Refleksi Teologis Kekerasan Terhadap Perempuan

 

Kekerasan, paling tidak dalam beberapa tahun belakangan, telah menjadi kosa kata paling aktual dan sangat populer di tengah-tengah peradaban global. la telah memasuki berbagai wilayah komunitas: politik, ekonomi, sosial, budaya, seni, ideologi, pemikiran keagamaan, bahkan dalam wilayah sosial yang paling eksklusif yang bernama keluarga. Sangat ironis bahwa dalam masyarakat modern yang dibangun di atas prinsip rasionalitas, demokrasi, dan humanisasi, budaya kekerasan justru semakin menjadi fenomena kehidupan yang tak terpisahkan. Dewasa ini kita menyaksikan dengan jelas munculnya berbagai peningkatan kriminalitas, kerusakan moral, perusakan lingkungan hidup, pemiskinan, pemerkosaan, dan pelecehan seksual. Semuanya adalah wadah budaya kekerasan. Orang segera dapat menyim-pulkan bahwa ideologi produk zaman pencerahan (‘ashral-tanwir/ renaisans) telah gagal memberikan jaminan kehidupan yang aman dan sejahtera bagi manusia. Ini boleh jadi karena ideologi telah melepaskan ketergantungannya kepada nilai-nilai spiritual yang transenden dan tak terpikirkan, sesuatu yang sesungguhnya merupakan dimensi lain dari manusia. Dalam bahasa lain, ideologi ini telah membunuh Tuhan dari kehidupan manusia.

Dalam kondisi yang mencekam seperti itu, sekarang ini banyak orang yang mencoba mencari paradigma alternatif bagi sistem sosial yang menolak kekerasan. Beberapa di antaranya menganggap bahwa sudah saatnya disadari bahwa peranan agama dalam proses kehidupan modern menjadi sebuah tuntutan yang tak terelakkan.

Tidak ada seorang pun yang menolak bahwa agama-agama dihadirkan Tuhan di tengah-tengah manusia dalam rangka menegakkan kemaslahatan, kasih sayang dan keadilan menyeluruh. Hal ini dinyatakan dengan jelas dalam Al-Quran, misalnya wa ma arsalnaka ilia rahrnatan li al-‘alamin. Pernyataan lain tentang ini juga diungkapkan dalam hadis Nabi Saw. “Innama bu’itstu li utammima makarima al-akhldq” (Aku [Muhammad] benar-benar ditugaskan untuk menyempurnakan akhlak [moral]). Teks-teks keagamaan ini merupakan landasan teologis bagi seluruh tatanan kehidupan umat manusia di mana pun dan kapan pun.

Al-Ghazali (w. 505 H/l 111 M), Hujjat Al-Islam, adalah tokoh pertama, sebelum ‘Izzuddin bin Abd Al-Salam (w. 660 H/1261 M) dan Abu Ishaq Al-Syathibi (w. 790 H/1388 M) atau lainnya, yang mencoba merumuskan ide normatif di atas secara lebih jelas. Dia mengemukakan lima asas perlindungan hak-hak dasar manusia sebagai jalan menuju cita-cita kemaslahatan dan kasih sayang di atas. Lima asas perlindungan yang dalam wacana Islam dikenal dengan istilah al-kulliyat al-khams atau al-dharuriyyah al-khams, yaitu hifzh al-din, hifzh al-nasf, hifzh al-‘aql, hifzh al-nasl dan hifzh al-mdl (perlindungan atas agama, jiwa, akal keturunan/ kehormatan dan harta). Lima hak dasar manusia ini, menurut mereka, bersifat universal dan diakui oleh semua agama dan me­rupakan norma-norma yang melekat dalam fitrah manusia dan kemanusiaan. Dalam arti lain, perwujudan perlindungan lima hal itu mengakomodasi kepentingan semua pihak, tanpa memandang keyakinan, golongan, warna kulit, etnis, dan jenis kelamin. Ini berarti juga bahwa penegakan hak-hak dasar manusia harus memper-lihatkan keadilan, kemerdekaan, dan kesetaraan manusia di depan hukum. Secara konsepsional pelaksanaan hak-hak ini ditempuh melalui dua cara: jalb al-mashalil dan dar al-mafasid menegakkan kebaikan-kebaikan/mewujudkan kesejahteraan umum dan menegasikan atau menolak segala hal yang destruktif.

Atas dasar ini, maka seluruh pemikiran dan sistem apa pun yang melegitimasi praktik diskriminasi, marginalisasi, misoginis, dan penindasan oleh dan terhadap siapa pun, harus ditolak demi agama dan kemanusiaan.

Dalam ajaran Islam, keharusan menegakkan kemaslahatan dan menolak kerusakan didasarkan hanya atas hukum-hukum Tuhan. Al-Quran menyatakan dengan jelas bahwa “Hukum hanyalah wewenang Allah. Dialah yang menyatakan kebenaran (al-Haq) dan dialah sebaik-baik yang memutuskan” (QS Al-An’am [6]: 57). Hukum-hukum yang dibuat oleh manusia, dengan begitu, hanya dapat dibenarkan sepanjang sesuai dengan hukum-hukum Tuhan tersebut. Arti lain dari ini adalah bahwa kekerasan, menurut pandangan Islam, di samping harus dihindari, hanya dinyatakan absah untuk dilakukan apabila dimaksudkan untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan dan sesuai dengan hukum-hukum Tuhan yang secara inheren dan rasional mengandung ide normatif di atas.

Samping karena kekuatan, kekerasan juga muncul karena adanya kekuasaan yang diabsahkan secara hukum dalam pengertiannya yang luas. Kekuasaan dalam berbagai wilayahnya, kecil maupun besar, selain memiliki hak untuk mengatur, bertanggung jawab, dan melindungi kemaslahatan (kepentingan) komunitas kekuasaannya, juga memiliki otoritas untuk menggunakan kekuatan dan kekerasan terhadap warga yang berada di bawah kekuasaannya demi kepentingan umum. Dengan demikian, ketika seseorang atau lembaga, secara hukum diberi kekuasaan menja-di raja, penguasa, pemimpin, penanggung jawab, atau apa saja namanya, maka secara implisit maupun eksplisit ia memiliki hak sepenuhnya untuk menggunakan kekerasan terhadap rakyat yang dipimpinnya atau orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, seperti seorang ayah untuk mendisiplinkan anaknya. Dengan logika seperti ini, kekerasan terhadap perempuan boleh jadi juga karena, antara lain, adanya kekuasaan laki-laki atas mereka. Bagaimana pandangan keagamaan Islam mengenai hal ini?

Dalam pandangan teologi yang dianut selama ini, kekuasaan hierarkis laki-laki atas perempuan adalah keputusan Tuhan yang tidak bisa diubah. Argumen yang diajukan untuk ini biasanya adalah pernyataan Tuhan dalam Al-Quran bahwa laki-laki adalah qawiud-mun atas perempuan, “Kaum laik-laki adalah qawwamun atas kaum perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” (QSAl-Nisa’ [4]: 34). Terhadap kata qawwamun, semua mufassir Al-Quran masa klasik maupun modern mengartikannya sebagai pemimpin, penanggung jawab, penguasa, pelindung, dan yang sej enisnya. Argumen yang dikemu-kakan untuk tugas kepemimpinan laki-laki atas perempuan ini, menurut ayat itu, adalah karena laki-laki memiliki kelebihan di-bandingkan perempuan.2 Dengan demikian, hierarki kekuasaan laki-laki atas perempuan telah mendapat legitimasi teologis. Dari sini selanjutnya dinyatakan bahwa pernyataan Tuhan tersebut merupakan ketentuan yang pasti dan tidak bisa diubah.

Meskipun konteks ayat ini menjelaskan kekuasaan laki-laki atas perempuan dalam lingkup domestik (rumah tangga), sebagian ulama menggeneralisasikannya dalam lingkup yang lebih luas, dalam urusan sosial dan politik atau dalam bahasa bukan Islam disebut mu’amalah al-maddniyyah. Teologi patriarkat seperti ini lalu berkembang menjadi istilah bagi semua sistem kekeluargaan maupun sosial. Konsekuensi pandangan ini sangat jelas; bahwa peran-peran perempuan dalam dunia publik dan wilayah domestik menjadi tersubordinasi oleh laki-laki.

Pada tataran realitas sosial, pandangan ini sering dijadi-kan dasar bagi kaum laki-laki untuk melegitimasi tindakan superioritasnya, termasuk kekerasan terhadap kaum perempuan, baik dalam wilayah sosial, politik, ekonomi, ritual, maupun do-mestik. Mafhum al-mukhalafah-nya adalah bahwa perempuan merupakan makhlukyang lemah dan tak berdaya. Selanjutnya cap subordinatif dan marginal segera dengan mudah ditimpakan kepa-da kaum perempuan. Misalnya, dikatakan bahwa secara kodrati tugas perempuan adalah di rumah, mengurus suami dan anak-anak, karena itu ia tidak berhak memimpin kaum laki-laki. la juga harus tunduk pada kekuasaan laki-laki. Pada gilirannya, keyakinan ini juga akan melahirkan kekerasan dan penyiksaan terhadap perem­puan secara fisik maupun mental.

Dalam sistem keluarga, ketika laki-laki dipandang sebagai pemilik kekuasaan atas keluarganya dan secara khusus atas perem­puan (istri), maka ia memiliki kekuasaan pula untuk mengatur segala hal yang ada di dalamnya, dan secara eksklusif ia juga dibe-narkan untuk melakukan tindakan-tindakan represif, jika memang diperlukan untuk menjaga stabilitas “negara”-nya itu.

Perspektif demikian juga mendapat legitimasi Al-Quran. Masih dalam Surah Al-Nisa’ [4]: 34, Al-Quran menyatakan, Perempuan-perempuan (istri-istri) yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka berilah nasihat yang baik dan biarkan mereka di tempat tidur dan pukullah. Tetapi jika kemudian mereka telah menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan (untuk melakukan kezaliman terhadap mereka). Nusyuz oleh para ahli Islam diartikan sebagai kedurhakaan dan ketidaktaatan istri terhadap suaminya. Kondisi seperti ini dianggap sebagai gangguan terhadap stabilitas keluarga yang jika dibiarkan akan dapat merusak integritas rumah tangga mereka. Kedurhakaan dalam arti teknis adalah ketidaktaatan istri terhadap suaminya, terutama dalam persoalan yang menyangkut hak-hak reproduksi perempuan, misal-nya hubungan seksualitas, sebagai hal inti dalam hubungan perkawinan. Ini misalnya ketika ia menolak ajakan suami untuk suatu hubungan intim. Hadis Nabi Saw. antara lain menyatakan, “Jika suami mengajak istrinya berhubungan seks, lalu istri menolaknya dan oleh karena itu suami menjadi marah, maka ia akan mendapat laknat para malaikat sampai pagi”. Dan masih banyak lagi hadis lain yang senada. Kebanyakan orang memahami hadis ini secara tekstual. Pemahaman ini selalu melihat teks sebagai apa adanya, tanpa mengkajinya secara substansial dan kontekstual. Apabila demikian yang terjadi, maka dapat dipastikan bahwa posisi kemerdekaan istri menjadi terancam. Ini juga berarti secara teologis pemaksaan dan kekerasan mendapatkan legitimasinya.

Beberapa penafsir hadis mencoba memberikan penjelasan mengenai konteks hadis ini. Imam Muhyi Al-Din Al-Nawawi (631-676 H/1233-1277 M), komentator  Shahih Muslim dan Musthafa Muhammad Imarah, editor Al-Jami’Al-Shaghir, misalnya mem­berikan catatan bahwa penolakan istri yang dianggap sebagai kemaksiatan dan karena itu berhak mendapat teguran atau hukum adalah bahwa apabila ada kesengajaan melakukannya atau tanpa ada alasan apa pun yang dibenarkan agama (syar’i). Secara lebih teperinci Wahbah Al-Zuhaili mengemukakan bahwa cap nusyuz terhadap seorang istri untuk relasi seksual itu adalah ketika ia tidak disibukkan oleh berbagai urusanyang menjadi kewajibannya, atau ketika ia tidak dibayang-bayangi oleh kekerasan yang mungkin dilakukan suaminya. Sementara Muhammad ‘Ali Al-Syaukani (1172-1250 H/1759-1824M) dalam penjelasannya mengenai hadis ini mengatakan bahwa jika si suami bertindak zalim terhadap istrinya, maka penolakan tersebut bukanlah pelanggaran. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk dihukum.

Bicara tentang “pemukulan”, satu wajah kekerasan fisik yang dalam ayat di atas mendapat pengesahan untuk dilakukan oleh suami sebagai tahap akhir dari upaya sang pemimpin mengembalikan stabilitas rumah tangganya, para ahli Islam sepakat bahwa ia tidak boleh sampai melukai atau yang dapat membahayakan tubuhnya, tidak pada wajah atau kepala. Mereka juga sepakat bah­wa yang terbaik adalah tidak menggunakan kekuasaannya itu. Rasulullah Saw., di samping tidak pernah melakukan kekerasan, juga menyatakan, “Jangan kamu memukul kaum perempuan dan jangan bertindak kasar terhadapnya”. Pada saat yang lain beliau juga mengatakan, “Yang paling baik diantara kamu adalah orang yang terbaik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik terhadap keluargaku. Tidak menghormati kaum perempuan, kecuali orang yang terhormat, dan tidak melecehkan kaum perem­puan kecuali orang yang tidak bermoral“.

Terlepas dari berbagai pertimbangan etis di atas, paradigma kekuasaan laki-laki tampaknya telah melahirkan konsekuensi terhadap teori perkawinan. Islam memandang bahwa perkawinan merupakan perjanjianyang menghalalkan laki-laki dan perempuan untuk menikmati naluri seksualnya. Melalui akad ini istri dianggap sebagai milik laki-laki (suami) dengan pemilikan intifa’. Dengan pemilikan ini, suami memiliki hak memonopoli kenikmatan atas istrinya itu, meski pada sisi lain si istri tidak selamanya terikat oleh suaminya. Pada kondisi tertentu ia dapat melepaskan diri. Keduanya dapat bercerai. Akibat lebih lanjut dari teori ini ialah bahwa suami tidak berkewaj iban menyetubuhi istrinya, sebaliknya istri berkewaj iban menyerahkan tubuhnya kepada suami manakala si suami membutuhkannya. Pelanggaran atas kewajiban ini jelas akan memunculkan sejumlah risiko berupa hukuman-hukuman.

Teori perkawinan sebagai perjanjian intifa’ (al-tamlik bi milk al-intifa’) ini memperlihatkan dengan jelas hak kesetaraan seksual suami-istri menjadi seksual yang absurd. Pendekatan yang for-malistis ini tampaknya juga tidak dikehendaki oleh para pendukungnya. Oleh karena itu, untuk mengatasinya mereka mengajukan pertimbangan-pertimbangan etis. Dalam hal ini mayoritas Hana-fiyah dan Syafi’iyah mengatakan bahwa sebaiknya tuntutan seksual istri sebaiknya dipenuhi oleh suaminya, sepanjang tidak berten-tangan dengan pertimbangan etika keagamaan (diniyyah)?

Kesetaraan hak seksual laki-laki-perempuan (suami-istri) mungkin dapat direalisasikan melalui pendekatan lain. Akad nikah bukanlah akad tamKk (pemilikan), melainkan akad ibahah (pilihan). Pada teori yang didukung oleh sebagian Syafi’iyah ini, konsep pernikahan bukan untuk memberikan kenikmatan seksual hanya kepada laki-laki (suami), tetapi juga kepada perempuan (istri). Konsekuensinya ialah bahwa istri berhak menuntut persetubuhan dari suaminya manakala ia menghendaki dan suami berkewajiban memenuhinya, demikian juga sebaliknya. Dari sini risiko-risiko yang diakibatkan oleh pelanggaran hak dan kewajiban, harus ditanggung oleh masing-masing secara proporsional. Barangkali inilah penyelesaian yang demokratis.

Dari uraiarrdi atas tampak jelas bahwa persoalan paling substansial mengangkat kekerasan terhadap perempuan adalah adanya pemahaman keagamaan (teologis) yang menganggap bahwa kekuasaan laki-laki atas perempuan merupakan keputusan Tuhan yang tidak dapat diubah. Atau dalam bahasa lain, hierarki kekuasaan laki-laki yang dianggap atau diyakini bersifat kodrat, fitrah, dan bukan karena alasan sosiologis ataupun kultural yang tentu saja kontekstual dan bisa berubah. Keyakinan seperti itu dengan sendirinya merupakan pelanggengan sistem diskriminasi terhadap jenis kelamin perempuan. Kesimpulan ini tentu saja tidak lantas meniscayakan pembalikan terhadap peran kepemimpinan atau kekuasaan. Ini terserah pada pilihan masing-masing. Ideal Islam, seperti dikemukakan pada awal uraian ini, paling tidak harus menjadi landasan bagi cara pandang kita terhadap perempuan, bahkan juga terhadap manusia dan lingkungan kehidupan. Dengan landasan ini, substansi kekerasan, ketikaia dibenarkan, harus dilihat dari sudut relasi kekuasaan. Jadi, tidak karena relasi laki-laki perempuan. Dengan arti lain, kekuasaanlah yang sesungguhnya mengesahkan kekerasan itu, bukan lantaran keyakinan superioritas laki-laki atas perempuan. Dengan begitu, perempuan tidak lagi dipandang sebagai makhluk Tuhan yang tersubordinasi, marginal, dapat dilecehkan atau diperlakukan secara zalim karena hal ini bertentangan dengan asas perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia yang menjadi ideal Islam dan kemanusiaan. Konsekuensi lebih lanjut dari ini adalah bahwa relasi suami-istri harus ditem-patkan menuju proporsinya masing-masing. Pandangan bahwa perkawinan merupakan perjanjian kepemilikan laki-laki atas pemanfaatan seluruh tubuh perempuan, dan karena itu ia diberikan hak menggunakan kekerasan, juga bukan dipahami dalam konteks kekuasaan di atas dan bukan dalam konteks kemanusiaan laki-laki-perempuan. Dalam konteks kesetaraan kemanusiaan ayat Al-Quran yang mengatakan dan para perempuan mempunyai hak yang setara dengan kewajibannya menurut cara yang makruf (QS Al-Baqarah [2]: 228), menjadi benar-benar relevan. Oleh karena itu, persoalannya bukan terletak pada siapa yang memiliki kesempatan dan kemampuan memimpin atau menjadi penguasa, laki-laki atau perempuan. Hak menggunakan kekerasan merupa-kan sesuatuyang melekat pada status penguasa. Ini tentu sajajika tuntutan keadilan dan kerahmatan memang mengharuskannya.

Kesimpulan demikian sejalan dengan pernyataan umum Al-Quran tentang kesetaraan laki-laki-perempuan, Sesungguhnya laki-laki dan perempuan Islam, laki-laki dan perempuan beriman, laki-laki dan perempuan yang taat, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang mengingat Allah, Allah menyiapkan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS Al-Ahzab [33]: 35). Ayat ini mengungkapkan dengan sangat transparan bahwa dalam hal amal, profesi, dan aktualisasi diri, laki-laki dan perempuan adalah sama di hadapan Allah. Yang membedakan satu dengan yang lain adalah hierarki ketakwaan, pengabdiannya kepada Allah, bukan hierarki jenis kelaminnya. Ini juga sejalan dengan ayat, Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu selain memahami satu sama lain. Sebenarnya siapa pun diantara kamu yang paling bertakwa, maka dialah yang paling terhormat. Sesung­guhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal (QS Al-Hujurat[49]: 13).

Sesudah ini, pertanyaan yang perlu diajukan adalah bagaimana kita mengusahakan terciptanya struktur sosial yang anti kekerasan, dan bagaimana agar kekerasan di tangan siapa pun tidak dimanfaatkan untuk melakukan penindasan dalam rangka kepentingan individu atau kepentingan kelompok orang atau golongan, termasuk bagi kepentingan jenis kelamin.

Sistem sosial dan keluarga yang menoleransi kekerasan, pada gilirannya pasti akan menciptakan rasa tidak aman dan mungkin saja faudha (chaos). Apalagi jika kepemimpinan atau kekuasaan dalam sistem sosial maupun keluarga digunakan untuk kepentingan duniawi (yang rendah, kini dan sesaat), maka ini berarti merupakan prakondisi untuk sebuah malapetaka, sebuah kehancuran.

Agama hadir untuk memberi rasa aman, damai, rahmat dan menegakkan keadilan. Sudah saatnya kini para penafsir teks-teks keagamaan dituntut untuk terlibat secara intens dalam upaya-upaya mengatasi semakin ingar-bingarnya kekerasan, baik dalam wilayah sosial maupun dalam wilayah yang lebih eksklusif rumah tangga, yang telah lama mengkonstruksikan kekerasan terhadap perempuan. Reinterpretasi pandangan atau pemahaman teologis (keagamaan) untuk itu adalah suatu keniscayaan.

 

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter