Tipologi Sikap Beragama

Komarudin Hidayat menyebutkan adanya lima tipologi sikap keberagamaan, yakni “eksklusivisme, inklusivisme, pluralisme, eklektivisme, dan universalisme”. Kelima tipologi ini tidak berarti masing-masing lepas dan terputus dari yang lain dan tidak pula permanen, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai sebuah kecenderungan menonjol, mengingat setiap agama maupun sikap keberagamaan senantiasa memiliki potensi untuk melahirkan kelima sikap di atas.[1]

Sekalipun ada perbedaan tipe-tipe teologis beragama dengan para penstudi agama lain, seperti Panikkar, yang menyebutkan tiga tipologi : eksklusif, inklusif, dan paralelisme, tetapi secara esensial penyebutan-penyebutan tipologis itu mengandung pada makna dan pengertian yang sama. Oleh karena itu, kita akan membahas tipologi-tipologi beragama itu.
1. Eksklusivisme

Sikap eksklusivisme akan melahirkan pandangan ajaran yang paling benar hanyalah agama yang dipeluknya, sedangkan agama lain sesat dan wajib dikikis, atau pemeluknya dikonversi, sebab agama dan penganutnya terkutuk dalam pandangan Tuhan.[2] Sikap ini merupakan pandangan yang dominan dari zaman ke zaman, dan terus dianut hingga dewasa ini.[3] Tuntutan kebenaran yang dipeluknya mempunyai ikatan langsung dengan tuntutan eksklusivitas. Artinya,kalau suatu pernyataan dinyatakan, maka pernyataan lain yang berlawanan tidak bisa benar.

Menurut Nurcholish Madjid[4], sikap yang eksklusif ini ketika melihat agama bukan agamanya, agama-agama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan  bagi para pemeluknya. Paradigma ini merupakan pandangan yang do-minan dari zaman ke zaman dan terus dianut hingga dewasa ini : “Agama sendirilah yang paling benar, yang lain salah”.

Bagi agama Kristen, inti pandangan eksklusivisme adalah bahwa Yesus adalah satu-satu jalan yang sah untuk keselamatan. “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes 14:6). Juga, dalam ayat lain (Kisah Para Rasul 4,12) disebutkan, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan”.[5]

Menurut Budhy Munawar Rachman[6], untuk contoh Islam, sekalipun tidak ada semacam kuasa gereja dalam agama Kristen, khususnya Katolik yang bisa memberi fatwa menyeluruh seperti contoh di atas, banyak penafsir sepanjang masa yang menyempitkan Islam pada pandangan-pandangan eksklusif. Beberapa ayat yang biasa dipakai sebagai ungkapan eksklusifitas Islam itu antara lain :

Hari ini orang kafir sudah putus asa untuk mengalahkan agamamu. Janganlah kamu takut kepada mereka; takutlah kepada-Ku. Hari ini Ku-sempurnakan agamamu bagimu dan Ku-cukupkan karunia-Ku untukmu dan Ku-pilihkan Islam menjadi agamamu ((Q.S.5:3).

Barangsiapa menerima agama selain Islam (tunduk kepada Allah) maka tidaklah akan diterima dan pada hari akhirat ia termasuk golongan yang rugi (Q.S.3:85).

Komarudin Hidayat menambahkan bahwa, sekalipun sikap eksklusif merasa dirinya yang paling baik dan paling benar, sementara yang lainnya tidak masuk hitungan, tidaklah selamanya salah dalam beragama. Sebab, jika eksklusivisme berarti sikap agnostik, tidak toleran, dan mau menang sendiri, maka tidak ada etika agama mana pun yang membenarkannya. Tetapi, jika yang dimaksud dengan eksklusif berkenaan dengan kualitas, mutu, atau unggulan mengenai suatu produk atau ajaran yang didukung dengan bukti-bukti dan argumen yang fair, maka setiap manusia sesungguhnya mencari agama yang eksklusif dalam arti excellent, sesuai dengan selera dan keyakinanya.[7]

Dalam jargon hidup politik modern, bersikap hidup seperti itu adalah beragama yang eksklusif atau sikap hidup yang kafir. Yang tentu saja mengabaikan sikap hidup yang pluralistik yaitu suatu sikap hidup yang benar, dan oleh sebab itu, juga sikap hidup yang beriman.[8]

Pada sisi yang lain, sikap ini menimbulkan kesukaran-kesukaran.

Pertama, sikap ini membawa bahaya yang nyata akan intoleransi, kesombongan, dan penghinaan bagi yang lain.

Kedua, sikap ini pun mengandung kelemahan intrinsik karena mengandaikan konsepsi kebenaran yang seolah logis secara murni dan sikap yang tidak kritis dari kenaifan epistimologis.[9]

Menurut Friedrich Heiler, seorang ahli Ilmu Perbandingan Agama dari Marburg menyatakan bahwa, secara tradisional tradisi agama Barat adalah eksklusif dalam sikap mereka terhadap agama-agama lain dengan memberikan kepada agama mereka sendiri validitas mutlak.[10]

Terlepas dari adanya kelemahan sikap eksklusivitas itu, biasanya komitmen dan sikap tegas dalam memelihara dan mempertahankan kebenaran agamanya adalah bisa dipandang positif. Sebab, sikap eksklusivitas itu tidak selamanya bisa disalahkan atau dipandang negatif, tetapi sikap demikian lebih banyak kepada faktor kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang agamanya, atau, bahkan lingkungan sosial dan kultural dimana ia hidup, sangat mempengaruhi dalam beragamnya.
2. Inklusivisme

Sikap inklusivisme berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh atau sesempurna agama yang dianutnya. Di sini masih didapatkan toleransi teologis dan iman. Menurut Nurcholish Madjid, sikap inklusif adalah yang memandang bahwa agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita.[11]

Paradigma itu membedakan antara kehadiran penyelamatan (the salvific presence) dan aktifitas Tuhan dalam tradisi-tradisi agama lain, dengan penyelamatan dan aktifitas Tuhan sepenuhnya dalam Yesus Kristus. Menjadi “inklusif” berarti percaya bahwa seluruh kebenaran agama non-Kristiani mengacu kepada Kristus. Paradigma ini, membaca agama orang lain dengan kacamata sendiri. Sikap beragama inklusif pun bisa berarti memasukkan orang lain dalam kelompok kita.[12]

Pandangan yang paling ekspresif dari paradigma inklusif ini tampak pada dokumen Konsili Vatikan II, mempengaruhi seluruh komunitas Katolik sejak 1965. Dokumen yang berkaitan dengan pernyataan inklusif berkaitan dengan agama lain, ada pada “Deklarasi tentang Hubungan Gereja dan Agama-agama Non-Kristiani”.

Teolog terkemuka yang menganut aliran ini adalah Karl Rehner, yang pandangan-pandangannya termuat dalam karya terbesarnya the Theological Investigation yang berjilid 20, dalam “Christianity and the Non-Christian Religions”, jilid 5. Problem yang diberikannya adalah, bagaimana terhadap orang-orang yang hidup sebelum karya penyelamatan itu hadir, atau orang-orang sesudahnya tetapi tidak pernah tersentuh oleh Injil? Di sini, Rahner memunculkan istilah inklusif, the Anonymous Christian (Kristen anonim), yaitu orang-orang non-Kristen. Menurut pandangannya, Kristen anonim juga akan selamat, sejauh mereka hidup dalam ketulusan hati terhadap Tuhan, karena karya Tuhan pun ada pada mereka, walaupun mereka belum pernah mendengar Kabar Baik.[13]

Dalam contoh Islam juga sering dikemukakan misalnya istilah dari seorang filsuf Muslim abad XIV, Ibn Taymiyah, yang membedakan antara orang-orang dan agama Islam umum (yang non-Muslim par exellance), dan orang-orang dan agama Islam khusus (Muslim par exellance). Kata Islam sendiri di sini diartikan sebagai “sikap pasrah kepada Tuhan”. Mengutip Ibn Taymiyah, “semua nabi dan pengikut mereka seluruhnya disebut oleh Allah adalah orang-orang Muslim”.

Hal itu sebagaimana dalam Alquran (S.3:85), “Barangsiapa yang menganut suatu din selain al-Islam maka tidak akan diterima daripadanya al-din dan di akhirat ia termasuk yang merugi”. Dan firman-Nya, “sesungguhnya al-din di sisi Allah ialah al-Islam” (Q.S.3:19). Dalam tafsiran penganut “Islam Inklusif”, bahwa sekalipun para nabi mengajarkan pandangan hidup yang disebut al-Islam, itu tidaklah berarti bahwa mereka dan kaumnya menyebut secara harfiah agama mereka al-Islam dan mereka sendiri sebagai orang-orang Muslim. Itu semua hanyalah peristilahan Arab. Para nabi dan rasul, dalam da’wah mereka pada dasarnya menggunakan bahasa kaumnya masing-masing. Alquran (S.14:4) menegaskan, bahwa “Kami tidak mengutus seorang Rasul; kecuali dengan bahasa kaumnya”.[14] Dengan demikian, kalangan Islam inklusif menganut suatu pandangan bahwa agama semua nabi adalah satu.

Sikap inklusivistik akan cenderung untuk menginterpretasikan kembali hal-hal dengan cara sedemikian, sehingga hal-hal itu tidak saja cocok tetapi juga dapat diterima. Sikap demikian akan membawa ke arah universalisme dari ciri eksistensial atau formal daripada isi esensialnya. Suatu kebenaran doktrinal hampir tidak dapat diterima sebagai yang universal jika ia sangat berkeras mempertahankan isinya yang spesifik, karena pencerapan isi selalu mengandaikan perlunya suatu ‘forma mentis’ yang khusus. Sikap menerima yang toleran akan adanya tataran-tataran yang berbeda, sebaliknya, akan lebih mudah dicapai. Sementara, suatu pola payung atau struktur formal dapat dengan mudah mencakup sistem-sistem pemikiran yang berbeda.[15]

Sikap inklusivitas memuat kualitas keluhuran budi dan kemuliaan tertentu. Anda dapat mengikuti jalan anda sendiri tanpa perlu mengutuk yang lain. Ibadah anda dapat menjadi konkrit dan pandangan anda dapat menjadi universal. Tetapi, pada sisi lain, sikap inklusivitas pun membawa beberapa kesulitan.

Pertama, ia juga menimbulkan bahaya kesombongan, karena hanya andalah yang mempunyai privilese atas penglihatan yang mencakup semua dan sikap toleran; andalah yang menentukan bagi yang lain tempat yang harus mereka ambil dalam alam semesta.

Kedua, jika sikap ini menerima ekspresi ‘kebenaran agama’ yang beraneka ragam sehingga dapat merengkuh sistem-sistem pemikiran yang paling berlawanan pun, ia terpaksa membuat kebenaran bersipat relatif murni. Kebenaran dalam arti ini tidak mungkin mempunyai isi intelektual yang independen, karena berbeda atau berlainan dengan orang lain.[16]
3. Pluralisme Atau Paralelisme

Dalam pandangan Panikkar dan Budhy Munawar Rachman, masing-masing menyebutkan istilah pluralisme dan paralelisme. Sikap teologis paralelisme adalah bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya : “agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama”; agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan Kebenaran-kebenaran yang sama sah”; atau “setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran”.[17]

Paradigma itu percaya bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatan sendiri. Karena itu, klaim kristianitas bahwa ia adalah satu-satunya jalan (eksklusif), atau yang melengkapi atau mengisi jalan yang lain (inklusif), harus ditolak demi alasan-alasan teologis dan fenomenologis.[18]

Menurut Komarudin Hidayat, sikap pluralisme lebih moderat dari sikap inklusivisme, atau bahkan dari eksklusivisme. Ia berpandangan bahwa  secara teologis pluralitas agama dipandang sebagai suatu realitas niscaya yang masing-masing berdiri sejajar (paralel) sehingga semangat misionaris atas dakwah dianggap tidak relevan.[19]

Sikap paralelistis memberikan keuntungan yang sangat positif; toleran dan hormat terhadap yang lain serta tidak mengadili mereka. Sikap ini pun menghindari sinkretisme dan eklektisisme yang keruh yang membuat suatu agama mengikuti selera pribadi; sikap ini pun menjaga batas-batas tetap jelas dan merintis pembaharuan yang ajeg pada jalan-jalan orang itu sendiri. Namun demikian, sikap paralelisme ini pun tidak lepas dari kesulitan-kesulitan.

Yang pertama, sikap ini  tampaknya berlawanan dengan pengalaman historis bahwa tradisi-tradisi keagamaan dan manusiawi yang berbeda biasanya muncul dari saling campur tangan, pengaruh dan fertilisasi.

Kedua, sikap ini dengan tergesa-gesa menganggap seolah-olah setiap tradisi manusia sudah memuat dalam dirinya sendiri semua unsur untuk pertumbuhan dan perkembangan lebih lanjut; singkatnya, sikap ini mengandaikan kecukupan diri dari setiap tradisi dan sepertinya menyangkal adanya kebutuhan atau kesenangan untuk saling belajar.[20]

Di lingkungan Islam, tafsir Islam pluralis merupakan pengembangan secara lebih liberal dari Islam inklusif. Misalnya, perbedaan antara Islam dan Kristen (dan antaragama secara umum) diterima sebagai perbedaan dalam meletakkan prioritas antara “perumusan iman” dan “pengalaman iman”. Menurut para penganut Islam pluralis (misalnya Schuon dan Hossein Nasr), setiap agama pada dasarnya distruktur oleh dua hal: “perumusan iman” dan “pengalaman iman”. Hanya saja, setiap agama selalu menanggap yang satu mendahului yang kedua. Islam, misalnya, mendahulukan “perumusan iman” (tauhid) dan “pengalaman iman” mengikuti perumusan iman tersebut. Sebaliknya agama Kristen, mendahulukan “pengalaman iman” (dalam hal ini pengalaman akan Tuhan yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang kemudian disimbolkan dalam sakramen misa dan ekaristi), dan “perumusan iman” mengikuti pengalaman ini, dengan rumusan dogmatis mengenai trinitas. Perbedaan dalam struktur perumusan dan pengalaman iman ini hanyalah ekspresi kedua agama ini dalam merumuskan dan mengalami Tuhan yang sama.[21]

Sekalipun demikian, sikap paralelistis, pada sisi yang lain, menjanjikan lebih banyak kemungkinan untuk suatu hipotesis kerja awal. Sikap ini sekaligus  membawa amanat akan pengharapan dan kesabaran; pengharapan bahwa kita akan berjumpa pada akhirnya, dan kesabaran karena sementara ini masih harus menanggung perbedaan-perbedaan kita.
4. Eklektivisme

Eklektivisme adalah suatu sikap keberagamaan yang berusaha memilih dan mempertemukan berbagai segi ajaran agama yang dipandang baik dan cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mosaik yang bersipat eklektik.[22]
5. Universalisme

Universalisme beranggapan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama. Hanya saja, karena faktor historis-antropologis, agama lalu tampil dalam format plural.[23]

Menurut Raimundo Panikkar, jika suatu perjumpaan agama terjadi, baik dalam fakta yang nyata maupun dalam suatu dialog yang disadari, maka orang membutuhkan metafora dasar untuk mengutarakan masalah-masalah yang berbeda. Oleh karena itu, tiga macam model perjumpaan agama bisa berguna, yakni model fisika : pelangi, model geomteri : invarian topologis, dan model antropologis : bahasa.[24]

Paradigma atau sikap beragama yang berkembang di dunia Kristen tersebut, ada hubungannya dengan teori W.C. Smith dalam mengkaji agama orang lain. Ada beberapa tahapan dalam hubungan antar agama yang akhirnya memunculkan dialog harmonis antar umat beragama. Tahapan-tahapan ini dianalogkan dalam bentuk : I, You dan We. “I” menunjukkan eksklusif. “You”, menunjukkan inklusif, dan “we” menunjukkan keterbukaan.

Para penganut agama memberikan tanggapan atau respon terhadap doktrin agamanya. Dalam memberikan respon ini, para penganut agama, paling tidak, memiliki tiga kecenderungan yang bisa diamati. Komarudin Hidayat memberikan ketiga kecenderungan itu, yang menurutnya bukan sebagai suatu pemisahan, yakni kecendeungan “mistikal”(solitary),“profetik-ideologikal” (solidarity), dan “humanis-fungsional”.[25]

Respon keberagamaan mistikal, antara lain, ditandai dengan penekanannya pada penghayatan individual terhadap kehadiran Tuhan. Dalam tradisi mistik, puncak kebahagiaan hidup adalah apabila seseorang telah berhasil menghilangkan segala kotoran hati, pikiran, dan perilaku sehingga antara dia dan Tuhan terjalin hubungan yang intim yang dijalin dengan cinta kasih.

Tipologi kedua adalah profetis ideologikal. Kecenderungan beragama model ini, antara lain, ditandai dengan penekanannya pada misi sosial keagamaan dengan menggalang solidaritas dan kekuatan. Oleh karenanya, kegiatan penyebaran agama dengan tujuan menambah pengikut dinilai memiliki keutamaan teologis dan memperkuat kekuatan ideologis.

Yang ketiga,humanis fungsional, adalah kecenderungan beragama dengan titik tekan pada penghayatan nilai-nilai kemanusiaan yang dianjurkan oleh agama. Pada tipe ini, apa yang disebut kebijakan hidup beragama adalah bila seseorang telah beriman pada Tuhan dan lalu berbuat baik terhadap sesamanya. Sikap toleran dan eklektisisme pemikiran beragama merupakan salah satu ciri tipe ini.

Kecenderungan keberagamaan di atas hanyalah merupakan respon aksentuasi dan tidak identik dengan totalitas doktrin agama itu sendiri. Partisipasi dan pelaksanaan seseorang ke dalam agama biasanya bersipat parsial, dibatasi oleh kemampuan, pilihan, serta kuat lemahnya komitmen iman seseorang. Namun demikian, dalam konteks hidup bermasyarakat dan bernegara, tipologi keberagamaan ketiga, yang menekankan orientasi kemanusiaan, perlu mendapat apresiasi dan penekanan. Hikmah hidup keberagamaan haruslah bermuara pada komitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan tanpa harus dihambat oleh sentimen kelompok keagamaan.[26]

Saya melihat bahwa, kelima tipologi beragama itu harus menjadi ciri dan karakter manusia beragama secara bersamaan. Sebab, tanpa kecenderungan beragama yang pertama, kedua,dst. tidak akan memunculkan kesadaran dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kalaupun terjadi, akan nampak kehampaan spiritual, yang akan muncul adalah keinginan timbal balik berupa penghargaan sosial atau penghormatan atas jasa.

Komaruddin Hidayat lebih cenderung pada pandangan inklusivisme beragama yang barangkali lebih mudah diterima ketimbang keempat faham yang lain, karena dalam faham inklusivisme seseorang masih tetap meyakini bahwa agamanya paling baik dan benar. Namun, dalam waktu yang sama, mereka memiliki sikap toleran dan bersahabat dengan pemuluk agama lain. Sejarah membuktikan bahwa semua pendiri agama besar selalu bersikap inklusif. Sementara itu, ketika eksklusivisme menjadi pandangan hidup atau ideologi beragama yang dianut para pemuka agama dan penguasa negara, maka biasanya agama bukannya menjadi sumber perdamaian, melainkan sumber konflik. Sedangkan pluralisme agama sebagai suatu keniscayaam teologis dan historis, sikap kedewasaan memeluk suatu agama akan tumbuh kebenarannya. Bisa jadi orang yang menganggap semua agama sama saja menunjukkan bahwa dia kurang taat dalam beragama serta tidak serius mendalami ajaran suatu agama.[27]

Inklusivitas beragama memang sangat diperlukan dalam memelihara perdamaian. Jika agama memang menyumbang perdamaian, maka agama – melalui para pengikutnya – harus belajar meninggalkan absolutisme dan menerima pluralisme. Kita boleh melihat agama sebagai absolut, karena mungkin inilah makna kepenganutan kepada suatu agama. Namun, pemahaman kita, baik pribadi maupun kelompok melalui indera akal dan batin, menyimpan kualitas kemanusiaan yang relatif. Karena itulah, tidak ada tempat bagi seseorang untuk mengabsolutkan faham keagamaan sendiri.[28]

Ibn al-‘Arabi telah pula meletakkan prinsip-prinsip fundamental spiritualitas agama yang mengungkai persoalan kebahagiaan (diferensiasi) agama dalam apa yang dia sebut sebagai “lingkaran keberbagaian religius” (the circle of religious diversity).

Prinsip-prinsip fundamental itu adalah, diferensiasi agama-agama wahyu (revealed religions) semata-mata karena diferensiasi hubungan-hubungan keahlian; diferensiasi hubungan-hubungan keilahian (divine relationships) semata-mata karena diferensiasi keadaan-keadaan (states); diferensiasi keadaan-keadaan semata-mata karena diferensiasi waktu; diferensiasi waktu semata-mata karena diferensiasi gerakan-gerakan; diferensiasi gerakan-gerakan semata-mata karena diferensiasi perhatian-perhatian; diferensiasi perhatian-perhatian semata-mata karena diferensiasi tujuan-tujuan; diferensiasi tujuan-tujuan semata-mata karena diferensiasi penyingkapan-penyingkapan diri; dan diferensiasi penyingkapan-penyingkapan diri semata-mata karena diferensiasi agama-agama wahyu; dan seterusnya.[29]

Inilah yang barangkali disebut sebagai pesan universal spiritualitas agama yang menjadi fokus perhatian sufisme – spiritualitas yang lebih menitikberatkan keserupaan (similarity) peran agama-agama sebagai jalan menuju kesempurnaan manusia, dan bahwa untuk meraih kesempurnaan itu terdapat banyak pintu menuju Tuhan sebagai tujuan ultima manusia yang bergerak meraih kesempurnaan religius tanpa harus terperangkap pada bentuk-bentuk formalisme dan pragmatisme ritual agama. Sebab, pada dasarnya manusia itu adalah beragama (“homo religiosus”).[30]

Tidak diragukan lagi bahwa pada masa-masa kontemporer terjadi pergeseran-pergeseran teologis tertentu yang jauh lebih kompleks dibandingkan masa-masa silam. Untuk konteks masyarakat Islam Indonesia, pergeseran pandangan teologis tertentu itu terlihat jelas sejak tahun 1970-an, berbarengan dengan dimulainya program modernisasi ekonomi dan sosial oleh pemerintah orde baru.[31]

Atas dasar itu, Azyumardi Azra menyebutkan adanya beberapa sikap berteologi umat Islam pada masa kontemporer. Tentu saja, sikap teologis ini bisa juga berlaku bagi agama-agama lain, dan sangat mempengaruhi pula terhadap proses dan dinamika kerukunan hidup antarumat beragama di Indonesia. Sikap-sikap berteologi itu adalah, teologi modernisme, teologi transformatif, teologi inklusivisme, teologi fundamentalisme, dan teologi neotradisionalisme.[32]

Teologi modernisme pada intinya berargumen bahwa modernisasi dan pembangunan umat Islam Indonesia harus dimulai dari pembaruan teologis dan aspek-aspek pemikiran lainnya. Tokoh teologi modernisme ini antara lain, Harun Nasution dan Nurcholish Madjid. Bagi Harun Nasution, teologi Asy’ariyah, yang disebutnya sebagai teologi tradisional,  tidak cocok dengan semangat kemajuan. Teologi yang cocok pada  saat sekarang adalah teologi yang rasional yakni teologi Mu’tazilah. Sedangkan Nurcholish Madjid bertitik tolak dari apa yang disebutnya sebagai “pembaharuan pemikiran”, yang mencakup sekularisasi, kebebasan intelektual, gagasan kemajuan, dan sikap terbuka.[33]

Teologi transformatif, dalam batas tertentu, merupakan bagian dari teologi modernisme, yang sama-sama ingin memajukan masyarakat Muslim, tetapi tidak menekankan pembaruan teologi. Sebaliknya, teologi transformatif memandang bahwa pembaruan itu harus dimulai dari masyarakat paling bawah (grassroots). Para protagonis teologi ini antara lain M.Dawam Rahardjo, Adi Sasono, Mansour Fakih, dan banyak aktivis LSM lainnya.

Teologi Inklusivisme, dapat pula disebut sebagai “teologi kerukunan keagamaan”, baik di dalam satu agama tertentu maupun antara satu agama dengan agama lainnya. Para pendukung teologi ini adalah A. Mukti Ali, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Djohan Effendi.

Teologi fundamentalisme,dalam banyak hal muncul sebagai reaksi terhadap teologi modernisme yang dipandang telah “mengorbankan” Islam untuk kepentingan modernisasi yang oleh kalangan fundamentalis dianggap nyaris identik dengan westernisasi. Tema pokok teologi ini adalah kembali kepada “Islam yang murni” sebagaimana dipraktikkan Nabi Muhammad dan para sahabatnya.Juga, tema lain yang cukup dominan adalah islamisasi pemikiran dan kelembagaan masyarakat Muslim.

Teologi Neotradisionalisme, muncul dan berkembang sedikit banyak sebagai reaksi terhadap teologi modernisme yang dipandang telah mendorong terjadinya “despiritualisasi” Islam dalam proses modernisasi. Salah satu tema pokok  teologi neotradisionalisme ialah kembali kepada kekayaan warisan spiritual Islam tradisional, khususnya tasawuf (dan tarekat), dan syariah.[34]

[1] Dalam tulisannya : “Ragam Beragama”, Andito (ed), Op.Cit, hal. 119

[2] Komarudin Hidayat, dalam Andito (ed), Ibid,  hal. 119

[3] Budhi  M.Rachman, Op.Cit, hal. 44

[4] Nurcholish Madjid, Dalam Kata Pengantar : Grose & Hubbard,  Op.Cit, hal. xix

[5] Budhy M. Rachman, Op.Cit, hal. 44

[6] Ibid, hal. 45

[7] Komaruddin Hidayat, dalam Andito (ed), Op.Cit, hal;. 120

[8] Viktor Tanja dalam Andito (ed), Ibid, hal. 76

[9] Raimundo Panikkar, Op.Cit, hal. 21

[10] Dikutip A. Mukti Ali, “IPA…”, Op.Cit, hal.85

[11] Grose & Hubbard, Loc.Cit

[12] Victor Tanja dalam Andito (ed), Op.Cit, hal. 76

[13] Budhy Munawar Rachman, Op.Cit, hal. 46

[14] Ibid, hal. 47

[15] Raimundo Panikkar,Op.Cit,  hal. 20

[16] Ibid, hal. 21

[17] Nurcholish Madjid dalam Kata Pengantar Grose & Hubbard (ed), Op.Cit, hal. xix

[18] Budhy Munawar Rachman, Op.Cit, hal. 48

[19] Komarudin Hidayat, dalam Andito (ed),Op.Cit,  hal. 119

[20] Raimundo Panikkar, Op.Cit, hal. 23

[21] Budhy Munawar Rachman, Op.Cit, hal. 49

[22] Komarudin Hidayat, dalam Andito (ed),Op.Cit,  hal. 120

[23] Ibid.

[24] Raimundo Panikkar, Op.Cit, hal. 24

[25] Lihat, Andito (ed), Op.Cit, hal. 43-44

[26] Ibid, hal. 45

[27] Komaruddin Hidayat dalam Andito (ed), Ibid, hal. 121

[28] Nurcholish Madjid, dalam Andito (ed), Ibid, hal. 161

[29]Ibid, hal. 71

[30] Mircea Eliade, the Sacred and the Profane, the Nature of Religion, A Harvest Book, Harcourt, Brace & World, Inc, New York, 1959, hal. 203.

[31] Azyumardi Azra, “Konteks…”, Op.Cit,  hal. 31

[32] Ibid, hal. 52-53

[33] Ibid, hal. 52

[34]Ibid, hal. 53

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter