Pendidikan Politik

Tahun 2014 adalah tahun politik. Momentum pemilu legistalitif dan pemilihan presiden menjadi magnet luar biasa. Secara ideal, politik sejatinya adalah mencerdaskan, mencerahkan dan menyejahterakan masyarakatnya. Melalui mekanisme pileg dan pilpres, seharusnya masyarakat dapat dengan jelas memilih dan memilah para legislator yang akan merepresentasikan kebutuhannya. Dan memilih presiden yang akan menahkodai perahu Indonesia menuju baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur.

Politik di Indonesiadewasa ini lebih banyak ditandai dengan “citra” menjadi panglima. Iklanpun menjadi media penyampai pesan utama.Menyedihkannya lagi, spanduk dan pamfletdibuat begitu banyak untuk berpromosi, padahal cara itu lebih banyak merusak dan mengotori.Hari-hari kita saat ini dikepung oleh janji-janji manis para politisi. Menggiring pemilik kedaulatan lebih kepada memilih “Aku” dan “partaiku” dibandingkan dengan bersama-sama memikirkan nasib dan bertindak nyata untuk bangsa. Atau bahkan lupa menempatkan pendidikan politik pada proporsinya.

Pendidikan secara teoritis adalah upaya sadar untuk menjadikan manusia dewasa lainnya mencapai pada tahap maksimumnya. Dalam bahasa saya menjadi manusia yang hidup. Menilik definisi politik perspektif Miriam Budiardjo, maka pendidikan politik dapat diartikan sebagai langkah lebih terukur agar manusia mendapat kehidupan yang lebih baik. Melalui pemilu 2014, sejatinya dijadikan momentum bagi orang-orang yang telah lebih dahulu melek politikuntuk mentransformasikan gagasan-gagasan bernas, ide-ide kreatif, pemikiran-pemikiran solutif dan konstruktif demi mencapai kebaikan masyarakat di masa datang.

Namun apa dikata, fakta di lapangan yang lebih banyak muncul adalah pola komunikasi politik yang searah, ibarat aktor utama di panggung yang tengah bermonolog.Untuk memikat banyak penonton, kepandaian bersandiwara-lah yang menentukan. Jika pun ada dialog, kerap kali yang muncul adalah setting seolah-olah menyerap aspirasi. Ironisnya lagi, politisi yang benar-benar membawa amanah dapat dihitung dengan jari.

Kuatnya politik pencitraan, popularitas dan penguasaan media menjadi hal utama. Selebritis dan pemilik media dinilai sebagai “jaminan” untuk bisa memenangkan kompetisi –paling tidak popularitas-.Jadilah politisi mirip tukang obat yang selalu berjanji menyembuhkan penyakit, padahal mungkin mereka juga terjangkiti atau bagian dari penyakitnya itu sendiri. Korupsi pun menjadi-jadi, sebagai argumentasi penguat bahwa kuasa dan korupsi kerap berkaitkelindan.

Mungkin Indonesia menjadi negara dengan pesta demokrasi terbanyak di dunia. Ada ratusan ribu pemilihan RT dan RW, sekitar tujuh puluh  ribu kali pemilihan Kepala Desa dan ribuan pemilihan  Bupati/Walikota. Belum lagi pemilihan Gubernur, Presiden, DPRD, DPD dan DPR beserta berbagai jenis pemilihan yang menggambarkan praktik demokrasi di berbagai institusi sosial lainnya. Namun sebagaimana pesta, jika pun selesai, lebih banyak meninggalkan kesan dan sisa sampah yang berserakan. Maka pesta politik dengan berdemokrasi di Indonesia, sampai saat ini masih minim menggambarkan pendidikan politik yang seharusnya.
 
Kewarganegaraan
Kualitas demokrasi yang tengah dipraktikkan di Indonesia salah satunya ditentukan oleh pendidikan politiknya.Ramlan Surbakti menyatakan bahwa pendidikan politik merupakan proses dialogis, dimana anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai, norma dan simbol politik negaranya dari berbagai pihak dalam sistem politik seperti sekolah, pemerintah dan partai politik.

Jika ditelaah lebih mendalam, pendidikan politik yang sudah dilakukan puluhan tahun dan telah melibatkan setidaknya dua sampai tiga generasi bangsa ini, belum berhasil sepenuhnya.Buahnya baru pada pesta berdemokrasi, datang memilih ke tempat pemungutan suara. Ketika berkuasa, memilih korupsi dan berjuang keras untuk kembali menjadi politisi, karena merupakan“profesi” menjanjikan untuk segera memenuhi kebutuhan materi.Begitulah kesimpulan pendidikan politik paling mutakhir yang ada dalam sebagian besarrelung kesadaran generasi muda saat ini.

Mari tanyakan kepada generasi muda dan mintalah jawaban jujur tentang kecintaannya kepada Indonesia? Mereka mungkin tanpa rasa berdosa mengakui lupa bunyi Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Apalagi soal nilai dan norma politik bangsa. Kenapa itu terjadi? Karena apa yang diajarkan di sekolah, sangatlah berbeda dengan apa yang terjadi. Senyum tanpa rasa berdosa para koruptor di gedung KPK yang ditontonkan media adalah pendidikan politik yang meracuni alam sadar dan bawah sadar anak bangsa bahwa korupsi bukan tindakan memalukan.

Adalah sangat mendesak untuk memastikan arus besar pendidikan politik sesuai dengan tujuan awal para pendiri bangsa. Sebagaimana dinyatakan oleh Alfan Alfian, pendidikan politik harus merupakan usaha sadar untuk memastikan bahwa masyarakat memahami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam sistem politik yang ideal dan yang hendak dibangun. Dengan demikian, hakikatnya pendidikan politik merupakan pendidikan kewarganegaraan (civic education).

Pada kerangka dan semangat itu-lah, pendidikan politik bangsa ini ke depannya harus dikuatkan di seluruh institusi pranata sosial utama seperti sekolah dan organisasi sosial kemasyarakatan. Penguatan itu penting sebagai tameng menghadapi politik pencitraan yang meracuni. Agar idealisme membangun bangsa tidak tergerus dalam semangat besar generasi muda.

Di sekolah, praktik berdemokrasi dengan belajar langsung bermusyawarah dalam banyak hal untuk memutuskan sesuatu harus dipraktikkan. Menjadi Ketua Kelas, OSIS dan organisasi intra dan ekstra kurikuler menjadi pengalaman berharga dalam membentuk nalar berpolitik yang sehat.Menanamkan rasa cinta tanah air dan kesadaran kewarganegaraan semenjak dini. Mencintai Indonesia dengan tanpa korupsi. Mencintai Indonesia dengan menjadi yang terbaik di bidang yang ditekuni. Menjadi kebanggaan bangsa karena kiprah dan karya berkelas dunianya. Menjadi pahlawan karena kiprah pengabdiannya untuk membangun bangsa dari pedalaman bersama kaum papa.

Di perguruan tinggi, mahasiswa mempraktikkan student government. Politik dan berbagai intriknya dipelajari sebagai bagian dari upaya pendewasaan. Namun tetap harus dikawal dengan semangat untuk belajar dan sekedar laboratorium, kawah candradimuka untuk menyiapkan calon pemimpin di masa depan.

Ibarat rangkaian, pendidikan kewarganegaraan harus dimulai dari sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi.  Tentu saja perlu kerja keras untuk menjadikan gerbong pendidikan politik mampu membangun kesadaran bahwa semua warga negara hakikatnya berpolitik dalam perannya masing-masing.

Dari setiap tindakan itu, spiritnya sama untuk kemajuan bangsa. Penarik gerbong terdepan (pemimpin politik baik di eksekutif dan legislatif, bahkan yudikatif) harus menjadi contoh bagi rakyatnya. Yang di tengah memiliki inisiatifdan karsa serta yang dibelakang mendukung.. Seperti falsafah Ki Hajar Dewantara: “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”.

Begitulah pendidikan politik ideal yang tidak sekedar memilih dan mengantarkan pemimpinnya, namun bertindak sukarela mengabdi untuk negara dalam setiap perannya dan mempersiapkan diri untuk melanjutkan estafeta kepemimpinan di masa mendatang. Jangan apatis membiarkan pesta demokrasi peran utamanya diambil oleh kaum bromocorah. Mari proaktif dan bertindak bersama mengikuti pesta demokrasi.Ambil peran, pastikan pemeran utamanya amanah dan benar-benar mewakili kita. Pastikan mereka menjalankan tugas dengan baik. Begitulah hasil dari pendidikan politik yang sejati. Dimana pesta tidak dijadikan sebagai ajang hura-hura dan menguntungkan segelintir orang, namun teras manfaatnya bagi seluruh lapisan masyarakat.[]

Dindin Jamaluddin, Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Program Pascasarjana UIN SGD Bandung.

Sumber, Pikiran Rakyat 8 Januari 2014

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter