Wakaf dan Kesejahteraan Sosial

Wakaf merupakan ibadah sunnah yang memiliki signifikansi tinggi dalam perwujudan kesejahteraan sosial. Meskipun tidak disebutkan dalam al-Quran, manfaatnya justru lebih bisa dirasakan dibanding zakat yang berstatus hukum wajib. Berbagai sarana dalam sejarah Islam, seperti madrasah, perpustakaan, masjid, jalan raya, pusat kesehatan, taman dan sebagainya, umumnya terwujud berkat wakaf.

Karena kesinambungan dan keabadian pahala wakaf ini, seperti disebutkan dalam hadis Nabi (sadaqah jariyah), banyak pihak terdorong untuk berlomba-lomba melakukan wakaf. Baik pejabat maupun orang biasa yang mampu aktif mewakafkan hartanya untuk kepentingan sosial, utamanya kesejahteraan sosial.

Tidak heran jika banyak tanah di berbagai negara Muslim merupakan tanah wakaf. Pada pertengahan abad ke-19, separuh dari tanah pertanian di Aljazair adalah tanah wakaf, sepertiga di Tunisia, dan seperdelapan di Mesir. Ketika Turki Utsmani berkuasa, tiga perempat tanah kekuasaannya adalah tanah wakaf.

Sistem dan praktik wakaf di dunia Islam di atas telah mengilhami beberapa negara Barat untuk membentuk yayasan (wakaf). Universitas Oxford, di Inggris, yang terkenal itu ternyata berdiri atas inspirasi wakaf yang berkembang di dunia Islam, seperti al-Azhar di Kairo.

Akan tetapi, signifikansi wakaf di atas mengalami kemunduran bersamaan dengan kehadiran kolonialisme ke dunia Islam. Salah satunya adalah akibat sikap paradox pemerintah kolonial terhadap wakaf, yaitu membiarkan wakaf status quo, di satu sisi, dan memandang wakaf sebagai properti tidak produktif, di sisi lain. Akibatnya, wakaf direkonstruksi ke dalam hukum keluarga atau hukum publik.

Kebijakan pemerintah kolonial ini diadopsi oleh para penguasa negara-negara Muslim yang baru merdeka. Mereka melihat wakaf tidak produktif dalam mendukung pembangunan ekonomi dan industri, di samping wakaf dipandang potensial untuk melawan penguasa. Karena itu, wakaf keluarga banyak yang dihapuskan, sementara wakaf publik dinasionalisasi. Inilah yang terjadi di Mesir masa Jamal Abdul Naser dan di Iran masa Shah Reza.

Belakangan muncul wacana revitalisasi wakaf, yang melibatkan dua kelompok intelektual di dunia Islam, yaitu fuqaha dan ekonom. Fuqaha berijtihad dalam menentukan hukum atas komoditas baru yang dapat diwakafkan, sementara ekonom berusaha mencari pola pengelolaan yang efektif secara ekonomis bagi wakaf. Salah satunya adalah wakaf uang.

Wakaf uang (awqaf an-nuqud, cash waqf) sesungguhnya dapat dicarikan dasar-dasarnya dalam hadis dan praktik kaum Muslim awal. Bukhari meriwayatkan bahwa Imam al-Zuhri menganjurkan masyarakat untuk mewakafkan dinar dan dirham bagi pembangunan sarana sosial. Itu dilakukan dengan menjadikan dinar dan dirham sebagai modal usaha, yang keuntungannya dapat dijadikan wakaf.

Praktik wakaf uang berkembang pesat semasa pemerintahan Turki Utsmani di dunia Islam. Fatwa syaikul Islam, Abu Su’ud, membolehkan wakaf uang yang dapat dijadikan sebagai modal usaha dengan menyimpan di bank negara agar produktif. Praktik ini kemudian diterapkan di wilayah kekuasaan lainnya, seperti di Mesir, yang kemudian mengalami perkembangan pesat.

Pengelolaan wakaf uang yang sangat maju saat ini terjadi di Bangladesh, yang dikelola oleh Social Investment Bank Limited (SIBL). Dalam praktiknya, bank ini memberikan sejumlah layanan, seperti (a) sebagai fasilitator penciptaan wakaf tunai dan membantu manajemen wakaf; (b) meningkatkan investasi sosial dan mentransformasikan dana wakaf menjadi modal; (c) memberikan manfaat bagi publik, terutama sector masyarakat miskin dari sumber-sumber yang diwakafkan oleh orang-orang kaya; (d) menciptakan kesadaran di kalangan orang kaya tentang tanggung jawab terhadap masyarakat miskin; (e) membantu pengembangan pasar modal sosial; dan (f) membantu upaya pembangunan negara dan menciptakan integrasi dan kedamaian sosial.

Kini di Indonesia, sudah ada Badan Wakaf Indonesia dan wakaf uang pun telah dibolehkan oleh MUI. Ini juga didukung oleh kesiapsiagaan bank-bank syariah, yang akan menerima dan mengelola dana wakaf. Karena itu, menjadi keharusan kita untuk bersama-sama menyosialisasikan wakaf tunai dan mengembangkan dana wakaf tunai ini agar dapat mewujudkan kesejahteraan sosial, seperti di masa lalu.

Seminar hari ini adalah salah satu upaya untuk memenuhi tujuan di atas, dengan harapan masyarakat dan kita semua semakin aktif untuk berwakaf, mengelola dan mengembangkannya menjadi modal yang dapat membantu mewujudkan kesejahteraan masyarakat miskin.[]

Deddy Ismatullah, Guru Besar Hukum Tata Negara, Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

 

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *