Dr Beni Raih Best Presenter Award ICON IMAD VIII

[www.uinsgd.ac.id] Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Dr Beni Ahmad Saebani, M.Si dianugerahi penghargaan sebagai Presenter Terbaik (Best Presenter) pada International Conference On Islam In Malay World (ICON IMAD) VIII, yang digelar di HIG (Haji Ismail Group) Hotel, Langkawi, Kedah, Malaysia, 2-4 September 2018.

ICON IMAD VIII, yang bertemakan “Memperkukuhkan Jaringan Peyelidikan Serantau Dalam Pengajian Islam” ini, diikuti oleh universitas dari empat negara yaitu Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung (Indonesia), Program Pasca Siswazah Akademi Pengajian Islam University of Malaya (Malaysia), Islamic College Prince of Songkla University (Thailand), dan Sultan Sharif Ali University (Brunei Darussalam).

Dihadapan para audien empat Negara, Dr Beni mempresentasikan makalah bertemakan “Peranan Ulama Pondok Pesantren dalam Menginterpretasi Budaya Lokal sebagai Model Islam Nusantara”. Tak diduga, performace Dr Beni disambut antusias oleh audien yang hadir. Bahkan tak diduga, Dr Beni mendapat penghargaan sebagai Presenter Terbaik. “Saya biasa-biasa saja, sekadar mempresentasikan makalah hasil penelitian. Eh.. tiba-tiba dianugerahi Best Presenter Award. Alhamdulillah!” ujarnya.

Menurut Dr Beni, orang luar negeri itu ternyata tertarik pada tema-tema yang mengangkat isu-isu daerah dengan khasanah local genius. Buktinya mereka sangat respek ketika saya memaparkan hasil penelitian tentang upacara adat Ngalaksa dan Tarawangsa masyarakat Rancakalong Sumedang,” kata Dr Beni, yang juga Sekretaris Program Studi Hukum Islam (S3) Pasca Sarjana UIN Bandung ini.

Dipaparkan, dalam upacara adat beretnik Sunda itu terdapat berbagai simbol budaya yang memiliki makna keyakinan dan keberagamaan masyarakat, yang mencerminkan kreasi kebudayaan nusantara yang berhubungan dengan agama komunitas. Oleh karena itu, pemaknaan simbol-simbol upacara adat menjadi bagian dari upaya para ulama dan masyarakat adat dalam memberdayakan kebudayaan lokal serta menjadi motivasi utama terbangunnya model Islam Nusantara.

Para ulama pondok pesantren banyak terlibat dengan pemberdayaan kebudayaan lokal masyarakat terutama dalam memaknai simbol-simbol kebudayaan yang dipraktikkan dalam upacara adat, sehingga tafsir terhadap kearifan lokal memiliki makna islami dan kenusantaraannya berkhas.
Ulama Pondok Pesantren Darussalam, Kabupaten Sumedang, misalnya, memaknakan simbol upacara adat Ngalaksa dan Tarawangsa sebagai budaya lokal dengan nilai-nilai keberagamaan masyarakat dalam konteks Islam Nusantara.

Dengan tergalinya nilai-nilai keislaman yang eksis dalam kebudayaan lokal di masyarakat menjadi bukti empirik tentang model Islam Nusantara yang tertanam dalam kehidupan masyarakat. Ini dapat dijadikan landasan terbentuknya teori kearifan lokal sebagai wujud dari peran ulama pondok pesantren.

Dari hasil penelitian, Dr Beni menyimpulkan bahwa penafsiran para ulama terhadap budaya lokal dan simbol-simbolnya yang terdapat pada upacara adat berhubungan dengan keyakinan masyarakat muslim yang mengekpresikan rasa syukur kepada Allah, dengan pelbagai kearifan lokal dalam seni dan hiburan.

Upacara adat menjadi bukti bahwa setiap masyarakat yang beragama memiliki caranya tersendiri dalam bersyukur kepada Yang Maha Pencipta. Sementara ulama meluruskan makna simbolik dari setiap upacara adat yang dilaksanakan secara tradisional. (Nanang Sungkawa)

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter