Indonesia “Seksi” untuk Diteliti

[www.uinsgd.ac.id] Ibarat gadis cantik, Indonesia begitu “seksi” untuk diteliti dari berbagai pendekatan keilmuan. Kekayaan budaya, adat istiadat, dinamika politik, keragaman ekspresi keagamaan dan sumber daya manusianya, menjadi daya tarik tersendiri bagi para peneliti tentang Indonesia.

“Wilujeng sumping di Bandung, kami sangat berterimakasih, silaturahmi intelektual dari para peneliti tentang Indonesia ini sangat penting,” ujar Wakil Rektor Tiga UIN Sunan Gunung Djati Bandung Prof Ali Ramdhani saat membuka International Indonesia Forum (IIF) ke-7 di Jatinangor, Sumedang, Selasa (19/8).

Menurut Ali, potensi besar tersebut harusnya membuat para akademisi Indonesia terus mengembangkan berbagai kajiannya dengan penuh percaya diri. Kegiatan ini merupakan kesempatan emas, jembatan adanya dialog keilmuan terbuka.

Pimpinan IIF Frank Dhont menegaskan, para presenter yang hadir berlatar belakang pendidikan doktor dan ada yang telah profesor. Diharapkan berbagai hasil riset yang dikemukakan semakin memperkaya khazanah ilmu pengetahuan tentang Indonesia.

Di sesi pertama, misalnya, Mirjam Lücking dari Freiburg University mengangkat soal modal sosial dan politik Arabisasi di Madura. Sementara Ellen Kent dari Australian National University mengangkat hasil risetnya tentang karya artistik masyarakat Sunda yang tercermin dari karya-karyanya Tisna Sanjaya.

Pada sesi dua, Nargiza Alimova dari Tashkent State Institute of Oriental Studies mengangkat kajiannya terkait peran Indonesia di organisasi Islam internasional, OKI. Dari kajian wanitanya, Tracy Wrigt Webster dari IIF mengangkat soal pengaruh kuat Kartini dalam sejarah wanita Indonesia.
Aditya Perdana dari University of Hamburg mengungkap soal peran politik perempuan di era setelah Soeharto.

Dari sisi ekonomi, David Price, peneliti dari Charles Darwin University mengangkat soal investasi global yang berkembang di Indonesia. Dari sisi politik, Max Regus, peneliti dari Erasmus University, mengangkat hasil risetnya tentang model demokrasi mayoritas dan inklusif di Indonesia.

Berbagai kajian ini menarik, mengingat ada enam sesi, dimana di tiap sesi ada tiga ruang dan empat narasumber di tiap ruang secara paralel menyampaikan hasil risetnya.

Sumber, Republika 19 Agustus 2014, 19:23 WIB

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter