budi pekerti yang baik, dan senantiasa berlemah lembut.
Iu Rusliana, Dosen Fakultas Ushuluddin (FU) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Sumber, Hikmah Republika 29 Desember 2020