Teologi Kerukunan

Di hadapan lebih dari 20 ribu peserta Gerak Jalan Kerukunan Umat Beragama tingkat Jawa Barat, Menteri Agama Suryadharma Ali antara lain mengatakan: “Menjelang 2014, kompetisi sangat ketat, ada pemilihan capres dan cawapres anggota DPR dan DPRD. Kompetisi yang keras jangan sampai membuat demokrasi berbuah bencana, jangan sampai chaos,” kata Suryadharma. Dia berharap, tidak ada percekcokan antar agama yang terjadi akibat agenda politik tersebut. Dia juga mengajak tokoh masyarakat dan agama serta elemen Forum Kerukunan Umat Beragama berada di garis terdepan untuk menjaga persaudaraan Indonesia.

Dari pidato Suryadharma, menurut saya setidaknya ada dua poin yang bisa digaris bawahi. Pertama, koflik atau yang beliau sebut percekcokan agama, sebagaimana diakui secara tidak langsung oleh beliau, sebenarnya lebih banyak dipicu oleh kepentingan politik. Poin kedua , agar bisa memaknai dan menjaga kerukunan antar umat beragama , umat beragama tidak bisa semata mengandalkan pemerintah tapi mesti berangkat dari tekad dan kemauan mereka sendiri.

Kedua poin ini menurut saya penting karena beberapa alasan. Pertama, bahwa agama adalah sumber perdamaian , sumber keabaikan dan sumber kerukunan. Banyak konflik yang bernuansa atau membawa label agama, saat diteliti lebih jauh ternyata akarnya bukan dari agama tapi dari factor lain. Faktor lain itu antara lain arogansi kelompok, kepentingan politik atau ekonomi.

Setiap konflik komunal di India yang diteliti oleh Asghar Ali Engineer secara pribadi atau oleh timnya, untuk mengetahui apa yang menjadi penyebab konflik, agama tidak pernah menjadi sumbernya. “Religion was not the cause of conflict, its political use was”.kata Jyoti Punwani dalam Mumbai Mirror , mengutip kata-kata Asghar Ali.( http://www.mumbaimirror.com/mumbai/others/There-will-never-be-another-Asghar-Ali/articleshow/20055415.cms diakses 15 Mei 2013) .

Investigasi yang dilakukan oleh Kontras Surabaya terkait konflik komunal di Sampang ,Madura, juga memperkuat temuan Asghar Ali . Fathul Khoir, anggota Kontras Surabaya dalam laporannya mengatakan bahwa konflik antara dua komunitas tidak didasarkan atas motif keyakinan tetapi oleh meningkatnya kompetisi antar elit lokal. Berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh Kontras, konfik diakibatkan oleh persaingan tokoh lokal, dimana tokoh lokal Sunni merasa terintimidasi oleh ceramah atau anjuran Kyai Syi’ah, Tajul Muluk. Tajul menyarankan kepada penduduk lokal untuk belajar ke SD negeri yang menawarkan sekolah gratis. Sejumlah kyai merasa tersinggung dengan anjuran itu karena mereka juga mengelola Sekolah Dasar Islam yang juga menerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). ) (Sumber : Sampang Sunnis: ‘No problem with Shiites’ The Jakarta Post, Jakarta, June 18 2013)

Jadi, penelitian atau investigasi yang berkali-kali dilakukan membuktikan bahwa konflik komunal sebenarnya tidak ada kaitannya dengan perbedaan keyakinan. Para elitlah yang kemudian berusaha menyeret konflik dan persaingan politik seolah menjadi konflik agama sehingga lahir apa yang sering disebut sebagai sectarian conflict. Pelopor sectarian konflik dalam sejarah Islam adalah kaum Khawarij melalui teologi kebencian dan ideology takfiriyyah.(mengakfirkan sesama muslim semata karena memiliki cara pandang yang berbeda dengan mereka)

Alasan lain yang menjadikan pidato Suryadharma itu penting adalah karena di ajang pesta demokrasi tahun 2014 nanti agama rawan disalah gunakan untuk kepentingan politik. Partai politik memang tidak boleh menjadikan agama sebagai alat politik atau yang dikenal dengan politisaisi agama Akan tetapi para politisi secara individu maupun kelompok terkadang menggunakan sentimen agama untuk kepentingan politiknya.

Politisasi agama akan mengakibatkan seseorang atau kelompok lain dianggap sebagai lawan atau musuh, semata-mata karena memiliki cara beragama atau identitas keagamaan yang berbeda. Oleh karena itu dalam kampanye, seseorang atau partai politik ,disamping dilarang mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, juga dilarang menghina agama. (Pasal 86 Undang Undang Nomor 8 tahun 2012).

Untuk itu , agar kerukunan umat beragama terus terjaga, dua hal berikut ini, menurut hemat saya perlu diperhatikan. Pertama, siapapun tidak dibolehkan menjadikan agama sebagai alat politik. Kedua, perlunya mepromosikan teologi kerukunan dan perdamaian bukan tologi kebencian.

Teologi kerukunan dan perdamaian menurut hemat saya, yang saya pahami dari ajaran al-Qur’an, memerlukan enam pedoman atau rambu-rambu sebagai berikut. Pertama, umat beragama mesti bisa menerima dengan ikhlas adanya perbedaan diantara mereka, karena perbedaan itu merupakan bagian dari “rencana” Tuhan.(QS 5:48). Kedua, tidak boleh ada intimidasi atau pemaksaan dalam urusan agama dan keyakinan. (QS.2: 256). Ketiga, umat beragama tidak boleh menghina satu sama lain karena perbedaan system keyakinan yang dimilikinya. (QS 6:108). Keempat, karena dalam hal sesat menyesatkan pada akhirnya Tuhan yang paling tahu, maka sebaiknya urusan ini diserahkan saja kepada Tuhan yang akan memutuskannya.(QS6: 159 dan QS 16: 125). Barangkali tuduhan atau klaim dari satu kelompok bahwa kelompknyalah yang benar sementara yang lain sesat, mungkin tidak bisa dihilangkan sama sekali dari wacana keagamaan. Namun setidaknya wacana ini tidak boleh digunakan untuk menghilangkan hak kelompok lain untuk menjalankan ibadah atau mengekspresikan keyakinan agamanya. Sebab kebebasan ini dilindiungi oleh konstitusi.

Kelima, tentang urusan keselamatan di akhirat atau surga, juga hendaknya tidak dijadikan pertentangan yang sengit diantara umat beragama, karena sebagaimana urusan sesat menyesatkan, urusan sorga dan neraka juga pada akhirnya merupakan hak prerogative Tuhan.(QS 2: 62 dan QS 5:69) . Keenam , semua umat beragama hendaknya sama-sama menjunjung tinggi nilai kemanusiaan universal, karena semua manusia pada dasarnya sama sebagai anak Adam yang dimuliakan Tuhan. (QS. 49 : 9-13).

Konflik komunal atau sectarian conflict sebenarnya bisa dicegah kalau umat beragama semakin cerdas, tidak mau diadu domba atau dijadikan alat politik praktis bagi elit-elit tertentu. Agama sebenarnya lebih tepat ditempatkan sebagai identitas budaya (cultural identity) ketimbang identitas politik (political identity). Keputusan Nahdlatul Ulama (NU) kembali ke khittah, artinya akan menjadikan tradisi NU sebagai cultural identity sehingga agama kemudian menyatu dengan budaya. Sebab tanpa budaya agama tidak akan ada bentuknya dan budaya tanpa agama akan kehilangan spirit atau roh-nya. Sementara dalam kehidupan sosial politik atau bernegara, segala regulasi atau aturan yang berpotensi melahirkan diskriminasi antar umat beragama selayaknya dikaji atau ditinjau ulang.[]

Nurrohman Syarif ( Dosen di UIN SGD dan Uninus, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama PWNU Jawa Barat)

Sumber,  Pikiran Rakyat 20 November 2013

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter