Pakar HTN UIN: Tak Setuju Kewenangan Berlebihan Dewan Pengawas KPK

Dosen Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung Dr Uu Nurul Huda SH MH tak setuju terhadap kewenangan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang cenderung berlebihan, kebablasan.

Pasalnya, dalam Revisi UU KPK, ujar Uu, fungsi Dewan Pengawas KPK terlalu besar. Ketika revisi undang-undang itu disahkan, otomatis kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, penindakan bahkan hingga penyadapan harus izin dewan pengawas.

“Itu berarti sama saja dengan mengebiri kewenangan KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia. Dewan pengawas seharusnya berfungsi untuk meningkatkan kinerja bukan memberangus KPK, bukan mempersulit. Tapi kenyataan hari ini dalam RUU KPK, justru banyak mengambil alih peran dan membatasi kewenangan lembaga antirasuah itu,” kata Uu, Rabu (11/9/2019).

Walaupun menolak Dewan Pengawas KPK memiliki kewenangan berlebihan, Uu menilai, keberadaan dewan pengawas tetap diperlukan untuk meningkatkan kinerja KPK.

“Itu berarti sama saja dengan mengebiri kewenangan KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia. Dewan pengawas seharusnya berfungsi untuk meningkatkan kinerja bukan memberangus KPK, bukan mempersulit. Tapi kenyataan hari ini dalam RUU KPK, justru banyak mengambil alih peran dan membatasi kewenangan lembaga antirasuah itu,” kata Uu, Rabu (11/9/2019).

Walaupun menolak Dewan Pengawas KPK memiliki kewenangan berlebihan, Uu menilai, keberadaan dewan pengawas tetap diperlukan untuk meningkatkan kinerja KPK.

Asalkan, ujar dia, kewenangan yang diberikan kepada dewan pengawas tidak masuk dalam ranah penyelidikan, penyidikan, dan penyadapan.

“Harusnya fungsi dewan pengawas itu mengawasi kinerja. Misalkan ada kasus yang tidak tuntas, maka dewan pengawas berperan mendorong itu,” ujar Uu.

“Kalau masuk wilayah teknis, kalau pun mau penyadapan harus izin pengadilan. Direvisi diperlukan untuk menguatkan KPk, bukan melemahkan,” tutur Uu.

Selain itu, kalaupun dibentuk dewan pengawas, Uu tidak setuju dengan format anggotanya, yaitu 3 orang dari DPR dan 2 dari Presiden. Pasalnya, tidak dapat dipungkiri kerap kali kasus-kasus korupsi besar yang merugikan negara berasal dari lembaga para wakil rakyat tersebut.

Jika Dewan Pengawas KPK membuka peluang bagi anggota DPR, dikhawatirkan mereka akan memanfaatkan posisi di dewan pengawas dalam mempersulit KPK dalam menindak korupsi.

Bisa jadi potensi (kongkalikong) itu ada. Sebab unsur dewan pengawas dari presiden dan tiga DPR. Kenapa lembaga itu (DPR)? Harusnya bukan dari sana (DPR). Saya lebih setuju apabila dewan pengawas dipilih melalui tim seleksi yang dilakukan oleh KPK sendiri,” ungkap Uu.

Meski begitu, Uu menilai Undang-Undang KPK memang perlu direvisi. Sebab UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK cenderung pasif. Terutama terkait pencegahan korupsi.

Di UU Nomor 30 Tahun 2002, tutur Uu, dalam mencegah korupsi KPK sebatas melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan kekayaan, kemudian menerima laporan masyarakat, dan memberikan edukasi, dan kampanye antikorupsi.

Sumber, Sindo Jawa Barat Rabu, 11 September 2019 – 23:00 WIB

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *