Revitalisasi Spiritualitas Puasa

“Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berpuasa di dalamnya. Pada bulan itu, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan…” (H.R. Ahmad).

Itulah khutbah Rasulullah yang disampaikan di hadapan para sahabatnya tatkala menyambut kedatangan bulan Ramadhan tiba. Bulan Ramadhan itu sekarang sudah menghampiri kita. Suka atau tidak, kita harus tetap menjumpainya. Kedatangan Ramadhan biasanya mendapat respon beragam dari umat Islam, walaupun berpuasa padanya merupakan salah satu rukun Islam yang harus dijalaninya. Ada orang yang  meresponnya dengan positif; Ada yang meresponnya dengan negatif; Ada pula yang meresponya dengan biasa-biasa sajaSemuanya sangat bergantung kepada kualitas hati masing-masing. Itulah mungkin alasannya kenapa dalam sebuah haditsnya Nabi memuji orang yang menyambut Ramadhan dengan hati gembira. Tentu saja kita berharap termasuk orang yang menyambutnya dengan positif dan gembira.

Karena seringnya berjumpa,  puasa pada bulan Ramadhan sering disikapi sebagai ibadah rutinitas formal yang hampa dari penghayatan pesan moralnya. Tidak heran  kalau yang muncul kemudian di dalam Ramadhan adalah bentuk-bentuk formal saja, seperti berbuka, shalat tarawih, makan sahur, dan tadarusan.  Tentu saja bentuk formal itu pun sangat penting, tetapi lebih penting lagi jika bentuk formal itu disertai dengan penghayatan terhadap pesan moralnya.  Bukankah setiap ibadah mengandung nilai formal dan pesan moral?  Contoh, bentuk formal ibadah shalat adalah gerakan yang dimulai dengan salam dan diakhiri dengan ucapan salam. Sedangkan pesan moralnya adalah “mengingat Allah”, “menahan dari perbuatan keji dan munkar”, dan yang lainnya. Bentuk formal zakat adalah transaksi menyetorkan sebagian harta kepada fakir miskin, sedangkan pesan moralnya adalah “mengikis kekikiran”, “berjuang di jalan Allah”, “kepedulian kepada orang-orang tertindas” dan lainnya.

Sebagai ibadah-ibadah lainnya, berpuasa pun memiliki bentuk formal dan pesan moral. Barangkali itulah yang dapat kita simpulkan dari sabda Rasulullah SAW.,  “Begitu banyak orang yang berpuasa, tetapi yang diperolehnya hanya lapar dan dahaga.” (H.R. Ahmad dan al-Darimi).  Berpuasa hanya dalam bentuk formal, yakni menahan makan dan minum, hanya memperoleh lapar dan dahaga.  Hadits di atas sekaligus mengisyaratkan bahwa berpuasa tidak cukup hanya dengan menahan makan dan minum. Sementara dalam hadits lain Rasulullah bersabda,  “Siapa melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan (imanan) dan mengharap keridhaan Allah (ihtisaban), maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya terdahulu.”  (H.R. al-Bukhari, Muslim, dan lainnya).

Di dalam kitab Fath al-Bari  karangan Imam Ibn Hajar al-`Atsqalani, yakni syarah kitab Shahih Bukhari, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “imanan” adalah “meyakini akan kefarduannya”, sedangkan yang dimaksud dengan  “ihtisaban”  adalah “berpuasa dengan penuh gembira dan memperoleh pahala, bukan semata-mata puasa”. Hadits ini mengisyaratkan bahwa disamping menahan makan dan minum, puasa pun harus disertai dengan imanan  dan ihtisaban.  Jadi, ampunan Allah pada hadits di atas hanya diberikan kepada orang yang berpuasa dalam bentuk formal dan sekaligus memahami  pesan moralnya.

Bentuk formal puasa adalah “menahan diri dari sesuatu yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan disertai niat dan beberapa persyaratan”. Nilai pesan moral ini tersimpan dalam bentuk formal kegiatan bulan Ramadhan, mulai dari niat sampai dengan berbuka puasa. Nilai pesan moral niat berpuasa adalah perlunya rancangan yang tegas dalam menjalani roda kehidupan di dunia, mulai akil balig sampai meninggal dunia.  Menahan lapar berarti menjaga perut dari hal-hal yang diharamkan untuk dimakan.  Menahan haus berarti menjaga perut dari hal-hal yang diharamkan untuk diminum.

Berbuka puasa tidak berlebih-lebihan berarti tidak berlebih-lebihan pula dalam mengkonsumsi dunia; Shalat taraweh berarti memupuk kerjasama dan semangat berjamaah dengan sesama umat Islam; Tadarussan berarti menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidup; makan sahur berarti mempersiapkan segala perbekalan untuk menghadapi kematian; i`tikaf berarti melakukan introspeksi diri (muhasabah)  secara  intens; zakat fitrah berarti perlunya mensucikan diri dari noda-noda dosa, juga berarti kepedulian terhadap sesama. Di antara ibadah-ibadah mahdhah lainnya, ternyata puasalah yang paling banyak mengandung unsur latihan dalam menjalani beban hidup di dunia ini. Puasa sungguh merupakan pelajaran bagaimana menjalani hidup yang sesungguhnya.

Berpuasa secara formalitas, tanpa penghayatan terhadap pesan moralnya, memang terasa kering dan tidak banyak memberi perubahan bagi pertumbuhan rohani kita.  Sehingga begitu Ramadhan berlalu, kebiasaan buruk sebelum datang Ramadhan pun kembali dijalani, sesuatu yang semestinya tidak terjadi.  Puasa yang formalis tidak akan membawa revolusi besar-besaran terhadap jiwa. Tolok ukur keberhasilan puasa adalah la`allakum  tattaqun (Q.S. al-Baqarah, ayat 183), yakni bagaimana pelajaran-pelajaran yang kita dapatkan dalam berpuasa sanggup menambah kualitas ketakwaan kita kepada Allah. Di dalam Tafsir Ruhul Ma`ani  yang ditulis oleh al-Alusi, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan ungkapan la`allakum tattaqun adalah “supaya kalian dapat menghindari maksiat.”  Definisi maksiat, menurut kamus Lisan al-`Arab, adalah segala bentuk pembangkangan terhadap aturan-aturan Allah. Tolok keberhasilan puasa kita adalah sejauhmana puasa yang kita lakukan dapat menjadi perisai kita untuk menghindari maksiat.

Seharusnya, setiap Ramadhan mengantarkan seseorang ke pangkat ketakwaan yang semakin meningkat daripada sebelumnya. Jadi jika sudah berpuasa sebanyak 40 kali, seharusnya kita sudah berada di pangkat ketakwaan yang ke-40.  Jadi, berpuasa dapat diumpamakan sebagai training (riyadah) bagi seorang karyawan yang akan menduduki jenjang jabatan yang lebih tinggi daripada sebelumnya.

Selamat menunaikan puasa, semoga Allah memberi kekuatan kita untuk berpuasa secara formal dan sekaligus memahami pesan moralnya. Amiin.[]

Sumber,  Republika, 3 September 2008

 

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter