ISIS, Anak Haram Islam

Islamic State in Iraq and al-Sham (ISIS) atau Al-Dawla al-Islamiya fi al-Iraq wa al-Sham adalah sebuah gerakan puritan yang mencanangkan negara Islam raya mencakup Irak dan Sham. Al-Sham, dalam konteks Arab klasik, maknanya merujuk tidak hanya seputar wilayah Suriah, tapi juga mencakup Israel, Yordania, Libanon, dan Palestina, termasuk Turki bagian tenggara.

Seluruh organisasi keras para pendahulunya “berkoalisi” dengan ISIS. Sebut saja Dewan Syura Mujahidin dan Al-Qaidah di Irak (AQI), Jaysh al-Fatiheen, Jund al-Sahaba, Katbiyan Ansar al-Tawhid wal Sunnah, Jaish al-Taifa al-Mansoura, serta sejumlah etnis yang tersebar di Irak, yang dulu bisa “dikendalikan” (dan dimanfaatkan) Saddam Hussein untuk kepentingan politiknya.

Kelompok jihad yang kaya ini hadir dengan wajah keagamaan yang be-ngis, penuh angkara, menebar teror, dan dengan sempurna mempraktekkan kekerasan, baik secara simbolik maupun fisik. Khas wajah kaum radikalfundamentalistis. Paradigma keagamaannya sangat skripturalis, harfiah, dan bipolar. Liyan yang berbeda haluan akidah dan mazhabnya dianggap kafir dan bid’ah. Nalar politiknya diacukan pada fantasi fiqh skolastik abad pertengahan ketika dunia dibelah dalam dua kategori kekuatan berdasarkan gagasan teologis darul Islam vis a vis darul harbi. Menghadirkan “kerajaan Tuhan” di bumi menjadi obsesi metafisisnya lengkap dengan iming-iming purba: mati di medan juang sebagai martir yang akan dibalas surga.

Untuk menjalankan agendanya, dicarilah ayat-ayat Tuhan yang ditafsirkannya secara parsial, semena-mena, dan dicerabut dari konteks historis kenabian. Agar tampak semakin religius dan dramaturgis, dikibarkannya bendera warna hitam bertuliskan kalimat suci berlambangkan tanda stempel “Muhammad SAW” lengkap dengan tampilan “tubuh” kerumunan aktivisnya yang berjenggot, berserban, dan dahi yang hitam.

Betul apa yang dibilang Charles Kimball dalam When Religion Becomes Evil. Di tangan ISIS, agama yang semestinya membawa maslahat malah  mendatangkan mafsadat, bukan rahmat, melainkan laknat. Lima faktor yang akan mengubah agama menjadi bencana telah diterapkannya: (1) memonopoli kebenaran; (2) kepatuhan buta terhadap pimpinannya; (3) gandrung terhadap keemasan masa lampau, ISIS merencanakan untuk menghilangkan sekat negara nasionalisme modern yang dijangkarkan pada batas-batas yang ditetapkan Perjanjian Sykes-Picot pada Perang Dunia I; (4) menggunakan beragam
cara, bahkan tidak segan-segan melakukan pembunuhan massal terhadap anak-anak tak berdosa; (5) menafsirkan agama dengan pikiran sesat.

Konteks Indonesia
Limpahan dirham, yang konon hasil menjual minyak di pasar gelap, merampok bank sentral, dan lainnya, telah memudahkan mereka mengekspor
paham dan gerakannya ke berbagai negara, termasuk ke negeri kepulauan Nusantara. Tersebutlah banyak kaum muda yang terpikat ISIS. Dideklarasikannya
di berbagai daerah. Disambut gempita sebagian ormas garis keras yang memang beririsan pemahamannya dengan ISIS.

Harus kita akui bahwa, pascareformasi, radikalisme keagamaan mengalami eskalasi. Kondisi negara yang lemah dijadikan ruang kaum militan untuk
mengartikulasikan politik-keagamaannya. Berbeda dengan zaman Orde Baru, di mana negara bisa bertindak keras terhadap aliran “kanan” yang dianggap
dapat mengancam NKRI, seperti operasi pemberangusan Komando Jihad, Talangsari Lampung, Peristiwa Tanjung Priok, dan Haur Koneng Jawa
Barat.

Masih hangat dalam pikiran kita bagaimana kaum teroris bekerja sama dengan Al-Qaidah dan Jemaat Islamiyah berhasil menebar teror dengan meledakkan
bom di tempat-tempat strategis. Densus 88, yang terus memburu, bukan mengecilkan nyalinya, tetapi justru kian mengobarkan perlawanan, bahkan mereka memandangnya telah menemukan lawan yang setimpal.

Di tengah ormas-ormas mapan, semacam Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Persis, yang disibukkan dengan persoalan partai politik, terjebak
permainan kekuasaan praktis, kaum militan menggunakan ruang kosong yang ditinggalkan kaum moderat itu untuk menyebarkan paham eksklusifnya.

“Direbutlah” masjid-masjid kemudian dijadikan basis perjuangannya, disusupkan paham yang aneh ke pesantren-pesantren tradisional. Jangan heran seandainya yang sering terdengar dari mikrofon masjid hari ini adalah khotbah penuh kebencian, fatwa yang dikeluarkan sarat caci maki, dan kaum muda yang kuliah di perguruan tinggi Islam dan perguruan tinggi sekuler bukan beragama dengan menjunjung tinggi daulat nalar, tapi justru berkarib dengan literasi wahabisme, puritanisme, dan serbatertutup.

Menjamur halakah-halakah tanpa “mursyid”, pengajian-pengajian bawah tanah yang hanya mendiskusikan wacana jihad, ghazwul fikri, syariat Islam. Dan selebihnya kewajiban “iuran”, dari mana pun sumber dananya.

Islam Moderat
Bagi saya, ISIS bukan hanya cermin anak haram Islam. Dalam konteks keindonesiaan, ISIS dan gerakan radikalisme yang sehaluan dengannya melambangkan
penghinaan terhadap realitas sosial yang majemuk. Fundamentalisme, seperti ditulis Fazlur Rahman dalam Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (1979), tak lebih adalah sekumpulan “orang yang picik, dangkal dan artifisial, serta anti-intelektualisme”, dan sejatinya bertentangan
dengan elan Al-Quran dan tradisionalisme Islam.

Leluhur kita mewariskan model keberagamaan yang moderat. Agama yang mampu beradaptasi dengan budaya lokal secara kreatif, mengembangkan
keadaban, menghargai liyan, menjadikan kemajemukan sebagai pengalaman yang akan memperkaya hubungan antarumat beragama dan yang seagama
sebagaimana tertera dalam kearifan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang digali dari kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular.

Konfigurasi agama seperti ini secara ontologis sesungguhnya merupakan khitah keimanan, modus risalah kenabian: rahmatan lil ‘alamin. Jika tidak seperti
ini, yakinlah semuanya hanya politisasi dan komodifikasi agama untuk kepentingan sesat dan sesaat.[]

Sumber, Majalah DETIK, Edisi 18-24 Agustus 2014

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter