Petaka Konstitusi

Kaget dan merinding. Itu reaksi pertama kali, ketika saya mendengar dan membaca berita tangkap tangan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Terus terang, secara pribadi, saya merasa bangga Indonesia memiliki lembaga hukum sekaliber MK. Lembaga peradilan yang professional, kredibel, dan modern. Sudah dua kali saya hadir sebagai ahli yang diminta berbicara di hadapan para hakim MK untuk sidang uji materi undang-undang. 

Suasana sidang di MK benar-benar khidmat, berwibawa, dan ilmiah. Para hakim terkesan intelek dan berbicara tanpa beban. Prosesi persidangan benar-benar menghargai pengetahuan dan kedalaman ilmiah para ahli yang dihadirkan. Tidak ada kesan asal-asalan.

Setiap kali berbicara tentang MK rasa respek menyeruak ke dalam sendi-sendi tubuh. Lembaga ini dapat dibanggakan, sebab selama ini tidak ada borok-borok yang muncul. Setiap putusan yang keluar dari MK sangat dihormati dan diterima baik oleh masyarakat tanpa banyak mempertanyakan kembali. Putusan yang menyangkut uji undang-undang maupun sengketa hasil pemilukada diterima tanpa memicu gejolak yang berarti.

Saking bangga dengan MK, saya pernah kelewat batas ketika punya pandangan tentang MK effect. Menurut saya, berdasarkan asumsi MK effect, lembaga-lembaga penegak hukum di Indonesia sedikit banyak akan terpengaruh oleh performa MK dalam hal profesionalisme dan kredibilitas, sehingga ada harapan cerah yang lahir dari lembaga pengawal konstitusi tersebut terkait penegakan hukum. 

Ketika berita tangkap tangan Ketua MK oleh KPK tersiar, badan saya terasa lemas. Rasa bangga pun rontok. Pengalaman sebagai ahli yang pernah berbicara di depan majlis hakim hilang tanpa bekas. Selanjutnya, muncul kekhawatiran yang kuat dalam pikiran saya bahwa lembaga yang terhormat ini akan segera dilecehkan masyarakat. Putusan-putusan yang dihasilkannya pun dipastikan akan dinilai hanya hasil dagelan badut-badut hukum. 

Orang yang pernah menjadi ahli yang dihadirkan di MK akan merasakan kebanggaan yang istimewa, sebab pernah hadir di lembaga bergengsi dan berwibawa di negeri ini untuk ikut berkontribusi meluruskan undang-undang yang menyangkut nasib bangsa dan negara. Lain halnya saat ini. Kebanggaan itu menguap dan tergantikan dengan rasa kecewa yang berat. 

Saya bergumam, apa yang ada dalam pikiran Akil Mochtar? Kalau terbukti menerima suap terkait dengan jabatannya sebagai ketua MK, tega benar dia melakukan perbuatan semacam itu. Beralasan sekali “teriakan” Jimly supaya Akil diberi hukuman terberat, karena lembaga negara yang sangat terhormat dan dibanggakan banyak orang hancur hanya dalam sekejap, akibat ulahnya.

Walaupun begitu, saya ingin menyampaikan bahwa kita harus membedakan antara hasil sidang sengketa pemilukada dengan uji undang-undang. Sengketa pemilukada memiliki potensi timbulnya triks-triks politik. Para pihak yang berperkara dalam sengketa pemilukada adalah para pelaku politik. Adalah prosesi politik, ia selalu menyimpan potensi penyimpangan di mana dan kapan pun, tak terkecuali di MK.

Lain hal terkait dengan hasil sidang uji undang-undang. Saya mengajak kepada masyarakat untuk masih tetap percaya pada hasil-hasil putusan yang dikeluarkan oleh MK. Sebab, MK dalam hal uji undang-undang, porsi besarnya adalah sebagai pengambil kesimpulan dari sekian rangkaian perdebatan para ahli yang dihadirkan. Selain itu, perdebatan dalam sidang uji undang-undang lebih terfokus pada mana yang paling maslahat bagi bangsa dan negara.  Teori-teori hukum diungkap dalam persidangan dan dipakai menganalisis tepat tidaknya suatu undang-undang.

Jadi, saya menganjurkan agar kita membedakan antara hasil putusan sengketa hasil pemilukada dengan uji undang-undang. Uji undang-undang masih tetap dilakukan secara objektif dan ilmiah. Lain halnya dengan sengketa hasil pemilukada. Isu-isu yang sebelumnya pernah mencuat terkait dengan indikasi transaksi yang dilakukan oleh oknum hakim MK patut diduga dan dapat dijadikan bahan mengkritisi Mahkamah Konstitusi. 

Setelah runtuh MK, ke mana lagi kita berharap untuk hadirnya keadilan yang objektif di negeri ini? Efek buruk dari kejadian ini juga akan mengimbas kepada para hakim MK. Kepercayaan diri mereka terganggu dan semangat kerjanya akan tergerus. Bahkan, tidak mustahil akan muncul saling curiga di antara sesama hakim. Atau, mungkin juga akan semakin memperkokoh mereka dan menyolidkan kinerja mereka. 

Jalan keluar untuk menjaga wibawa dan kehormatan MK adalah hendaknya sembilan hakim lembaga negara itu dibersihkan dari elemen partai politik. Berikan saja kepada para ahli dan ilmuwan hukum untuk menggawangi MK sebagai pengawal dan penafsir konstitusi. Selain itu, pemilihan hakim konstitusi tidak diselenggarakan oleh DPR, melainkan melalui panitia independen secara ad hoc yang dibentuk oleh  eksekutif, legislatif, dan yudikatif secara bersama-sama. Atau, serahkan saja kepada Komisi Yudisial (KY). Bebaskan mereka dari godaan-godaan dan rayuan yang bersifat kepentingan jangka pendek, semacam kepentingan politik dan kelompok.

Cara di atas, menurut saya, akan dapat meminimalisir kebokbrokan yang akan mengganggu terhadap kewibawaan MK, walaupun harus ada upaya konstitusional dulu, yaitu mengubah Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang MK. 

Apapun yang terjadi, kita berharap Mahkamah Konstitusi masih bisa dipertahankan dan tetap bekerja, sehingga tidak menjadi “petaka konstitusi” di masa yang akan datang. []

Ija Suntana, Dosen Pascasarjana UIN Bandung dan Wakil Ketua Umum Al-Washliyah Jawa Barat.

Sumber Pikiran Rakyat 5 Oktober 2013

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter