Hubungan Negara-Agama, Bagaikan Ruh dengan Badan

[uinsgd.ac.id] Pusat Informasi dan Kajian Islam (PIKI) UIN Bandung bekerjasama dengan Pascasarjana dan Fakultas Syariah dan Hukum, menggelar bedah buku Syarah Konstitusi UUD 45 dalam Perspektif Islam karya Masdar F. Mas’udi bersama Masdar F. Mas’udi dan Dedi Ismatullah dengan dipandu oleh M Anton Athoillah di ruang Sidang Rektorat UIN SGD Bandung, Kamis (30/6)Menurut Nanat Fatah Natsir menjelaskan bedah buku ini sebagai upaya mendialogkan hubungan antara agama dengan negara. “Indonesia ini bukan negara agama atau sekuler, tetapi negara yang berdasarkan pancasila”Memang dalam hubungan antara agama dan negara ini terdapat tiga tipologi; Pertama, Kelompok Hasan Al-Bana yang mempunyai keyakinan bahwa segala urusan telah terangkum semuanya dalam al-Quran.Golongan ini biasnya sering disebut dengan kelompok formalis. Kedua, Ar-Razi yang berkeyakian semua urusan duni tergantung pada kalian. Ketiga, Cak Nur, Gus Dur dan Ma’arif yang memiliki pendapat tidak harus label islam ditonjolkan. “Aliran ini sering disebut subtansial. Mereka berkeyakinan asalkan ada nilai-nilai keadilan, musyawarah untuk mengembagkan masyarakat yang berdasarkan Al-Quran,” paparnya.“Ia memiliki legalitas untuk  menjelaskan UUD ’45 dalam persfektif Al-Qur’an karena ia selain sebagai ketua PBNU, juga sebagai penulis buku dan cendekiawan,”tutup Rektor dalam sambutannya.Bagi Masdar, menuturkan NU telah menjadikan pancasila sebagai dasar negara dan final, “Ini sangat jelas dan bisa dilihat dari hasil Mukhtamar NU,”tegasnya.Soal agama yang terkesan tidak bisa menyelesakan persoalan kekinian. Ia menguraikan “Agama sebagai seumber moral transendensi harus berbicara tentang konstitusi dan kesadaran kolektif untuk memperjuangakn pancasila sebagai dasar Negara,” tegasnyaMenurut pandangannya terdapat beberapa pola hubungan antara agama dan Negara, pertama pola hubungan antara Negara dan agama yang selamana ini sangat disubordinasikan negara itu, “Dalam Islam tidak boleh disimplifikasikan terhadap pikiran-pikiran tertentu. Akan tetapi harus dibedakan antara para ulama dengan umaro” jelasnya.“Kedua, agama berkuasa di atas Negara seperti terjadi di Roma. Saat Paus membuat keputusan maka Negara di bawah koodinatnya,”terang Masdar.“Dan ketiga, agama dan Negara membuat kapling masing-masing. Disitulah terjadinya sekularisasi. Nah, seharusnya agama sebagai ruh atau jiwa. Oleh karena itu tidak boleh muncul dalam bentuk formalitas tetapi yang muncul adalah jiwanya,”paparnya.“Untuk itu, saya, kita semua menyakini pola hubungan ini bagaikan ruh dengan jiwa. Kedua-duanya tidak bisa dipisahkan antara jiwa dengan ruh” tambahnya.Ia mengatakan bahwa jika dilacak di Al-Qur’an tidak ada satu itilah atau term tentang Daulah Islamiyyah dan sejenisnya. Negara walau sangat sederhana, tidak memunculkan Negara Islam. Menurut Masdar, Negara Islam muncul dalam wacara fiqh.“Jadi sebetulnya istilah tersebut muncul belakangan bukan dalam teks kitab suci Al-Qur’an. Munculnya tersebut dilatarbelakangi oleh perseteruan antara kerajaan Islam dan Kristen di Eropa,”jelasnya.“Adapun Darul Islam secara modern yang ideologis dan formalistik, term Negara Islam harus disebut namanya dalam konstitusi dimatangkan dan dibakukan oleh Sayyid Qutb. Jadi sebetulnya Negara Islam tersebut dapat disebut sebagai Bid’ah karena tidak ada contoh dalam Islam,”ujarnya sambil terkekeh dan diikuti oleh gelakan hadirin.“Berkaitan dengan konstitusi Negara, ditinjau dari konsep Negara Indonesia sudah sangat Islami, Cuma bahasanya bukan bahasa Arab, tidak formalistic. Indonesia dengan Ideologi Pancasila lebih substantive tidak formalistic. Yang ada dalam Islam adalah Negara berkeadilan, bukan Negara Islam yang formalistic,”paparnya.Menutup paparannya yang sangat jelas, ia mengajak kepada semua masyarakat bahwa konsep Pancasila harus didukung sepenuhnya oleh umat Islam, tidak boleh setengah hati. Jika umat Islam setengah hati, maka umat lain juga akan setengah hati dan menurut Masdar, inilah yang menjadi penyakit dan musibah karena kita bekerja setengah hati.Prof. Dr. Dedi Ismatullah, M.H berpendapat tentang syarah konstitusi yang dikarang oleh Masdar F. Mas’udi adalah hal yang luar biasa yang ditulis oleh seorang Kyai, karena jarang sekali seorang ulama menulis tentang konstitusi Negara. Apalagi lahirnya buku tersebut di sebuah pesantren wanita. Menurutnya buku tersebut menggunakan pendekatan tafsir sosiologi serta linguistic religious.Ia menambahkan konsep hubungan Negara dalam Islam yang merupakan dampak dari konsep Al-Quran yang menekankan 4 perkara, membebaskan manusia dari perbudakan, harus menciptakan kesejahteraan (sembako) bagi masyarakat, menjelaskan  orang yang tidak faham tentang agama dan Harus senantiasa memperhatikan orang miskin. *** [Ibn Ghifarie, Dudi]

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *