Solider Pada Alam

Di awal tahun 2014 ini langit Indonesia digelayuti awan hitam kecemasan yang susul menyusul. Berita yang terlihat di layar kaca juga informasi yang terbaca dalam media cetak memperlihatkan secara jelas deretan kecemasan itu. Dari persoalan korupsi para petinggi negeri yang berhasil diungkap KPK sampai pada berita banjir dan longsor yang menggoreskan nestapa tak berhingga. Dari dua berita yang membuat kita cemas itu, ujung-ujungnya rakyat banyaklah yang paling dirugikan, disergap prustrasi dan harus menyeka air mata berkali-kali.

Bahkan pada kasus banjir dan longsor, kita bisa mencermati secara jelas gurat kecemasan itu. Ribuan orang harus rela meninggalkan rumah yang tenggelam ditelan banjir memenuhi tenda-tenda pengungsian. Atau, sebagian orang harus dengan ikhlas merelakan saudara, tetangga atau kerabatnya yang hilang atau meningal karena tertimbun tanah longsor dan terbawa arus banjir. Banjir dan tanah longsor seakan menjadi kado pahit yang harus diterima  oleh sebagian masyarakat kita di awal tahun 2014 ini.

Tanah pertiwi yang pernah dinujum sebagai sorganya para dewa dewi yang menawarkan kenyamanan dan layak huni tiba-tiba berubah menjadi tanah “kutukan” yang meminta tumbal nyawa para penghuninya. Alam Indonesia yang dikenal ramah dan tenang tiba-tiba berubah menjadi musuh yang tidak lagi menawarkan suatu persahabatan yang tulus dan kebaikan bagi setiap penghuninya.

Tapi rasanya tidak adil jika seluruh penderitaan yang dialami oleh sebagian masyarakat kita ini karena “ulah” dan kejahatan alam semata. Nasehat-nasehat spiritual sebagaimana tertuang dalam kitab suci mengabarkan sebuah pesan bahwa, “munculnya kerusakan baik di daratan maupun di lautan disebabkan karena ulah manusia juga”.  Harus kita akui, cara kita memperlakukan alam dan lingkungan telah menyebabkan alam dan lingkungan tidak lagi menjadi sahabat yang memberikan kenyamanan. Cara kita yang semena-mena terhadap alam dan lingkungan telah menyebabkan alam menjadi musuh yang sewaktu-waktu bisa mengancam kelanggengan kehidupan.

Selaras dengan alam
Di titik itu muncul pertanyaan yang mendasar, bagaimanakah seharusnya manusia memosisikan diri dalam memperlakukan alam dan lingkungan? Sejatinya, nenek moyang bangsa ini telah mewariskan kearifan yang bernilai tentang hidup selaras dengan alam. Masyarakat adat Benuaq di Kalimantar Timur misalnya meyakini bahwa alam ini dihuni oleh makhluk dan roh-roh halus yang menempati pohon, batu, sungai, tempat-tempat keramat dan segala jenis flora dan fauna.

Lalu, setiap kegiatan yang dilakukan harus hati-hati karena setiap tindak-tanduk manusia dipantau oleh makhluk atau roh-roh halus itu. Apa yang dipahami dari kearifan tradisi masyarakat Benuaq ini bahwa alam juga memiliki kehidupannya sendiri, demikian pula manusia. Masing-masing penghuni alam tidak boleh saling mengganggu agar tercipta keselarasan kehidupan.

Juga dari tradisi jawa kita bisa belajar tentang kearifan keselarasan itu. Alam dan manusia diyakini memiliki pertalian batin yang erat. Alam adalah jagad gede (makro-kosmos), sedangkan manusia adalah jagad cilik (mikro-kosmos).  Rusaknya jagad gede (alam) akan mempengaruhi dan punya dampak yang sangat besar terhadap jagad cilik (manusia).

Dapat kita mengerti, munculnya larangan-larangan untuk tidak melakukan tindakan atau kegiatan yang bertentangan dengan alam melalui berbagai kiasan yang tumbuh di kalangan masyarakat adat sesungguhnya bertujuan untuk mematuhi hukum keselarasan itu. Bahkan pelanggaran terhadap kepercayaan ini bagi sebagian masyarakat adat akan disebut sebagai pelanggaran berat.

Hidup selaras dengan alam sebenarnya adalah pola interaksi yang sejati yang oleh Ignas Kleden (1988) disebut sebagai kerangka dasar kebudayaan manusia. Karena itu, dari perspektif lingkungan, kebudayaan bisa dimengerti sebagai keseluruhan usaha untuk mengubah lingkungan alam menjadi lingkungan manusia yang dibarengi dengan perlakuan  yang adil dan tidak merusak. Dengan penghayatan seperti ini, manusia adalah mahluk yang “membangun lingkungan”. Alam adalah suatu Aufgabe, suatu tugas dan kebajikan yang dilakukan manusia untuk selaras dengannya bukan wilayah yang diberikan sebagai warisan, Gabe.

Sebagai Aufgabe, manusia sebagai subjek yang memiliki akal pikiran dilarang memperlakukan alam secara sewenang-wenang. Alam adalah realitas hidup yang harus diperlakukan secara “manusiawi”. Karena itu, pola hubungan yang dibangun haruslah dilandasi oleh spirit relasi “I-Thou” (Martin Buber). Dalam relasi I-Thou, manusia dan alam adalah subjek yang sama-sama memiliki eksistensi. Manifestasinya adalah manusia menjelma menjadi sahabat dan mitra alam untuk menghasilkan keuntungan yang bisa dinikmati bersama-sama.

Sedangkan pola relasi sebaliknya adalah “I-It”. Dalam relasi ini, alam dilihat sebagai objek yang tidak memiliki hak untuk berada. Ia menjadi realitas bisu yang menunggu untuk diperlakukan apa saja oleh manusia. Barangkali, pola relasi inilah yang telah menyebabkan munculnya peristiwa bencana banjir dan longsor yang kini melanda sebagian besar wilayah di Indonesia.

Paradigma Cartesian
Keharusan untuk hidup harmonis dan selaras dengan alam sebagaimana terdapat dalam tradisi dan kearifan masyarakat adat lambat laun bergeser karena hadirnya ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang menenteng pola hubungan I-It berhasil mempengaruhi cara pandang manusia terhadap alam dan lingkungan. Dalam tilikan ilmu pengetahuan, manusia adalah pemilik alam karenanya manusia berhak untuk melakukan apa saja terhadap alam.

Dalam sejarah pemikiran, pemantik status istimewa tentang posisi manusia di hadapan alam ini dapat ditemukan dalam arus pemikiran Descartes. Dalam nubuwat Cartesian, manusia adalah res cogitans, sosok agung sang protagonis yang memiliki missio canonica (hak resmi) untuk mengontrol dan menjadi pemilik mutlak atas realitas alam (res extensa). Akibatnya, pengaruh nubuwat Cartesian ini telah menyebabkan manusia menjadi sangat egosentris. Alam dan lingkungan seluruhnya tergantung pada dan ditentukan oleh manusia. Sangat boleh jadi, rusaknya alam dan lingkungan kita dewasa ini disebabkan oleh logika Cartesian ini. Banjir juga longsor yang mendera mungkin berakar dari salahnya kita memperlakukan alam dan lingkungan.

Sudah saatnya manusia hari ini berlaku solider terhadap alam. Solider terhadap alam berarti ilmu yang dimiliki tidak harus dilihat sebagai alat kebangkitan dan kebebasan manusia dari alam atau pun lingkungan, tetapi sebagai kebebasan dan pengertian untuk menjaga dan memelihara alam. Ada hubungan niscaya antara keduanya sebagai sesama ciptaan Tuhan: Alam dan lingkungan berkewajiban menghidupi manusia dan manusia wajib melestarikannya. Hukum alam layak dihormati dan dimanfaatkan dengan penuh tangungjawab.

Kiranya, pandangan ini dapat memberikan pencerahan kepada kita untuk berpikir dan bertindak tidak berdasarkan “prosedur logis” melainkan menurut “prosedur dialektis”. Artinya, kemiskinan dan kerusakan alam-lingkungan akan selalu berhubungan erat dengan keserakahan dan kesembronoan manusia. Kekayaan dan kelestarian alam-lingkungan selalu berhubungan dengan tanggungjawab dan kesadaran ekologis manusia. Wallahu a’lam bi-Shawab***

Radea Juli A. Hambali, Pengajar Filsafat Pada Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.

Sumber, Pikiran Rakyat 20 Januari 2014

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter