Gus Dur Kitab Bangsa

30 Desember lima tahun lalu Gus Dur meninggalkan kita. Membaca jejak-jejak pemikiran Gus Dur hari ini dalam konteks keumatan adalah sesuatu yang amat penting di tengah suasana meruyaknya kekerasan baik fisik atau pun simbolik yang sedikit banyak dipicu oleh persoalan pemahaman keagamaan yang parsial, ahistoris, dan serba bipolar dengan tendensi pendakuan yang kelewat batas, merasa paling benar sendiri seraya menganggap liyan sebagai keliru.

Gus Dur menawarkan gagasan keagamaan moderat, inklusif, pluralis, transformatif dan liberatif yang dijangkarkan pada akar tradisi yang kokoh. Sehingga pemahaman keagamaan yang dibangunnya menjadi nampak komprehensif baik dari sisi epistemologis atau pun aksiologisnya. Artinya Gus Dur, misalnya, bukan hanya menganggit teologi keragaman namun juga masuk dalam palung pengalaman kemajemukan. Tidak saja memperbincangkan pentingnya membangun masyarakat utama, tapi menjadi bagian tidak terpisahkan dari sosok yang tidak pernah henti melakukan penguatan masyarakat sipil.

Dinyalakannya balai delibratif, ruang di mana Islam secara kreatif oleh Gus Dur didialogan dengan Barat atau pun dunia Timur, dengan masa depan sekaligus silam, dengan ilmu-ilmu sosial mutakhir atau pun ushul fiqh klasik, lewat prinsip utama yang amat populer di kalangan NU: al-muhafadah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu ala al-jadid al-ashlah (merawat tradisi yang bagus, dan mengambil sisi modernitas yang lebih bagus).

Di tangannya Islam hadir menjadi mewajahkan rupa yang moderen (seperti gagasan demokrasi yang dikembangkannya), kosmopolit dan sangat adaptif terhadap dinamika budaya lokal sebagaimana tercermin dari ijtihad “pribumisasi Islam”. Tentu pada saat yang sama Gus Dur sangat menentang segala hal yang berbau ideologisasi, purifikasi dan syariatisasi Islam. Menampik apapun yang dipandang bertendensi mengecilkan Islam menjadi sekadar urusan legal formal.

Inilah sisi kelebihan lainnya: dalam mengartikulasikan seluruh gagasannya itu, terutama pada fase-fase awal, Gus Dur menuangkannya dalam senarai makalah yang jernih, sistematis, mendalam, kontemplatif dan reflektif sebagaimana bisa dilacak pada tulisan-tulisannya yang dimuat di jurnal ilmu sosial terkemuka Prisma periode 1975-1991. Tulisan-tulisan yang sangat ketat dan polemis seperti ini di tangan Gus Dur menjadi bisa dipahami khalayak umatnya karena kepiawaiannya menurunkan bahasa ilmiah menjadi mudah dipahami dan terlebih dipadukan dengan model komunikasinya yang cair dan sarat humor khas pesantren.

Gagasan yang ditatingnya itu bukan hanya mempercakapkan tema keagamaan (Penafsiran Kembali Ajaran Agama: Dua Kasus dari Jombang, Prisma, 1978; Agama, Ideologi dan Pembangunan, Prisma, 1980), namun juga tema yang sangat luas. Menganalisis politik (Reidilogisasi dan Retradisonalisasi dalam Politik, Prisma, 1985), Hak Asasi Manusia (Mencari Perspketif Baru Penegakan Hak Asasi Manusia, Prisma, 1979), Pendidikan (Pesantren, Pendidikan Politis atau Populis? Prisma, 1976), Sosial (Mahdiisme dan Protes Sosial, Prisma, 1977), issu internasional (Timur tengah: Panorama Pergolakan tak Kunjung Berhenti, Prisma, 1978), militer (Islam dan Militerisme dalam Lintasan Sejarah, Prisma, 1980), Kebudayaan (Penafiran Teoritis terhadap Hasil penelitian Orientasi Sosial Budaya di Lima Daerah, Prisma) dan tentu yang berhubungan dengan NU dan lain sebagainya.

Gus Dur sebagai sosok yang lintas batas. Pribadi yang tidak pernah khawatir terhadap seluruh pemikiran yang dilontarkan dan diyakininya. Pergaulannya bukan hanya dengan sesama Muslim bahkan sangat inten melakukan perkawanan dan pembelaan terhadap mereka yang berbeda agama. Dalam ungkapan kawannya Frans Magnis Suseno, “Gus Dur adalah seorang yang menghayati agama Islam secara sangat terbuka. Ia sosok pribadi yang bebas dari segalah kepicikan. Ia benar-benar seorang muslim dan keislamannya begitu mantap sehingga ia merasa tidak terancam oleh pluralitas.”

Keislaman
Kitab “Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita” karya Gus Dur sendiri bisa menjadi jembatan untuk mengaji secara utuh pemikirannya terutama tentang Islam relasinya dengan isu-isu mutakhir, seperti nasionalisme, demokrasi, negara, kapitalisme, sosialisme dan globalisasi. Melalui buku ini Gus Dur memetakan tiga bentuk “keislaman”. Pertama, Islamku (keberagamaan yang bersifat personal dan pengalaman subjektif menggetarkan seperti ini tidak boleh dipaksakan kepada liyan. Islamku sebagai bagian dari kehangatan religiositas, dari penghayatan iman yang otentik); kedua, Islam Anda (Islam yang berlandaskan pada keyakinan yang mengharuskan penghormatan tinggi terhadap keyakinan di luar dirinya baik yang sama ataupun berbeda); Ketiga, Islam Kita (Islam yang ditarik kepada kesadaran kebersamaan/kekitaan dengan cita-cita utama mewujudkan kesejahteraan rakyat/al-mashalih al-ra’iyah, kohesivitas, relasi sosial yang egalitarian, daulat NKRI, dan lain sebagainya).

Gus Dur memaknai Islam secara hakikat. Ditafsirkannya kata al-silmi dalam udkhulu fi al-Silmi kaffah (QS. 2/al-Baqarah: 208), sebagai atribut kedamaian yang tidak menghajatkan sistem resmi untuk menjabarkannya, tidak ada kaitannya dengan islam sebagai sebuah institusi apalagi dihubungkan dengan negara. Silm sebagai etika sosial yang bersifat imperatif dan universal. Oleh Gus Dur dimaknainya hifdud din yang notabene satu dari lima maqashid asy-syariah sebagai kebebasan beragama.

Hubungan Islam dengan negara bagi Gus Dur sudah sangat terang, “Islam janganlah dihayati sebagai ideologi alternatif. Ia harus dilihat sebagai hanya salah satu elemen ideologis yang melengkapi bangunan keindonesiaan yang telah terbentuk… Dari sudut akidah, hak orang Islam memang lebih tinggi dari penganut agama lain. Tapi, Indonesia bukan negara Islam.” Islam dan nasionalisme tidak diperlawankan secara berhadap-hadapan tapi dirumuskan dalam satu tarikan nafas.

Konteks keindonesiaan

Tidak kalah pentingnya juga hari ini adalah membumikan kitab Gus Dur yang berkaitan dengan politik kebangsaan justru di tengah suasana keindonesiaan yang sering disekap situasi gelap yang berpangkal pada defisit etika dan surplus hawa nafsu. Situasi ini tidak hanya mengepung domain politik, tapi juga ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Merenungkan politik ala Gus Dur amat signifikan ketika politik sekarang menjadi semacam medan gelap belantara, tempat satu serigala dengan lainnya saling menerkam (homo homini lupus). Politik menjadi identik dengan muslihat. Padahal politik, seperti dibilang Gus Dur, harus berkhidmat pada kemanusiaan. Bukankah atasnama ini Gus Dur tak gentar membela hak-hak minoritas, mengusulkan pencabutan TAP MPR XXV tahun 1966 (tentang pelarangan Komunisme), bahkan juga membela Inul Daratista. Fitrah politik (dan agama) bagi Gus Dur harus diacukan pada semangat pemuliaan terhadap pluralisme. Pluralisme yang diimaninya sebagai satu ikhtiar tidak saja sebatas memaklumi keragaman tapi menjadikannya sabagai bagian eksistensial dari kepribadian kita disamping pluralisme sebagai saluran memperkuat kelembagaan politik dan juga membenahi perilaku orang-orangnya.

Gus Dur seolah memberikan tausiyah yang terus menggema bahwa politik keindonesiaan hanya bisa waras kalau etika dijadikan haluannya. Seperti keyakinan Gus Dur sendiri, “…Moralitas agama tidak hanya dikembangkan untuk mencari jalan bagaimana seseorang untuk masuk sorga tapi juga perlu dikembangkan menjadi pedoman berpolitik yang dapat dipercaya”

Membaca Gus Dur, kita seperti berhadapan dengan sebuah labirin. Seperti memasuki rumah dengan halaman luas dan kamar yang banyak. Setiap pembaca dapat mengambilnya dari sudut yang berbeda, mungkin juga menghasilkan kesimpulan tidak serupa. Yang jelas upacara haul adalah upaya menafsir kembali sosok Gus Dur dan senarai pemikirannya untuk mempercepat terwujudnya masyarakat utama.

Semoga Gus Dur damai di alam baka, dan juga pemikirannya mengilhami terwujudnya kedamaian di bumi Nusanatara. []

ASEP SALAHUDIN, Dosen UIN SGD Bandung.

Sumber, Media Indonesia, Januari 2015

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter