Revitalisasi Gerakan Kultural

2014 memang tahun politik. Namun tidak harus semua energi bangsa tersedot ke pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Ibarat pertunjukan, jika ceritanya berakhir, maka selesai pula pesta tersebut. Padahal episode utamanya adalah setelah Pemilihan Umum , dimana estafeta pembangunan harus dilanjutkan. Akselerasi mencapai tujuan bersama bernama kesejahteraan dan kemakmuran harus dikelola dengan baik.

Pengelolaan proses pembangunan mencapai kemajuan bersama itu dihasilkan dari Pemilu dan Pemilukada. Kepada wakil rakyat dan pemimpin eksekutif tertinggi, baik di pusat maupun daerah, lokomotif pembangunan dititipkan untuk dikemudikan menuju stasiun kesejahteraan bersama seluruh rakyat Indonesia. 

Agenda besar membangun bangsa tidak hanya di bidang politik–struktural, namun juga di wilayah kultural. Peran kelompok civil society sangat kuat dan diakui sebagai bagian penting. Merekalah yang sedari awal memastikan dan menguatkan elan vital  modal sosial (social capital). Jauh sebelum Indonesia merdeka, pesantren dan madrasah yang didirikan oleh ulama dan pejuang telah ada terlebih dahulu. Jauh sebelum ada panti asuhan dan rumah sakit milik pemerintah, Muhammadiyah misalnya, telah lebih dahulu mendirikannya. Demikian pula hal tersebut telah dilakukan oleh Ormas Keislaman lainnya seperti NU, Persis PUI dan yang lainnya, sama-sama telah berinvestasi di bidang social capital sebelum Indonesia merdeka.

Hanya saja, bila pun investasi itu sudah dilakukan berpuluh tahun lamanya, faktanya, umat Islam masih banyak yang miskin dan berpendidikan rendah. Sebuah fakta ironis yang menuntut semua pejuang sosial harus mengidentifikasi, apa yang menjadi inti permasalahan. Selanjutnya duduk bersama-sama, bergandengan tangan, mempercepat langkah menjadikan umat tidak lagi menjadi buih.

Tentu saja, upaya tersebut bukan perkara mudah. Sejarah gerakan sosial umat Islam menunjukkan bahwa ada sejumlah faktor yang menjadi penyebab,  mengapa antar Ormas Islam seolah “kurang akur”. Pertama, ego keorganisasian. Harus diakui, identitas organisasi yang ditonjolkan kerap menjadikan antar Ormas Islam mengalami sedikit friksi. Sesuatu yang wajar, apalagi jika konteksnya berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairât). 

Kedua, perbedaan paham fiqih. Adanya perbedaan paham di bidang ibadah, metode penggalian hukum, menjadikan seolah-olah ada perbedaan yang besar. Padahal hanya terjadi di cabang saja. Sesuatu yang telah terjadi sejak lama dan merupakan rahmat bilamana mampu dikelola dengan bijak. Misalnya doa qunut dalam shalat subuh, jumlah rakaat shalat tarawih dan yang lainnya. 

Ketiga, faktor politik eksternal. Dukungan terhadap partai atau kontestan tertentu menjadikan ormas Islam kerap berbeda dalam pilihan politiknya. Gesekan pun tak terhindarkan demi pemenangan. Ironis tentunya, karena yang dimenangkan adalah proses politik, sementara siapapun yang menang, kerugian akibat gesekan di lapangan adalah umat keseluruhan. Dalil agama yang disampaikan, kadang melibatkan emosi umat dan memanipulasi kebenaran. Dukungan membabibuta pun terjadi. Perbedaan pilihan disikapi dengan tidak bijak.

Atau boleh jadi, faktor politik transnasional yang terlibat. Gesekan Sunni-Syiah yang terjadi di Indonesia, hemat penulis, adalah salah satu fakta empirisnya. Fatwa sesat pun disampaikan, seolah putusan tentang kesesatan itu milik manusia, padahal sepenuhnya hak Allah Yang Maha Benar.

Keempat, intervensi lembaga lainnya. Selalu ada upaya untuk saling memanfaatkan dari berbagai lembaga baik dalam maupun luar negeri. Banyak kepentingan ada di dalamnya. Tentu saja, bagi mereka yang takut umat Islam besar, selalu berupaya menciptakan gesekan dan bahkan pertikaian terjadi.
 
Godaan Politik
Harus diakui, godaan untuk masuk ke ranah politik tetap tak terhindarkan. Apalagi organisasi sosial kemasyarakatan  yang anggotanya banyak. Ibarat bunga yang selalu ingin dihisap oleh para kumbang, seksi dan selalu jadi bahan rebutan para kontestan. Sejarah Pemilihan Umum (Pemilu) di negeri ini  memberikan gambaran, bagaimana ormas Islam terlibat penuh dalam kegiatan dukung mendukung kontestan pemilu di pusat ataupun daerah. Ketika telah terpilih, terjadilah balas jasa politik.

Bahwa elit umat harus terlibat politik, tentu saja itu keniscayaan. Karena memang faktanya, ketika sudah terlibat urusan publik, saat itu pula politik menjadi sesuatu yang tak terpisahkan. Selain itu, di negara berkembang seperti Indonesia, peran negara masih dominan dalam semua proses pembangunan. Simbiosis mutualisma antara negara dengan kelompok civil society penting dilakukan untuk memastikan semua upaya pembangunan tepat sasaran dan terjadi proses pemberdayaan.
 
Tugas Bersama
Tentu saja, politik tak harus membuat kita terus terbuai. Mari tengok data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga September 2013, ada 28,55 juta penduduk Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Jumlah sebesar itu, pastilah sebagian besarnya adalah umat Islam. Kondisi ini harus menjadi keprihatinan bersama untuk melakukan revitalisasi gerakan Islam kultural.

Untuk itu lah, ada beberapa strategi yang harus dilakukan. Pertama, perlunya untuk terus melakukan dialog dan forum kerja bersama antar Ormas Islam. Sebuah upaya untuk mengukuhkan kebersamaan dan mengurangi curiga.

Kedua, menjadikan entrepreneurship sebagai bagian tak terpisahkan dari organisasi. Muhammadiyah telah melakukan itu dengan amal usahanya yang jumlahnya ribuan. Dengan semangat kemandirian dan kewirausahaan sosial, Muhammadiyah telah mengukuhkan dirinya sebagai satu-satunya Ormas Islam yang memiliki sumber daya ekonomi yang sangat besar, sekitar Rp 15 triliun lebih.

Ketiga, terlibat secara konstruktif dalam pembangunan. Bukan hal haram jika elit ormas Islam masuk terlibat menjadi salah satu eksekutif, menjadi Presiden, Wakil Presiden, Menteri, anggota legislatif atau kepala daerah. Konsistensi perjuangan diuji, untuk tetap menjadi garda terdepan melakukan perubahan sosial. Jangan sampai, empuknya kursi kekuasaan, menjadikan lupa kepada khittah perjuangan.

Keempat, memastikan dalam proses kebersamaan ormas Islam, kader mudanya terlibat. Kepada mereka yang muda, semangat perjuangan harus ditularkan. Kebersamaan mengayuh biduk kultural bangsa ini diwariskan. Jangan tinggalkan generasi muda yang lemah, bermental picik,  hanya karena berbeda warna gerakan.

Kelima, menguatkan pondasi pendidikan. Jauh di atas itu semua, pendidikan menempati posisi utama untuk memastikan human capital umat menjadi kuat. Pendidikan di rumah, sekolah dan pesantren, dengan semangat kebersamaan yang dibingkai dalam perspektif multikultural harus menjadi agenda utama umat. Wallâhu’alam.[]

Dadang Kahmad, Guru Besar Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin, Direktur Program Pascasarjana UIN Bandung

Sumber, Pikiran Rakyat 10 Februari 2014

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter