Ini tentang kualitas, tentang performa diri juga lembaga di hadapan publik. Tapi menilai kualitas bisa menjadi soal yang tidak gampang, cenderung rumit dan bisa tak sekadar mematut-matutkan kemampuan juga sumber daya yang kita punya. Tak boleh asal-asalan. Mustahil menyuguhkan data dan bukti yang artifisial dan asal orang senang. In optima forma.

Siasat mengarang cerita, menyuguhkan data palsu dan melakukan kegiatan yang seolah-olah ada hanya akan memperuncing situasi dan menumpukkan beban kerja. Akibatnya, performa diri juga lembaga bisa lamban dalam merespon perkembangan jaman. Akibatnya, kita hanya jadi penonton yang tak bisa ikut memainkan fungsi dan peran. Akibatnya, kontribusi diri juga lembaga pada kehidupan yang lebih luas tak menuai hasil maksimal. Akibatnya, diri juga lembaga akan ditinggalkan karena tak meninggalkan jejak untuk diikuti dan diteladani.

Hari ini, ketika tuntutan kehidupan menekankan pada data dan fakta, maka menilai kualitas diri juga lembaga mesti didasarkan pada sesutu yang terukur, jelas dan akurat bukti juga tindakannya. Seumpama “panopticon nya” Foucault, tindak pengawasan tidak sebatas pada gerak-gerik yang dapat diamati secara indrawi tapi juga ditelusuri melalui tindakan kongkrit yang akan dan sudah dilakukan.

“Panopticon” adalah pengawasan seksama tentang disiplin diri (lembaga) yang merentang dari persoalan kognisi, afeksi juga psikomotor (halahh….!). Diri juga lembaga dengan ini tak mungkin mengelak dan menyangkal. Panoticon seumpama mata malaikat yang mengawasi gerak-gerak yang dhohir juga batin.

Mungkin saja, akreditasi itu adalah bahasa lain dari “panopticon”. Siasat pengawasan melekat yang dalam dunia pendidikan tertutama di level Perguruan Tinggi dilakukan sebagai upaya evaluasi dan penilaian secara menyeluruh atas komitmen perguruan tinggi terhadap mutu dan kapasitas penyelenggaraan Tridarma perguruan tinggi, untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan.

Menilai kualitas diri juga lembaga pertama-tama adalah mengaktifkan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dan Sistem Penjaminan Mutu Eksternal (SPME). Jika suatu program studi atau perguruan tinggi hanya meningkatkan mutu semata untuk mencapai nilai akreditasi yang baik, maka akan ada kecenderungan mutu internal tidak meningkat. Maka, yang harus dilakukan pertama kali agar akreditasi menuai hasil maksimal, siasat menerapkan pola Continuous Quality Improvement (CQI) dengan meningkatkan mutu internal harus dilakukan terlebih dahulu.

Demikianlah. Sistem Penjaminan Mutu Internal harus dilihat sebagai salah satu solusi untuk menjawab tantangan pendidikan tinggi dewasa ini. Ia semacam mekanisme untuk meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan tinggi.

Ala kulli hal. Sebuah perguruan tinggi bisa memiliki performa dan kinerja yang baik apabila perguruan tinggi itu mampu menerapkan serta mewujudkan visi misi kampus. Ia hadir untuk memenuhi “dahaga” mahasiswa, masyarakat, dan dunia kerja.

Siasat peningkatan lulusan bermutu baik di perguruan tinggi adalah proses yang harus terus menerus diupayakan dengan focus pada subsistem manusia dan teknologi yang meliputi mahasiswa, yang dididik, dosen sebagai pendidik, dan sarana prasarana yang memadai. Produk yang bermutu tentu akan diminati oleh konsumen, begitu sebaliknya.Allahu a’lam[]

Bandung, 1 November 2019

Dr. Radea Yuli A. Hambali, M.Hum, Wakil Dekan I Bidang Akademik Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter