Pluralisme Beragama dalam Perspektif HAM

Term “pluralisme beragama” sesungguhnya bukanlah hal baru yang pertama kali kita dengar. Term tersebut sudah banyak dikenal khususnya di kalangan pemikir kontemporer dewasa ini. Dalam wacana keagamaan, term tersebut diasumsikan merupakan sikap keberagamaan yang humanis, terbuka, dan toleran. Sekurang-kurangnya pluralisme dapat difahami sebagai bentuk kesadaran menyeluruh dalam beragama dan lebih dari sekedar keyakinan terhadap agama itu sendiri.

Agama seringkali hanya difahami sebagai sistem kepercayaan atau keyakinan terhadap ajaran Tuhan, sehingga berimplikasi kepada pemahaman bahwa agama adalah sebuah doktrin teologis. Hal ini disebabkan oleh pengkultusan terhadap“agama” ketimbang memahami “inti” dari ajaran agama itu sendiri. Agama hanya dilihat sebagai “bentuk” dan bukan sebagai “esensi” yang mengajarkan ketundukan terhadap Tuhan, kebenaran, keadilan, etika, dan moral.

Disinyalir oleh sebagian pihak, agama sementara ini ditempatkan sebagai pedoman hidup yang menyodorkan berbagai prinsip keteraturan mengenai bagaimana manusia hidup dan kemana tujuan akhir manusia itu. Setiap penganut agama memiliki kecenderungan untuk mentaati dan mematuhi ajaran agama yang diyakininya. Misalnya saja, H.A.R. Gibb dalam The Modern Trend of Islam menyebutkan bahwa setiap penganut agama hendaknya tunduk dan patuh terhadap ajaran agama yang dianutnya (everyone has an obligation to obey his or her own religious rules). Pandangan tersebut bukan hanya memposisikan agama sebagai keyakinan melainkan juga sebagai sistem hukum.

Sedangkan Hassan Hanafi menarik arah pemahaman tersebut kepada pola hermeneutik yaitu pemahaman terhadap agama hendaknya ditempatkan pada hubungan antara kesadaran dengan obyeknya, yakni teks-teks suci. Menurutnya pemahaman keagamaan bisa dibangun atas dasar: pertama, kesadaran historis terhadap otentisitas suatu teks suci dan orisinalitasnya; kedua, kesadaran eidetik yang menjelaskan bagaimana kita bisa memahami teks suci dengan cara rasional dan logis; dan ketiga, kesadaran praktis sebagai bentuk kerangka teoritik yang akan membawa kesadaran insani kepada kebenaran yang hakiki.

Kita lebih sering melihat perdebatan tentang ajaran agama ketimbang memahami pesan-pesan ajaran agama. Disepakati atau tidak, munculnya bentuk pemahaman “liberal” terhadap ajaran agama hendaknya bukan dianggap sebagai “genderang perang” terhadap kalangan “fundamentalis”. Penafsiran non-literalis dan re-interpretasi ulang pemahaman terhadap ajaran agama yang digagas kalangan liberal sesungguhnya merupakan bagian dari pemahaman ajaran agama.

Sebaliknya pandangan bahwa agama difahami sebagai suatu keyakinan atau ajaran yang utuh (kaffah) melalui pemahaman literalis dan dogmatis juga tidak sepenuhnya melahirkan akar fundamentalisme. Karena segala bentuk interpretasi manusia terhadap sesuatu yang berlebihan akan menjadi sebuah pembenaran dan melahirkan “ideologi” tertentu yang menganggap dirinnya “benar”. Karenanya untuk membangun kesadaran beragama yang pluralis, menurut hemat saya kita perlu menelaah lebih dalam bagaimana kita memahami arti dasar agama, tujuan mengikuti agama dan sikap dalam beragama.

Agama bukan hanya sepenggal keyakinan yang lahir dari kehendak-kehendak dan kesadaran insani (fitrah) terhadap Tuhan. Agama juga bukan hanya sistem kepercayaan yang membawa pesan-pesan hukum yang dibentuk dari realitas sejarah manusia.  Hakikat dasar agama adalah pedoman dasar ketuhanan dan kemanusiaan. Dengan kata lain, bagaimana manusia berhubungan dengan Tuhan serta bagaimana hubungan antara manusia dengan sesamanya.

Jika saja ada pemahaman yang menyatakan bahwa agama lahir dari realitas sejarah manusia di masa lalu, ini berarti bahwa agama hanyalah sebuah bangunan kuno yang layak dimuseumkan. Agama tidak lagi menjadi nilai dasar yang harus dipegang sebagai pedoman hidup, melainkan agama dilihat hanya sebagai “monumen” abstrak tentang suatu keyakinan. Inilah “lonceng kematian” bagi eksistensi agama dan sekaligus membuka peluang munculnya sikap atheis.

Demikian pula apabila agama hanya dilihat sebagai hasil rekayasa pemikiran manusia yang berisikan falsafah ketuhanan dan kemanusiaan, maka agama hanyalah seonggok ide-ide dalam alam pikiran manusia yang dibentuk dari hasil imajinasi, pengalaman metafisik dan ketajaman akal yang luar biasa. Barangkali justru akal manusia itu sendirilah yang pada gilirannya akan ditempatkan sebagai agama. Ini berarti otoritas akal manusia dipandang lebih mampu menembus hakikat kebenaran lebih dari yang diajarkan oleh Tuhan.

Adakah agama dilihat sebagai sistem hukum? Apabila agama dilihat sebagai sistem hukum berarti agama hanya mengajarkan segala bentuk pedoman hidup bagi manusia tentang norma-norma dan keadilan. Seseorang bisa diklaim tidak beragama atau tidak menjalankan ajaran agama tatkala ia tidak mentaati hukum-hukum agama. Lebih ekstrimnya, sebut saja ia telah keluar dari agama dan kemudian menjadi saling mengkafirkan atau memurtadkan. Padahal sebagaimana saya singgung sebelumnya agama adalah sebuah pedoman dasar ketuhanan dan kemanusiaan.

Dalam tulisan ini, saya ingin menegaskan kembali bahwa kita tidak bisa memaksakan suatu bentuk keyakinan tertentu terhadap orang lain. Hal ini bertolak belakang dengan prinsip-prinsip kebebasan beragama (the freedom of religion) dalam hak-hak azasi manusia. Penyelewengan nilai-nilai dasar agama yang disebabkan oleh pemahaman yang keliru bisa menyeret manusia kepada peta konflik. Fanatisme agama yang berlebihan bisa muncul karena pemahaman yang sempit terhadap agama. Sehingga muncullah kalangan fundamentalisme agama dan fundamentalis sekuler.

Sikap berlebih-lebihan dalam menafsir ajaran-ajaran agama telah menyeret sebagian orang atau kelompok tertentu kepada peta konflik dalam menjalankan keharusan dan ketundukkan menjalankan ajaran agama. Pada gilirannya ini bisa membawa seseorang kepada bentuk kesadaran beragama yang ekslusif. Dari sini pula akan lahir benih-benih sektarianisme dalam beragama.  Padahal yang perlu dicermati adalah bentuk kesadaran inklusif yang humanis, terbuka dan toleran.

Dalam agama Islam diajarkan bahwa suatu bentuk kesadaran inklusif diwujudkan dengan sikap saling menghargai (tasamuh). Prinsip kesadaran beragama semacam ini didasari oleh azas kebebasan dan toleransi untuk saling terbuka dan saling menghargai hak-hak beragama orang lain. Saya berpendapat bahwa ini sejalan dengan prinsip bahwa kita harus menghargai hak-hak dan kebebasan seseorang dalam beragama, tetapi hal itu juga harus merupakan hak-hak dan kebebasan beragama bagi orang lain.

Pluralisme beragama dari sisi pendekatan hak-hak azasi manusia sesungguhnya terletak pada sejauhmana manusia memahami inti ajaran agama yang ia anut. Karena semua agama mengajarkan kebaikkan dan keadilan. Pada gilirannya semua agama menempatkan prinsip-prinsip etika dan moral sebagai fundamen utama dan penuntun bagi kehidupan manusia. Pluralisme agama dapat dibangun bukan hanya atas dasar pengetahuan dan pemahaman semata, tetapi diwujudkan dalam sikap yang arif.

Oleh karena itu, sikap pluralisme beragama dari sudut pandang hak-hak azasi manusia sekurang-kurangnya dapat ditumbuhkan berdasar kepada prinsip berikut: pertama, menganut suatu agama adalah hak-hak dasar kemanusiaan yang dimiliki manusia dan sesuai dengan fitrah kemanusiaan itu sendiri; kedua, memahami sedalam-dalamnya pemahaman terhadap ajaran agama sebagai pedoman hidup (way of life) yang memberikan penuntun bagi kehidupan; ketiga, pemahaman yang mendalam terhadap ajaran agama akan membawa kepada kesadaran beragama dan sikap pluralis dalam memandang agama lainnya.

Sebagai bagian akhir dari tulisan ini, alangkah baiknya kita memperhatikan pandangan seorang agamawan humanis seperti Abdullahi Ahmed An-Na’im. Dalam pandangannya sikap toleran dan terbuka berdasarkan kepada persamaan hak-hak azasi manusia merupakan suatu bentuk sikap keberagamaan yang pluralis. Hal ini tercermin dalam gagasannya tentang pembaharuan hukum Islam bahwa re-interpretasi terhadap nilai-nilai dasar agama khususnya tentang hukum adalah suatu keharusan agar relevan dengan hak-hak azasi manusia. Kendati Agama dan HAM memiliki dasar pijakan yang berbeda, tetapi tidak tertutup kemungkinan untuk memadukan di antara keduanya.[]

Penulis adalah Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN SGD Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *