(UINSGD.AC.ID)-Salam. Di antara ayat al-Qur’an yang dapat dikaitkan dengan hijrah adalah 59:18 وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ (hendaklah setiap diri merenungkan/mengevaluasi apa yang telah berlalu untuk [cerminan] hari esok).

Ayat ini menggunakan kata “ma” (sesuatu) yang dalam bahasa Arab disebut isim maushul (kata sambung), untuk menunjuk sesuatu berupa apa saja, tetapi umumnya selain manusia.

Dengan demikian, kata “ma” di sini dapat dimaknai apa saja yang telah dialami/diperbuat seseorang di masa yang telah berlalu, bisa berupa pengalaman, atau tindakan, atau rencana yang sukses, atau apa saja.

Kata “ghadin” adalah isim nakirah (menunjukkan sesuatu sembarang, bukan tertentu) sehingga dapat dimaknai hari esok, atau tahun depan, atau hari kiamat, atau hari akhirat, tergantung mana yang paling mengena dan berarti bagi seseorang.

Di antara hal yang menarik, hari kiamat—jika makna ini yang dipilih untuk memaknai “ghadin”—diisyaratkan dengan kata “esok hari”. Ini mengingatkan betapa waktu itu sangat cepat berlalu.

Pergantian hari, bulan, dan tahun sungguh tidak terasa dan cepat sekali, sehingga seolah-olah baru kemarin terjadi. Ini sekaligus mengingatkan kita untuk tidak bermain-main dengan waktu. Ayat ini bertutur tentang manajemen waktu dan kehidupan.

Bila ayat di atas dibaca dengan lengkap, perintah merenungkan/mengevaluasi sesuatu yang telah lalu digandengkan dengan perintah bertakwa kepada Allah. Kedua perintah ini digandengkan oleh kata sambung “wawu athaf”. Penggandengan ini memberi isyarat bahwa evaluasi masa lalu untuk diperbaiki di masa depan memiliki nilai yang penting.

Menarik juga keberadaan kata “nafs” pada ayat ini. Kata ini biasa diterjemahkan dengan “diri”. Kata ini menunjuk tentang otokritik, atau dalam tasawuf disebut “muhasabah”.

Jangan selalu mengandalkan orang lain untuk mengoreksi diri kita karena penilaian orang lain sering bersifat kamuflase. Otokritik biasanya sangat obyektif.

Coba perhatikan dengan seksama. Perintah bertakwa pada ayat ini diulang sebanyak dua kali. Untuk apa? Apakah tidak berlebih? Tidak. Setiap pengulangan dalam al-Qur’an pasti ada maknanya. Lalu apa maknanya?

Perintah bertakwa pertama mengingatkan agar ketakwaan kepada Allah menjadi dasar seseorang mengevaluasi diri sendiri, sedangkan perintah kedua mengingatkan bahwa Allah yang kita diperintahkan bertakwa kepada-Nya adalah Yang Maha Mengetahui atas semua tindakan. Mengingatkan pula bahwa hasil evaluasi dan tindak lanjut dari evaluasi itu pasti diketahui Allah.

Boleh saja mengaitkan ayat ini dengan tema hijrah, tapi hijrah maknawi. Pindah secara maknawi. Kepindahan ini buah dari hasil evaluasi diri. Dari buruk ke baik. Dari baik ke lebih baik. Jadi, pindahnya itu hasil evaluasi, bukan pindah karena musiman atau instan.

Masa depan itu harus dipersiapkan dengan matang, pastinya. Jangan dibiarkan lewat begitu saja. Pemahaman ini diambil dari kata “ta`malun” (apa yang kalian kerjakan) pada ayat di atas.

Kata “ta`malun” diambil dari kata dasar “amila” yang artinya berbuat atau bertindak. Kata ini dibedakan dengan “faila” yang memiliki terjemahan yang sama. Bedanya, “amila” itu berbuat berdasarkan perencanaan dan evaluasi.

Wah, menarik juga ini ayat. Ingat, pesan-pesan ini hanya dialamatkan kepada orang-orang beriman. Mengapa? Karena orang beriman itu meyakini setiap tindakan pasti berkorelasi dengan hari kiamat.

Bagi mukmin, setiap tindakan akan diusahakan selalu berbuah baik pada hari kiamat. Ia yakin banget bahwa nasib kita di hari kiamat kelak berkorelasi dengan manajemen hijrah kita di dunia.

Kata Malik bin Dinar: Nanti di pintu surga ada tulisan begini “Kami memanen apa yang telah diperbuat. Kami menggapai untung ata apa yang telah dikerjakan. Kami merugi atas kebajikan yang luput kami lakukan.”

Ayo….ayo….ayo….Kita berhijrah secara maknawi untuk menyongsong hari esok yang baik. Untuk menyongsong hari akhirat yang pasti bakal terjadi.

Subhanallah, betapa indahnya makna yang ditunjukkan oleh kata “ma” dan “ghadin” pada ayat di atas. Wallahu a`lam..

Prof Dr H Rosihon Anwar, M Ag, Wakil Rektor I UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter