Kosmologi Sunda dalam Tradisi Ruwatan: Studi Terhadap Ruwatan Bubur Sura Masyarakat Sumedang

Tradisi ngalaksa merupakan upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh masyarakat Kecamatan Tanjungkerta Cipanas Sumedang sebagai bentuk rasa syukur atas keberhasilan panen mereka, dengan menggunakan media ritualnya seni gembyung. Ruwatan itu sendiri berasal dari kata rawat atau merawat.  Artinya, mengumpulkan atau merawat seluruh masyarakat kampung serta mengumpulkan semua hasil bumi, baik yang masih mentah maupun yang sudah diolah. Sebagai wujud sadar dari penghargaannya terhadap alam. Untuk itu, konsep Kosmologi Sunda Kuna bukan hanya dimaksudkan untuk pengetahuan semata-mata mengenai struktur jagat raya, melainkan lebih ditujukan sebagai media agar kehidupan manusia jelas tujuan akhirnya, yaitu kebahagiaan dan ketenteraman hidup di buana niskala dan buana jatiniskala yang abadi.

Kesadaran masyarakat Tanjungkerta Cipanas Sumedang atas penghargaannya terhadap alam, melalui ruwatan bubur sura (ngalaksa) menarik untuk diketahui secara mendalam dengan meneliti proses pelaksanaan ruwatan bubur sura dan makna tradisi ruwatan dalam kosmologi Sunda. Untuk mengetahui Kosmologi Sunda dalam Ruwatan Bubur Sura. Dengan demikian diharapkan penelitian ini berguna bagi masyarakat akademis sebagi informasi awal untuk penelitian selanjutnya. Selain itu, dapat berguna sebagai bahan literature untuk menambah khazanah pemikiran budaya dan tradisi Sunda.

Metode utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Sebab pendekatan kualitatif ini berkaitan erat dengan sifat unik dari realitas sosial dan dunia tingkah laku manusia, yang bersumber dari hakikat manusia sebagai makhluk psikis, sosial dan budaya yang mengaitkan makna dan interpretasi dalam bersikap dan bertingkah laku. Untuk itu, dalam proses penelitian yang dilakukan terus mencari makna dibalik ruwatan bubur sura dengan melakukan pendekatan emik dan menganalisis secara mendalam data-data yang telah ditemukan.

Ngaruwat Bubur Sura diyakini masyarakat mempunyai manfaat keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan dalam kehidupan pertanian. Untuk itu, syarat-syarat melangsungkan gelar ruwatan bukan sesuatu yang baku, dan seperangkat syarat tersebut tidak sekadar sebagai gugur kewajiban bila sudah terpenuhi, lebih dari itu adalah untuk menemukan makna dalam kehidupannya.

Dengan demikian, secara kosmologis ruwatan merupakan media penjelas untuk menghantarkan pemahaman mereka terhadap symbol-simbol alam, bahasa dan ritual yang dialaksanakannya. Hal itu tampak pada tingginya penghormatan masyarakat terhadap peranan Dewi Sri. Tokoh Dewi Sri yang dikenal dengan sebutan Nyi Pohatji Sanghyang Sri sering dikaitkan dengan mitos asal mula adanya padi di Jawa Barat.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter