Agama Ibrahim dalam Pendekatan Studi Agama-Agama

Abstract : The basic principle of Abrahamic tradition is monotheism that is each religion like Judaism, Christianity, and Islam have the One God. However, many students of religions discovered the development of monotheism in these religions. Monotheistic religions is not able to defend the purity of their monotheism. Both Judaism and Christianity were influenced by polytheism. In the perspective of Abrahamic tradition, Judaism, Christianity, and Islam were sent by God through many elected messengers and prophets. All of these religions have the same mission, namely monotheism. Judaisme was sent through Moses, Christianity was sent through Jesus and Islam through Muhammad saw. The nearness of these three religions will apppear if these messengers were studied genealogically that in turn they are meeting to their ancestor, Ibrahim who was admitted as the founder of monotheistic religions.

Keywords : Agama Ibrahim, Hanif, Musa, Paulus, Muhammad, Monotheis

A. Pendahuluan

Nama “Ibrahim” banyak menarik perhatian para sarjana. Ada yang mengatakan bahwa nama itu diambil dari suatu kata dalam bahasa Semitik kuno di Babilonia yang mengandung arti “menyeberang” atau “mengembara”. Karena itu anak turunannya pun disebut bangsa Habiru atau Ibrani (Arab: Ibrani, Inggris: Hebrew), yang menunjukkan pengertian sebagai bangsa pengembara atau nomad. Dan kata Arab ‘Ibrani’ adalah satu akar dengan kata ‘abara’ yang artinya “menyeberang” atau “melintas”. Disebut orang Habiru atau Ibrani, karena Ibrahim mengembara, meninggalkan tumpah darahnya, yaitu Kaldea di kawasan Babilonia (di lembah Mesopotamia atau dua sungai, yaitu Efrat dan Tigris, Irak sekarang).[1]

Sedangkan dalam Encyclopedia of Religion, nama Ibrahim (atau, nama Ibrani: Avraham) menunjukkan leluhur bangsa Ibrani dari garis Ishak dan Ya’qub serta leluhur bangsa Arab dari garis Isma’il.[2]

Ibrahim pertama kali mengembara menuju ke utara dan untuk beberapa lama tinggal di kota Harran, sebuah kota dekat perbatasan Irak dan Turki sekarang ini. Karena dimusuhi oleh penduduk setempat, sehubungan tantangannya kepada syirik, ia mengembara lagi menuju ke barat sampai akhirnya di Palestina selatan atau Kana’an, menetap dan berkeluarga di sana, sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di suatu tempat yang dinamai menurut namanya sendiri atau nama suku yang dilahirkannya, yaitu Hebron, tidak di al-Quds atau Yerusalem. Dari sudut kedekatan kebahasaan itu sudah nampak pertalian erat antara bangsa-bangsa Semit, khususnya Arab dan Ibrani.[3]

Dalam pandangan Islam (al-Qur’an) Ibrahim adalah satu-satunya nabi, selain Muhammad, yang namanya disebut dalam shalat. Karena mengandung makna kesejarahan wahyu yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul, maka nama Ibrahim di dalam al-Quran disebut sebanyak 69 kali dalam 24 surat. Sekalipun demikian, nama Musa lebih banyak lagi, disebut sebanyak 136 kali, tetapi, tidak sebagaimana Ibrahim, nama Musa tidak disebut sebagai nama atau judul sebuah surat.[4]

Dalam sejarah kenabian Islam, Ibrahim berputrakan Isma’il dan Ishaq. Isma’il lahir dari istrinya Hajar, seorang bekas budak wanita Mesir hadiah Fir’aun. Diberi nama “Isma’il” (diarabkan dari bahasa Ibrani, eshma-El, Allah telah mendengar), karena Ibrahim meyakini kelahiran anaknya itu adalah berkat do’anya yang telah didengar Allah. Sedangkan Ishaq, yang beberapa tahun lebih muda daripada Isma’il, lahir dari istri Ibrahim pertama, yaitu Sarah. Dinamakan “Ishaq” (diarabkan dari nama Ibrani izaak yang artinya “tertawa”) karena konon Sarah tertawa ketika menerima berita suci dari Malaikat bahwa dia akan mengandung meskipun lanjut usia. Dari Isma’il hanya memiliki turunan seorang nabi, yaitu Muhammad SAW, sedang dari keturunan Ishaq tampil banyak nabi dan rasul. Para nabi dan rasul yang banyak tampil di Palestina itu adalah keturunan nabi Ya’qub, anaknya Ishaq, cucunya Ibrahim. Ya’qub inilah yang digelari “Isra-El” (Israil) yang artinya “Hamba Allah”, atau “seorang pemuda yang berjalan diwaktu malam untuk memperjuangkan tegaknya kebesaran Allah”[5], maka keturunannya disebut “Bani Israil” (Anak-turun Israil).[6]

Nabi Ya’qub atau Israil punya anak dua belas orang, sepuluh dari istri pertamanya dan dua dari istri keduanya. Dari yang sepuluh itu, dua yang terkenal yaitu Yehuda dan Levi, dan dua anak dari istri keduanya, yaitu Yusuf dan Benyamin, juga sangat terkenal karena mereka mewarnai sejarah Bani Israil. Adalah Yusuf, yang dalam Islam disebut seorang nabi, karena suatu peristiwa lalu berada di Mesir, dalam lingkungan istana, menjabat sebagai menteri pangan. Sementara itu, nabi Ya’qub dan keluarganya tinggal di Kanaan sampai akhirnya berimigrasi ke Mesir bergabung dengan anaknya, Yusuf, yang berpengaruh dan berkedudukan tinggi. Di Mesir itulah anak turun nabi Ya’qub atau Bani Israil berkembang biak, dan dalam jangka waktu ratusan tahun lahirlah suatu kelompok etnis, kultural dan keagamaan, yang dikenal sebagai bangsa Yahudi. Mereka tumbuh dan berkembang dalam dua belas suku, mengikuti jalur garis keturunan dua belas anak-anak nabi Ya’qub (Israil).[7]

Dalam sistem keimanan Islam, Ibrahim disebut sebagai “Bapak Para Nabi” (Abul-anbiya). Dalam tiga tradisi agama, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam sering dijuluki sebagai “Bapak Orang Beriman”.[8] Dengan demikian, membicarakan tradisi Agama Ibrahim (sebagai titik temu agama-agama Semitik Yahudi, Kristen, dan Islam) –dewasa ini telah menjadi suatu kepentingan yang tidak bisa dihindari lagi, bahkan merupakan keharusan. Ketiga agama ini telah berada dalam suatu kondisi sosiologis yang saling mempertemukan satu sama lain.

Agama-agama Semit dari garis keturunan Ibrahim menyatakan diri mereka sebagai karunia yang diturunkan dari surga pada suatu masa tertentu dalam sejarah.[9] Dan al-Qur’an menampilkan beberapa tokoh (orang Yahudi dan Kristen) sebagai “mereka yang telah diberi Kitab Suci”, atau “ahli Kitab”, atau “orang-orang yang menyampaikan peringatan”.[10]

Dalam konteks itu, maka sudah pasti Muhammad Rasulullah memiliki kesamaan hakiki dari segenap pesan kenabian. Dan ini merupakan bukti lanjut bahwa seruannya sama dengan seruan Musa dan Isa -bahkan sama dengan seruan para nabi lainnya. Dengan demikian, kenabian adalah suatu misi yang tidak bisa dipecah-pecahkan. Kita tak boleh mempercayai sebagian di antara mereka dan menolak sebagian lainnya tanpa “mengingkari” sumber wahyu itu sendiri. Memang seruan para nabi itu pertama-tama diutus pada bangsanya sendiri, serta menyampaikan perintah Tuhan menurut bahasa mereka sendiri, tapi seruan mereka bersipat universal, bukan lokal. Jadi, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan lain sebagainya adalah nabi-nabi universal.[11]

Hanya saja, menurut Arnold Toynbee,[12] dalam perjalanan sejarahnya, ketiga agama wahyu yang muncul dari akar yang sama itu, memiliki suatu tendenasi ke arah eksklusivisme dan intoleransi. Mereka mengklaim sebagai satu-satunya pemilik validitas ultim. Terutama Kristen, sedemikian eksklusif sehingga para pengikut mereka sering merasa cukup untuk memandang agama lain sebagai sesuatu yang tumbuh dari kesalahan, dosa dan niat jahat. Dari situ mereka mentransfer kemutlakan yang merupakan sifat eksklusif dari Yang Ilahi dan Abadi kepada sistem keimanan mereka sendiri, tanpa melihat bahwa kemutlakan Ilahiah ini dapat juga dipahami dalam bentuk-bentuk pemikiran maupun peribadatan yang sepenuhnya berbeda.

Istilah “Abrahamic Religion”, atau agama Ibrahim, adalah sebutan teoritis kepada Yahudi, Kristen, dan Islam, dimana Ibrahim (Abraham) dipandang sebagai leluhur bagi ketiga agama tadi. Oleh karena itu, pembahasan tentang Abrahamic Religion akan membicarakan tentang pandangan tradisi Yahudi, Kristen, dan Islam tentang Ibrahim, serta pandangan ketiga agama itu tentang “pendiri”nya, yakni Musa, Yesus (Isa), dan Muhammad.

 
B. Ibrahim (Abraham)

Menurut David Gordis, Seminari Teologi Yahudi yang juga Presiden Hebrew College Brookline, bahwa dalam tradisi Yahudi, Ibrahim merupakan yang pertama dari ketiga bapa bangsa (patriarkh), bersama Ishaq dan Ya’qub. Ibrahim adalah tokoh yang memperkenalkan paham monoteisme, sebagaimana terungkap dalam kitab Kejadian, tapi secara lebih rinci dikembangkan dalam literatur Midrash[13], yang mencakup pandangan satu Tuhan yang ditemukan Ibrahim, penolakannya pada pemujaan berhala, dan kepergian Ibrahim dari tanah kelahirannya serta politeisme yang berkembang di sana. Ibrahim, tidak saja membuka lembaran baru dalam sejarah bangsa Israel dan masyarakat Yahudi, tetapi ia pun memulai sejarah dunia yang baru, yakni pandangan monoteistis sebagai sebuah proses yang dimulai dari Ibrahim hingga Musa dan turunnya Taurat.[14]

Dalam pandangan Muzammil Siddiqi, Direktur Masyarakat Islam di Orange County yang juga dosen  di Departemen Kajian-kajian Agama California State University, bahwa dalam Islam Ibrahim tidak disebut sebagai pendiri agama Islam, Ibrahim adalah seorang nabi yang dipilih oleh Allah untuk menyampaikan pesan Allah. Namun, sebagai seorang Nabi ia menempati posisi sentral. Namanya banyak disebut dalam al-Qur’an: Ia dujuluki sebagai awwal al Muslimin, prototipe Muslim sejati, seorang yang taat kepada Allah. Ia juga disebut sebagai hanif, seorang monoteis teguh yang tidak menyimpang dari kepercayaannya. Al-Qur’an menyebutnya juga sebagai khalil, sahabat Tuhan, dan ummah, kata yang biasanya merujuk pada masyarakat Muslim. Maka, sosok Ibrahim mewakili seluruh masyarakat kaum beriman, sebagaimana ditegaskan Allah dalam Qur’an S.22:78: “Ikutlah agama ayahmu Ibrahim”. Bahkan, dalam arti tertentu, kedatangan Muhammad sendiri adalah untuk menegaskan kembali pesan-pesan Ibrahim.[15]

Menurut George B. Grose, seorang pendeta the Presbyterian Church Amerika, bahwa dalam banyak hal, tidak ada perbedaan esensial antara Yudaisme, Kristen, dan Islam tentang Ibrahim. Ibrahim adalah figur awal dalam sejarah monoteisme, sahabat Tuhan (2 Taw. 20:7; Yak. 2:23). Dalam Ibrahim seluruh bangsa di muka bumi akan diberkati (Kej. 12:3). Orang-orang Kristen disebut keturunan Ibrahim melalui Kristus (Gal. 3:29), yang merupakan salah satu tema utama Paulus. Ia menggambarkan Ibrahim sebagai seorang pahlawan iman, Bapa kita dalam iman; dan jika kita memiliki  iman seperti Ibrahim, maka kita akan diselamatkan (Rm. 4; Gal. 3:9). Jadi tema keselamatan muncul karena iman Ibrahim.

Dari ketiga pandangan agama itu, dapat diambil kesimpulan bahwa nama Ibrahim menjadi sosok yang sentral dalam keyakinan agama dan sama-sama mengakui bahwa Ibrahim adalah perintis paham monoteisme. Ia pun dipandang sebagai leluhur dari ketiga tradisi Yahudi, Kristen dan Islam.

C. Musa

Menurut tradisi Yahudi, Musa adalah nabi utama yang tidak ada duanya. Hanya Musa-lah satu-satunya nabi yang memiliki pengalaman berhubungan langsung dengan Allah. Menurut Gordis,[16] bahwa peristiwa penampakan Allah di Gunung Sinai (Keluaran 19-20) sekaligus produk hubungan tersebut–yakni pemberian Taurat– yang menjadikan Musa sebagai leluhur  bangsa Yahudi. Peristiwa Sinai merupakan peristiwa sentral dalam Alkitab Ibrani[17] bagi kaum Yahudi, suatu peristiwa yang mendekatkan kita pada mitos sentral yakni mitos dalam artian kisah yang membentuk masyarakat Yahudi. Kisah itu bermula dengan kepergian keturunan Ibrahim menuju Mesir, dilanjutkan dengan kisah Keluaran dari Mesir –sebuah kisah tentang pembebasan masyarakat– dan memuncak pada peristiwa-peristiwa sekitar pewahyuan Allah kepada manusia di Gunung Sinai melalui Musa. Peristiwa-peristiwa ini tercermin dalam kalender Yahudi, khususnya pada masa Paskah (Yahudi) dan Shavuot. Musa adalah figur sentral pada dua perayaan tersebut. Ia adalah pembebas, pemimpin, dan nabi yang menjadi alat bagi pemberian Taurat,yang menjadikan bangsa Yahudi sebagai bangsa Taurat atau ahli kitab. Kitab Taurat dibaca setiap hari Sabbath di sinagoga (tempat ibadah orang Yahudi).

Menurut pandangan Kristen, sebagaimana Grose[18] tuturkan, bahwa Musa adalah seorang nabi dan pemberi hukum bagi umat Kristen, dan figur yang hadir bersama-sama dengan Elia pada peristiwa Yesus dimuliakan di atas gunung (Mat.17 :1-8; Mrk 9:2-8; Luk.9:28-36). Grose lebih lanjut menegaskan, bahwa bagi kalangan Kristen, Musa –dalam Perjanjian Lama– merupakan figur besar sesudah Ibrahim. Untuk urusan hukum moral, Musa sangat esensial bagi kalangan Kristen. Dalam sejarah dibuktikan bahwa ketika Gereja mengalahkan Mercion (pertengahan abad kedua) yang ingin menghapuskan Perjanjian Lama, tidak ditujukan kepada isi hukum itu, atau terhadap Musa selaku perumus atau pembawa hukum tersebut.[19]

Menurut pandangan Islam, sebagaimana diungkapkan oleh Muzzamil Siddiq, bahwa samahalnya dengan Ibrahim, al-Qur’an menuturkan episode kehidupan Musa di berbagai tempat. Tampaknya, Musa merupakan nabi terpenting kedua dalam al-Qur’an. Ia disebut kalim Allah, seseorang yang menyembah Allah dan kepadanya Allah berbicara secara langsung (Q.S.4:164). Dialognya dengan Allah di gunung Sinai, pemberian kitab Taurat, dan ketidakmampuannya berhadapan langsung dengan Allah dikisahkan dalam al-Qur’an.[20]

Nabi Musa, memang ditugaskan oleh Tuhan untuk membebaskan Bani Israil dari penindasan dan perbudakan oleh Firaun. Bocah Musa sendiri memang dilahirkan dari ayah-ibu dari Bani Israil, namun ia dibesarkan dalam istana raja Mesir, dan nama Musa itupun diberikan Fir’aun (sebuah nama Mesir, bukan nama Ibrani). Bahasa Mesir kuna yang diarabkan menjadi “musa” itu berarti “air”, karena jabang bayi itu ditemukan istri Fir’aun di sungai Nil –dihanyutkan oleh ibunya sendiri atas perintah Tuhan demi menyelematkan bayi itu– yang kemudian diselamatkan oleh istri Fir’aun dan diangkatnya sebagai anak sendiri. Dan Musa sendiri menyadari bahwa ia bukanlah orang Mesir, melainkan dari kalangan Bani Israil yang ditindas Fir’aun itu. Ia tahu dari ibu kandung sendiri, yang secara mu’jizat berhasil menjadi “baby sitter” dan penyusunya di istana.[21]

Dalam pandangan Yudaisme, hukum Musa diberikan untuk sepanjang masa, sampai hari kiamat, tidak ada sesuatu pun yang dapat ditambahkan padanya, dan tidak ada yang dikurangi darinya.[22]

Dalam pandangan Islam, Musa dan Muhammad memiliki beberapa kemiripan: Musa meninggalkan Mesir dan mengungsi (ke Tanah Midian, Kel.2:15); nabi Muhammad juga melakukan hijrah. Musa pergi melihat semak-semak yang terbakar dan tiba-tiba mendapat wahyu Allah, menjadi seorang nabi, Muhammad juga demikian. Secara keseluruhan, al-Qur’an berulangkali menyebutkan lima nabi besar: Nuh, Ibrahim, Musa, Yesus, dan Muhammad.[23]

Dari ketiga pandangan agama itu, Yahudi dan Islam memiliki kesamaan pandangan, terutama dalam hubungannya dengan dosa “unsur-unsur ketuhanan” dalam diri nabi, dibandingkan dengan Kristen. Yahudi dan Islam selalu memelihara dan menjaga agar tidak ada atribut keilahian dilekatkan pada sosok Musa. Ini menunjukkan bahwa Islam dan Yudaisme sama-sama menekankan  bahwa ketuhanan dan kemanusiaan bukan hal serupa, sementara Kristen mendekatinya secara berbeda lewat figur Yesus. Dalam Yudaisme, begitu juga Islam, Musa bukanlah tokoh untuk dipuja. Untuk kalangan Yahudi, makam Musa pun tidak diketahui, bahkan perayaan Paskah dalam Keluaran tidak menyebut nama Musa, hal ini untuk mengurangi resiko pemujaan pada manusia yang dapat mengganggu ide dasar monoteisme.[24]

Sementara, dalam pandangan Kristen, sebagaimana dipahami oleh Grose, bahwa umat manusia –termasuk para nabi– dalam banyak hal merupakan “mitra kerja” Allah, sebab, bukankah seseorang memperoleh nikmat tertentu karena bekerja bersama Allah? Nikmat itu adalah suatu rahmat, sebuah pemberian. Dengan Musa, aspek rahmat muncul. Maka Allah menurunkan sepuluh hukumnya (Kel.20 : 2). Jadi, seluruh peristiwa bermula dari rahmat bergerak menuju hukum. Inilah kehidupan religius dalam pandangan Kristen.[25]

Sedangkan dosa asal menjadi salah satu pembeda Yudaisme, juga Islam dengan Kristen. Dalam Kristen, manusia berbuat dosa  karena ia adalah pendosa; sedangkan dalam Yudaisme dan Islam, manusia adalah seorang pendosa karena ia berbuat dosa. Manusia tidak dilahirkan sebagai seorang pendosa.[26]

 D. Isa (Yesus)

Yesus adalah seorang Yahudi dalam wilayah pendudukan kerajaan Romawi di Propinsi Palestina. Dengan latar belakang Yahudinya, Yesus adalah pewaris sebuah tradisi yang telah lama mapan, yakni tradisi monoteisme dan ide bimbingan agama melalui hukum dan nabi. Pada masa Yesus, telah ada sebuah komunitas monoteistik lebih dari seribu tahun yang menyembah Tuhan Esa di Bait Allah atau di Sinagog. Pada masa Yesus ini pula, Palestina merupakan tempat pergolakan masalah politik dan agama dan pertentangan antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam komunitas Yahudi untuk mendapatkan kekuasaan dan pengaruh.[27]

Di samping pertentangan-pertentangan itu, terdapat pemikiran Yahudi tentang ide Messiah, seorang pembebas yang akan lahir dan melepaskan bangsa dari penindasan, dan kemudian membangun pemerintahan yang adil. Sebagaimanahalnya Dawud pada periode awal sejarah Yahudi, seorang Messiah, “orang yang diurapi”, akan mendirikan kerajaan keadilan. Oleh karena itu, terdapat harapan dan penantian besar pada sebagian besar komunitas Yahudi.[28]

Semua murid awal Yesus berbangsa Yahudi, namun hal ini tidak berlangsung lama, karena gerakan Yesus menyebar dikalangan bangsa bukan Yahudi. Tokoh kuncinya adalah Paulus. Paulus bukanlah salah satu dari murid Yesus, malahan, setelah kematian Yesus, ia adalah salah seorang penentang utama Yahudi terhadap gerakan Yesus. Namun, sekitar sepuluh tahun setelah penyaliban Yesus, Paulus tampaknya mengalami semacam pengalaman konversi yang dramatis (Kisah Rasul 9 : 1-19; 6-16; dan 26 :12-18). Dari seorang yang suka mengganggu pengikut Yesus, berubah menjadi pengikut gerakan itu, bahkan dengan antusias.[29]

Paulus adalah yang berusaha paling gigih untuk keluar dari batas “keyahudian” dengan kata-katanya ketika menulis surat kepada orang-orang Yahudi, “tak ada lagi orang Yunani atau orang Yahudi”. Dalam surat kepada orang-orang Romawi, disamping ia menegaskan kenabian Yesus kepada Bani Israel, berkata : “Aku katakan kepadamu, hai orang-orang kafir, bahkan aku adalah rasulnya orang kafir” (Rom XI, 13). Ia juga menegaskan, “aku ini orang Yahudi keturunan Ibrahim, dari suku Benyamin. Tuhan tidak pernah menolak bangsa yang ia telah pilih (XI. 1-2). Dengan begitu, Yesus adalah realisasi dari aliansi baru, yang diumumkan oleh Jeremia di mana hukum suci tidak tertulis di batu akan tetapi dalam hati (Heb. X :16).[30]

Paulus sama sekali tidak merasa malu bahwa ia keturunan Yahudi. Justru sebaliknya ia sangat bangga dan tetap sangat cinta kepada bangsanya sendiri. Sekalipun demikian, nampaknya Paulus melihat peralihannya kepada agama Kristiani sebagai suatu “break”, bukan hanya suatu perubahan, melainkan suatu “ciptaan baru” (2 Kor 5,17). Padahal pada waktu itu, perbedaan antara ajaran Kristen dan ajaran Yahudi belum terlalu besar. Mereka sama-sama mempunyai ajaran mengenai Allah, penciptaan, penyelamatan dan dosa, pembenaran serta rahmat Allah. Semua itu, oleh orang Kristen diambil alih dari ajaran Yahudi. Yang baru ialah bahwa Yesus adalah “Kristus” dan “Tuhan”. Dan hal itu dapat dilihat sebagai “pemenuhan” dari harapan Yahudi.[31]

Peralihan Paulus dari Yahudi ke Kristen adalah merupakan tindakan “pertobatan”. Dalam Gal. 1 dan 23, Paulus berkata : “Ia yang dahulu menganiaya mereka (yakni orang Kristen), sekarang memberitakan iman”. Dalam Gal.1,13 ia menegaskan kembali, “tanpa batas aku menganiaya jemaat Allah dan berusaha membinasakannya”.; juga, “aku adalah yang paling hina dari semua rasul, sebab aku telah menganiaya jemaat Allah (1 Kor 15,9). Dengan demikian, “peralihan” ini, yakni dari seorang penganiaya kepada seorang beriman Kristiani, disebut “pertobatan Paulus”.[32] Dan pertobatan Paulus itu dipandang betul-betul sebagai tindakan Allah langsung.[33]

Oleh karena itu, berdasarkan analisis Goddard, bahwa Paulus adalah orang yang bertanggung jawab terhadap dua perkembangan utama dalam gerakan Kristen:

Pertama, ia menyadari bahwa arti Yesus tidak hanya diperuntukkan bagi bangsa Yahudi, tetapi bersipat universal, sehingga dengan giat ia membawa risalah Yesus kepada bangsa bukan Yahudi. Keputusan inilah yang menyebabkan terjadinya keretakan yang pertama dikalangan pengikut Yesus, terutama berkaitan dengan, apakah keputusan Paulus itu benar atau tidak, sehingga muncul keputusan para pemimpin gerakan Kristen pada konsili di Jerusalem, yang membenarkan keputusan Palus.

Kedua, Paulus melakukan perjalanan misi di luar wilayah Jerusalem dan Palestina, menjelajahi seluruh wilayah Mediterania Timur hingga mencapai Roma. Dimanapun ia berjalan, menyampaikan pesan signifikan Yesus, sehingga berhasil membentuk komunitas kecil atau gereja-gereja yang terdiri atas orang-orang yang telah menerima pesan tersebut.[34]

Bagi seorang penganut Trinitas yang ekstrim, Tuhan memang hanya Esa tetapi Dia hanya dapat menjadi Esa jika “Dia Bertiga”, dan tidak ada Tuhan Yang Esa kecuali di dalam dan melalui Trinitas Tuhan Yang Esa, tanpa Trinitas, atau bebas dari segala pengungkapan hipostatik, bukanlah Tuhan yang benar, sebab tanpa pengungkapan ini Keesaan tidak ada artinya. Tentu saja, Yudaisme dan Islam mengemukakan keberatan-keberatan terhadap doktrin Trinitas, karena, “Anak itu dilahirkan dan bahwa Dia adalah Tuhan; tetapi Tuhan tidak dilahirkan, Dia adalah Mutlak. Roh Kudus itu muncul dan bahwa ia diutus dan bahwa ia Tuhan; tetapi Tuhan tidak muncul dari sesuatu pun, juga ia tidak diutus. Bapa itu Tuhan dan bahwa dia beranak; Tuhan mencipta, tetapi dia tidak beranak, sebab jika demikian maka akan ada dua Tuhan. Lagipula bagaimana dapat anak dan Roh Kudus itu masing-masing identik dengan Tuhan dan tidak identik antara satu sama lainnya?” [35]

Yesus adalah Kristus, dan nama Yesus menunjuk kepada Yesus dari Nasaret, artinya Yesus sebagai manusia yang hidup dan wafat di dunia ini. Kata “Yesus” menunjuk kepada kemanusiaan Yesus. Sedangkan kata “Kristus” adalah kata dengan latar belakang Yahudi, yang oleh Paulus diambil dari Gereja purba di Palestina. Dalam surat Paulus, nama Kristus biasa dipergunakan, dipakai lebih dari 370 kali dalam Corpus Paulinum. Bagi Paulus, nama tersebut sudah hampir menjadi nama diri, dan amat kerap dikatakan Yesus-Kristus atau Kristus-Yesus. Namun demikian, Paulus sebanarnya tidak mengenal pengakuan “Yesus adalah Kristus”.[36]

Karena Paulus berkata, baik “Kristus Yesus” maupun “Yesus Kristus”, dan karena ia masih tetap juga memakai nama “Yesus”, maka jelaslah bahwa “Kristus” tidak menggantikan “Yesus”. Artinya, “Kristus” tidak seluruhnya menjadi nama diri. Sekalipun tidak pernah ada keterangan atau teori mengenai nama “Kristus”, tetapi yang pasti bahwa Kristus berkaitan seluruhnya dengan Yesus, yang hanya mempunyai arti dalam hubungan dengan Yesus. Dengan lain kata nama “Kristus” mengungkapkan iman kristiani, yakni iman akan Yesus. Dalam Rom 1,7 Paulus berkata “Tuhan Yesus Kristus”; juga dalam Rom 10,9 dikatakan bahwa “Yesus adalah Tuhan”; dan dalam Flp 2,11 mengatakan “Yesus Kristus adalah Tuhan”.[37]

Jika Kristus, di satu pihak, adalah pendiri suatu agama dunia, di lain pihak ia adalah seorang nabi Yahudi yang di utus ke Israel dan membaktikan dirinya untuk Israel. Dalam pandangan Islam, sebagaimana ditekankan dalam Al-Qur’an, Yesus berfungsi sebagai regenerator, ia adalah nabi mulia yang menekankan dimensi batin, dan dalam hal ini dia hendaknya diterima oleh Israel sebagaimana Isaiah.[38]

Kristus adalah Tuhan, tetapi Tuhan bukan hanya Yesus dan pemahaman saya pun tidak menangkap secara tuntas arti kata tersebut.Kristus adalah satu-satunya pengantara, tetapi Ia bukan monopoli orang-orang Kristen dan, kenyataannya, Ia hadir dan bekerja dalam setiap agama autentik, apa pun bentuk dan namanya. Kristus adalah simbol, dengan mana orang Kristen menyebut dirinya; simbol dari Misteri yang tetap transenden tetapi sekaligus tetap imanen manusiawi.[39]

E. Muhammad

Muhammad dilahirkan di Mekkah pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun Gajah pada tahun 571 M. ketika tentara Abessinia yang menyerbu Arabia dikalahkan. Ia memiliki julukan nama, yakni “Ahmad”, “Mustafa”, “‘Abdallah”, “‘Abu’l Qasim”, dan “al-Amin”. Nama dan julukannya, masing-masing menyatakan sifat dari hamba yang diridhai-Nya. Muhammad dan Ahmad mengandung arti “orang yang diagungkan dan yang dipuji”; Mustafa, “orang yang terpilih”; ‘Abdallah, “hamba yang sempurna dari Allah”; al-Amin, “orang yang dipercaya”, dan dikemudian hari sebagai ayah Qasim Abu’l-Qasim; ia tidak saja sebagai nabi dan rasul, tetapi juga sebagai sahabat Allah dan rahmat bagi dunia : “Kami mengutus kau semata-mata sebagai rahmat bagi seru sekalian alam” (Q.S.21 : 107).[40]

Menurut Grose, bahwa Muhammad, sesuai dengan yang dinyatakan al-Quran, tidak dipanggil untuk memperkenalkan agama baru, melainkan untuk memperbarui agama Allah sesungguhnya yang telah terdistorsi selama berabad-abad di kalangan masyarakat Arab dan di kalangan lain. Diperlukan pula koreksi dalam agama Kristen dan Yudaisme. Jadi, ia adalah pengoreksi politeisme Arab, juga Yahudi dan Kristen, ia juga menyerang pemujaan berhala dimanapun ia menemukannya.[41]

Muhammad adalah pembaru monoteisme, yang dengan jelas membedakan antara Yang Ilah dengan yang manusiawi; inilah esensi Islam yang dibawanya( Tauhid); Yudaisme pun demikian, membedakan Yang Ilah dengan yang manusiawi.[42] Disebut pembaru, karena setelah ribuan tahun berlalu, pesan monoteistik Ibrahim sirna dari tanah Arab dan mayoritas bangsa ini segera tenggelam ke dalam kemusyrikan yang tidak terperikan nistanya. Mereka telah melupakan kebenaran dan tersungkur ke perut kekufuran (al-Jahiliyyah) yang merupakan latarbelakang langsung kelahiran Islam.[43]

Sekalipun bangsa Arab ketika Muhammad lahir dalam keadaan politeistis dan kemusyrikan, satu-satunya pengecualian, disamping sejumlah kecil orang-orang Kristen dan Yahudi yang berdomisili di Arab, masih tersisa segelintir orang yang tetap ingat akan agama purba (pendahulu) Ibrahim, mereka itu oleh al-Quran disebut kaum hanif atau kaum hunafa.[44] “Agama Hanif” adalah agama Ibrahim; dan, Islam, melalui Muhammad, merupakan agama yang mengembalikan dirinya pada agama hanif.[45]

Goddard menambahkan, bahwa ada beberapa individu yang cenderung kepada monoteistis, yang dikenal dengan hanif, sebuah istilah yang sulit diterjemahkan ke dalam bahas Inggris, tetapi biasanya diartikan dengan kaum monoteis Arab. Namun, kaum hanif tidak masuk agama Yahudi ataupun Kristen, malahan mereka tetap menjadi penganut agama Arab yang monoteistik itu. Maka, kata “Allah”, sebuah kata Arab kuno dan berarti “tuhan” (“t” kecil) yang tinggi, di dalam pikiran kaum hanif dipahami sebagai satu-satunya “Tuhan” (“T” besar). Bagaimanapun, sebelum masa Muhammad, kaum Yahudi, Kristen, dan Hanif adalah kaum minoritas di Arabia.[46]

F. Agama Ibrahim : Agama Monoteis

Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa semua agama Ibrahim prinsip dasar kepercayaannya adalah monoteistis, yakni bahwa masing-masing agama: Yahudi, Kristen, dan Islam bertuhankan satu. Namun demikian, beberapa penstudi agama atau para sarjana telah mencatat adanya kecenderungan pada agama-agama yang berkembang dalam wilayah monoteisme. Para sarjana itu antara lain Albright (1957), Bellah (1964), Spencer (1893, Taylor (1871), yang pada umumnya memegang prinsip teori evolusi bahwa: “ketika masyarakat-masyarakat semakin tua, menjadi besar, dan lebih kosmopolitan, mereka cenderung memuja lebih sedikit Tuhan yang memiliki scope lebih luas”.[47] Menurut Herbert Spencer (1820-1903), bahwa monoteisme absolut sangat jarang. Ia menyatakan, “monoteisme murni hanya diterima oleh kaum unitarian dalam coraknya yang telah maju, dan oleh mereka yang disebut sebagai kaum etis”. Agama-agama monoteistis tidak mampu mempertahankan kemurniannya, seperti agama Yahudi yang pada dasarnya bersipat monoteistis, banyak memperoleh suntikan politeisme; juga Kristen secara parsial bersipat politeistis. Bahkan, kepercayaan pada setan, dipahami sebagai wujud supernatural yang independen, mengimplikasikan politeisme yang tetap hidup.[48]

Dalam perspektif ‘Agama Ibrahim’, bahwa Yahudi, Nasrani (Kristen), dan Islam, ketiga-tiganya datang dari Tuhan melalui seorang rasul dan nabi pilihan, ketiga-tiganya membawa misi sama : tauhid (monoteisme). Yahudi diturunkan melalui Musa, Nasrani diturunkan melalui Isa (Yesus) dan Islam melalui Muhammad. Kedekatan ketiga agama tersebut semakin tampak jika dilihat secara geneologis ketiga utusan (Musa, Isa dan Muhammad) yang bertemu pada Ibrahim (Abraham), dan sama-sama mengakui Ibrahim sebagai “the foundation father’s” bagi agama tauhid (monoteisme).[49]

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, faham ketuhanan Kristen, merupakan sebuah keyakinan yang memiliki akar pada tradisi monoteistik agama Yahudi yang telah lama mapan dan dalam konteks pendudukan Romawi atas Palestina, keyakinan itu didasarkan atas kehidupan dan ajaran seorang tokoh yang dapat menyingkirkan berbagai aliran pemikiran Yahudi pada saat itu hingga tokoh itu di salib. Namun, penyaliban itu bukan merupakan akhir gerakan Yesus, karena setelah itu, risalah tentang Yesus yang bangkit mulai disebarkan oleh para murid Yesus, bahkan di tangan Paulus, ia mulai dipahami sebagai risalah yang bersipat universal.[50]

Oleh karena itu, menurut Frtichof Schuon[51] yang menegaskan bahwa monoteisme menjadi prinsip dasar kepercayaan agama Ibrahim. Namun, bila menggunakan analisis esoterik dan eksoteris tentang “Kebenaran dan Kehadiran Tuhan”. Wujud penyelamat dari Yang Mutlak adalah Kebenaran atau Kehadiran. Dengan menggunakan analisis ini, antara Islam dan Yahudi di satu sisi, dengan Kristen di sisi lain, menjadikan berbeda diantara agama Ibrahim itu. Kristus pada hakikatnya adalah perwujudan dari kehadiran Ilahi, tetapi juga kebenaran itu sendiri. Dalam agama Kristen, unsur Kehadiran datang lebih dulu sebelum unsur Kebenaran; unsur yang pertama, karenanya, menyerap yang kedua, dalam pengertian bahwa Kebenaran disatukan dengan perwujudanKristus. Kebenaran Kristen menyatakan bahwa Kristus adalah Tuhan.

Berbeda dengan Islam, juga Yahudi, yang didasarkan pada dalil bahwa “Kebenaran Yang Mutlak” itulah yang menyelamatkan. Batasan eksoterik dari pandangan ini adalah bahwa Kebenaran sajalah yang menyelematkan, bukan Kehadiran. Agama Kristen sebaliknya, didasarkan pada dalil bahwa Kehadiran Ilahi itulah yang menyelamatkan. Batasan ekoteriknya adalah, sebaliknya, dalil bahwa hanya unsur Kehadiran saja yang dapat menyelamatkan, dan bukan unsur Kebenaran itu sendiri.[52]

Terlepas dari kenyataan itu, Goddard menegaskan bahwa, karakteristik keyakinan Kristen pada dasarnya adalah monoteisme, demikian pula halnya Yahudi. Antara Yahudi, Kristen, dan Islam memiliki ajakar monoteisme yang kuat. Yesus dan muridnya adalah orang Yahudi, jadi mereka merupakan kaum monoteis yang kuat, karena berasal dari kepercayaan monoteis selama berabad-abad. Namun, sebagai akibat penyaliban Yesus, di mana para pemimpin beberapa aliran pemikiran Yahudi terlibat, maka hubungan antara komunitas Yahudi dengan gerakan Yesus segera menegang. Pertama, setelah kematian Yesus, para pengikut Yesus tetap beribadah di Sinagog Yahudi dan di Bait Allah, Jerusalem, tetapi, yang kedua, setelah mereka dikenal sebagai orang Kristen dan telah memutuskan untuk mengenalkan Yesus pada bangsa non-Yahudi, mereka mulai menempuh jalan sendiri.[53]

Sebagai bantahan orang-orang Kristen yang menganggap kepercayaan ketuhanannya  tidak monoteisme lagi, maka orang Kristen menegaskan bahwa, ketuhanan dalam agama Kristen sebagai ‘Tritunggal’ atau ‘Trinitas’ yang sering dipandang sebagai politeistis, adalah karena kesalahpahaman atau karena ‘ketidaktahuan’. Ke-Tritunggal-an itu dapat dianalogkan dengan manusia, bahwa dalam kemanusiaan yang satu itu ada pikiran dan ruh sekaligus. Sebagai pribadi, pikiran dan ruh itu berada dalam kemanusiaan kita yang satu. Demikian pula, ke-Tritunggal-an itu ibarat api memiliki panas dan terang, di mana wujud api bersama dengan terang dan panasnya adalah satu, sebagaimana halnya matahari beserta panas dan sinarnya adalah satu. Demikian juga Bapa, Putra dan Ruh adalah Allah yang Mahaesa itu sendiri. Bapa, Putra dan Ruh Kudus adalah satu adanya, sebab kita tidak dapat mengatakan Allah tidak memiliki Fikiran (Firman) dan Ruh (Hayat). Allah bersama dengan pikiran-Nya dengan Ruh-Nya adalah satu adanya. Jadi, tidak bisa dipisahkan antara “Bapa” (Wujud), “Putra” (Fikiran, Firman) dan “Ruh Kudus” (Hidup); ke-Tritunggal-an itu sebagai Keberadaan Wujud Ilahi, Fikiran dan HidupNya.[54]

Perbedaan sipat dan dasar monoteistis pada Agama-agama Ibrahim (Yahudi, Nasrani, dan Islam), sekalipun berasal dari sumber dan asal yang sama, tetapi karena memiliki proses perkembangan dan kesejarahan yang berbeda, dimana ‘proses’ itu sangat mempengaruhi dan menentukan pemikiran dan dinamika para penganut ketiga masing-masing agama itu, maka perbedaan di antara ketiganya tidak bisa dihindari. Situasi kultural, politis, dan situasi-situasi lainnya sangat mempengaruhi terhadap perkembangan keagamaan, dimanapun ia berada.

G. Agama Ibrahim : Agama Misi

Yudaisme adalah agama misionaris, bahkan merupakan “agama misionaris terbesar pertama”. Klaim ini didasarkan pada empat hal:

 Pertama, doktrin-doktrin Yahudi mengemukakan suatu tujuan untuk menyelamatkan seluruh dunia.

Kedua, para penulis Yahudi maupun Romawi menguji secara ekstensif, dan biasanya sangat berhasil, penyebaran agama Yahudi, khususnya dalam diaspora Yunani-Romawi.

Ketiga, pertumbuhan rata-rata populasi Yahudi, khususnya  di dalam diaspora, merupakan dukungan kuat terhadap asumsi rata-rata konversi yang tinggi.

Keempat, para penulis Kristen terdahulu biasanya mengemukakan jumlah yang besar pengikut baru Yahudi.[55]

Dalam konteks agama misi atau dakwah ini, Max Muller membagi enam agama besar menjadi “agama misionari/dakwah” dan “non-misionari/bukan dakwah”. Ternyata, agama Yahudi tidak dikelompokkan sebagai agama misionari. Agama-agama yang bukan misionari itu adalah agama Yahudi, Brahman, Zoroaster; sedangkan yang terbilang kepada agama misionari itu adalah agama Buddha, Kristen, dan Islam.[56]

Atas dasar pengertian A. Mukti Ali[57] tentang agama misionari/dakwah adalah “yang penyiaran kebenarannya dan menjadikan orang lain memeluk agama”, maka, pengelompokkan Muller tentang agama Yahudi sebagai agama non-misionari, kemungkinan berdasarkan analisis perkembangan agama Yahudi yang tidak menampakkan usaha-usaha mengajak orang untuk mengikuti keyakinan agamanya, tetapi lebih menampakkan pada sikap-sikap politis untuk mempertahankan dan meluaskan wilayah dan pengaruhnya sebagai negara Israel. Hal ini sejalan dengan pengamatan Roger Garaudy, bahwa yang muncul dan berkembang dari tradisi Yahudi adalah gerakan “Zionisme”nya untuk memperpanjang tradisi kesukuan, dan bukan tradisi kenabian, sebagaimana yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim.[58]

 G. Penutup

Menurut analisis Garaudy, agama Yahudi telah memberikan konstribusi untuk memanusiakan manusia, yakni kesadaran tentang norma mutlak, moral dan akal melalui tiga sumbangan besar :

Pertama, tema Aliansi antara manusia dengan Tuhan; manusia harus siap setiap saat untuk melayani panggilan Tuhan, menyerahkan diri kepada-Nya tanpa syarat, seperti sikap Nabi Ibrahim, dan pengorbanannya; sikap Ibrahim itulah yang menjadikannya “bapak keimanan”.

Kedua; tema Keluaran (Exodus), artinya kekuasaan Tuhan untuk menyelamatkan manusia dari segala penghambaan, sehingga merelatifisir segala kekuasaan, seperti budak-budak yang menolak mengikuti Firaun, raja yang mengangkat dirinya sebagai tuhan.

Ketiga, tema Injil; artinya kumpulan perintah Tuhan kepada manusia untk merealisasikan kerajannya, dengan menghormati hukum, yakni Hukum Aliansi.[59]

Dalam Perjanjian Lama, diidentifikasi bahwa orang-orang Yahudi  sebagai “Orang-orang Pilihan Tuhan”, dan dipandang sebagai corak pertama yang signifikan dari monoteisme, hal itu juga menyatakan maksud Yahweh untuk memperluas kesempatan tersebut kepada dunia, sebagaimana Isa 49:6 menjelaskan hal ini “Aku akan memberitahu sebuah cahaya kepada bangsa-bangsa, bahwa keselamatanku mampu menjangkau penghujung bumi”, dan kemudian dalam Isaiah (66:18-19), Tuhan mengemukakan rencananya untuk “mengumpulkan seluruh bangsa dan seluruh lidah” dan mengirim misi-misi “hingga pantai-pantai yang jauh yang tidak terdengar oleh kebisuanku ataupun terlihat oleh keagunganku; dan mereka akan menyatakan keagunganku di antara bangsa-bangsa”.[60] Dengan begitu, maka lahirlah sejarah manusiawi yang sesungguhnya.

Para penulis Yahudi abad I menyebutkan bahwa terdapat misi-misi terhadap orang-orang non-Yahudi. Karenanya, Josephus mencatat pengaruh yang luas dari Yudaisme terhadap kultur umum diaspora: “Kehebatan manusia itu sendiri memiliki sebuah kecenderungan besar selama kurun waktu yang lama untuk mengikuti kewajiban-kewajiban agama kita, karena tidak ada satu pun negeri orang-orang Yunani, barbarian atau siapa pun juga, dimana kebiasaan kita pada hari ketujuh tidak lagi dapat dijumpai, dan puasa yang kita lakukan serta menyalakan pelita, dan banyak lagi larangan-larangan yang harus kita patuhi untuk tidak memakan makanan tertentu, tidak lagi dipatuhi” (Against Apion 2.40).[61]

Philo (20 S.M-50), seorang teolog Yahudi Alexanderia yang terkenal, menulis secara panjang lebar tentang konversi-konversi dan misi-misi nonYahudi. Dia menyebutkan bahwa kebanyakan dari mereka melakukan konversi dengan cara meninggalkan Mesir sebagai bagian dari Eksodus (On the Life of Moses 1.27.147). Demikian juga para penulis Yunani dan Romawi seringkali menyebut-nyebut keberhasilan upaya-upaya misi Yahudi. Dio Cassius (163-235) menyebutkan bahwa orang-orang Yahudi “mampu menarik pengikut baru dari kalangan warga pribumi (Romawi).[62]

Sebagian besar  sumber-sumber Kristen terdahulu menyebutkan kuatnya upaya-upaya misi Yahudi, mencatat jumlah pengikut baru yang besar dan mereka yang takut pada tuhan menghadiri sinagog-sinagog, dan seringkali menggambarkan orang-orang Yahudi sebagai para pesaing serius terhadap misi-misi Kristen.[63]

Agama-agama misi, bisa jadi atau tidak, memiliki misionaris-misionaris profesional. Yang menjadikan suatu agama sebagai sebuah agama misi adalah karena adanya keterlibatan anggota masyarakat umum dalam menyebarkan agama di kalangan keluarga, teman, tetangga, dan kenalan. Hal ini sebagaimana Max Weber tegaskan bahwa “penyebaran agama Yahudi, sebagaimana halnya dengan apa yang dilakukan oleh kaum Kristen pada masa pos-apostolik, berkembang secara sukarela dan melalui upaya pribadi, tidak melalui otoritas-otoritas pemerintah”. Ia menambahkan tentang keberhasilan penyebaran agama Yahudi dengan mengidentifikasikan kemunculan Yudaisme sebagai sesuatu yang bersipat ganda: “kesucian etis dan kekuatan konsepsi tentang Tuhan”. Yahweh dihadirkan sebagai sebuah kesadaran, bersipat responsif, kebaikan, yang secara moral memiliki kekuasaan dan scope yang tidak terbatas.[64]

Misi yang pertama kali dilakukan oleh orang-orang Kristen terdahulu diikuti oleh sebuah pola yang didefinisikan dengan baik selama beberapa generasi penyebaran agama Yahudi. Berkaitan dengan ini, Paul menyatakan bahwa “mereka yang mengalami konversi tidak bisa menjadi Kristen tanpa menjadi Yahudi lebih dulu.[65]

Paul dan Barnabus, dan juga rasul-rasul lainnya, yang meninggalkan Palestina untuk mencari pengikut-pengikut baru di seluruh penjuru negeri merupakan misionaris-misionaris profesional. Tetapi tidak seperti para pendeta Budhis, tujuan mereka bukanlah untuk merekrut pemeluk agama lain yang taat, akan tetapi untuk memasukkan daftar massa ke dalam sebuah komitmen yang eksklusif dan luas. Selama jangka waktu yang sangat lama, para sejarawan menerima klaim yang menyatakan bahwa konversi Kaisar Constantine (285-337) menjadi sebab kemenangan Kristen. Ia tidak menjadikan agama Kristen sebagai agama resmi Kekaisaran Romawi, tidak pula melarang paganisme.[66]

Misi-misi seringkali memerlukan kaum profesional ketika penyebaran sebuah keyakinan bertentangan dengan batas-batas wilayah sosial. Karena konversi merupakan sebuah jaringan fenomena, keyakinan pun tidak lagi tersebar ketika jaringan-jaringan melemah. Hal ini didasarkan pada :

Pertama, ikatan-ikatan sosial harus dibangun antara kaum misionaris dengan beberapa anggota masyarakat yang dijadikan sebagai sasaran misi, dan upaya-upaya ini harus menghasilkan konversi-konversi.

Kedua, parta pengikut baru ini harus melaksanakan misi terhadap yang lain, menyebarkan agama melalui jaringan-jaringan mereka. Jadi, keberhasilan utama dari sebuah misi sebagian bergantung pada dengan siapa kaum misionaris menjalin ikatan-ikatan sosial-apakah dengan masyarakat umum, sub kelompok atau kasta ataupun sekelompok elit tertentu.[67]

Dua abad lebih Agama Kristen mengalami pertumbuhan melalui jaringan-jaringan sosial, tapi Muhammad (570-632) membangun Islam menjadi sebuah gerakan besar hanya dalam beberapa tahun. Sebagaimana halnya Kristen, dan berbeda halnya dengan Yudaisme, Islam menyingkirkan asal-usul identitas etnisnya, menjadikan agama terbuka bagi semua orang yang menerima ajaran-ajarannya serta menautkan diri pada hukum moralnya.[68]

Islam dan Kristen juga menggunakan taktik-taktik yang hampir sama dalam upaya-upaya mereka untuk menarik pemeluk baru dengan cara memadukan unsur-unsur kepercayaan dan praktik masyarakat setempat. Sebagaimana halnya dengan orang-orang Kristen abad pertengahan yang berusaha menarik para petani pagan dengan cara mengkonsentrasikan kembali tempat-tempat ibadah mereka dan menghormati tahun-tahun lokal serta roh-roh, Islam pun demikian. Sebenarnya, seluruh wilayah Kristen Afrika Utara, dimana awal mula kuil-kuil pagan ter-Kristen-kan, yang dipadukan dengan Islam.[69][]

 

DAFTAR PUSTAKA

Nafis, Muhammad Wahyuni (ed), Rekonstruksi dan Renungan, Religius Islam, Paramadina, Jakarta, 1996.

Eliade,Mircea (ed), Encyclopedia of Religion, vol..10, Mac Millan Publishing Company, New York, 1987.

Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Paramadina, Jakarta, 1996.

Sukardji,dkk., Perbandingan Agama, Azam, Jakarta.

Grose, George B. & B.J.Hubbard (ed), Tiga Agama Satu Tuhan, Terjemahan Santi Indra Astuti, Mizan, Bandung, 1998.

Pabottinggi, Mochtar (Penyunting), Islam, Antara Visi, Tradisi, Dan Hegemoni Bukan Muslim, Yayasan Obor Indoesia, Jakarta, 1986.

Goddard, Hugh, Menepis Standar Ganda, Membangun Saling Pengertian Muslim-Kristen, Terjemahan Ali Noer Zaman, Qalam, Yogyakarta, 2000.

Garaudy, Roger, Mencari Agama Pada Abad XX, terjemahan HM Rasyidi, Bulan Bintang, Jakarta,1986.

Yacobs, Tom, Paulus, Hidup, Karya dan Teologinya, Kanisius, Yogyakarta, 1984.

Panikkar, Raimundo, Dialog Intra Religius, Terjemahan “Kelompok Studi Filsafat Driyarkara”, Kanisius, Yogyakarta, 1994.

Nasr, Sayyed Hossein, Kekasih Allah Muhammad, Kedalaman Spiritual & Arti Batiniah berbagai episode kehidupannya,  terjemahan R Soerjadi, PT Raja Grafindi Persada, 1997.

Abu Zaid, Nasr Hamid, Tekstualitas Alquran, Kritik Terhadap Ulumul Quran, Terjemahan Khoeron Nahdiyin, LKIS, Yogyakarta, 2001.

Siradj, Said Aqiel, “Tauhid (Keesaan Allah) dalam Perspektif Islam dan Kristen Orthodoks Syria”, Makalah yang dipresentasikan dalam Forum Dialog Teologis III yang diselenggarakan atas kerjasama Yayasan Wakaf PARAMADINA dengan Studia Syriaca Orthodoxia di “Candi Prambanan Room” Hortel Sahid Jaya, Jakarta 22 Oktober, 1998.

Schuon, Frithjof, Islam & Filsafat Perenial, Terjemahan Rahmani Astuti, Mizan, Bandung, 1993.

[1]Lihat, Nurcholish Madjid, Al-Quds (Yerusalem): Tanah Kelahiran Para Nabi, dalam Muhammad Wahyuni Nafis (ed), Rekonstruksi dan Renungan, Religius Islam, Paramadina, Jakarta, 1996, hal. 240.

[2]Mircea Eliade, (ed), Encyclopedia of Religion, vol.10, Mac Millan Publishing Company, New York, 1987, hal.13.

[3]Nurcholish Madjid dalam, M.Wahyuni Nafis (ed),  Op.Cit, hal. 241.

[4]Lihat, M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Paramadina, Jakarta, 1996, hal. 85.

[5]Untuk pengertian ini, lihat, Sukardji,dkk., Perbandingan Agama, Azam, Jakarta, tt, hal. 63.

[6]Nurcholish Madji dalam M. Wahyuni Nafis (ed), Op.Cit, hal. 245.

[7]Ibid, hal. 246.

[8]Nurcholish Madjid dalam pengantar, Dialog Di Antara Ahli Kitab, George B.Grose & B.J.Hubbard (ed), Tiga Agama Satu Tuhan, terjemahan Santi Indra Astuti, Mizan, Bandung, 1998,  hal.xvi.

[9] Schuon, Perenial…, Op.Cit,  hal. 76.

[10]Fazlur Rahman, Sikap Islam Terhadap Yudaisme; tulisan yang terdapat dalam Mochtar Pabottinggi (Penyunting), Islam, Antara Visi, Tradisi, dan Hegemoni Bukan Muslim, Yayasan Obor Indoesia, Jakarta, 1986, hal. 173.

[11] Ibid, hal.174.

[12]Dikutip oleh Fredrich Heiler, dalam Ahmad Norma Permata (ed), Op.Cit, hal. 225.

[13]Midrash merupakan kumpulan interpretasi untuk khutbah dan aneka tambahan penjelasan materi Alkitab Ibrani oleh para rabi pada masa Talmud (abad pertama SM sampai abad ketujuh M); lihat Grose & Hubbard,  Op.Cit, hal. Ivi

[14] Ibid, hal. 2.

[15]Ibid, (ed), hal. 3.

[16]Ibid, hal. 15.

[17]Alkitab Ibrani merupakan kumpulan kitab-kitab yang menjadi kitab Suci Yahudi dan identik dengan bagian Perjanjian Lama bagi orang  Kristen. Kumpulan kitab ini terbagi kedalam tiga kategori utama: kitab-kitab Taurat, Nabi-nabi, dan tulisan-tulisan.

[18]Grose & Hubbard (ed), Op.Cit,  hal. 17.

[19]Ibid, hal. 19.

[20]Ibid.

[21]Nurcholish Madjid, dalam Muhammad Wahyuni Nafis (ed),  Op.Cit, hal.247.

[22]Schuon, Perenial…, Op.Cit,  hal. 68.

[23]Grose & Hubbard (ed), Op.Cit, hal. 20.

[24]Ibid, hal. 16.

[25]Ibid, hal. 18.

[26]Ibid, hal. 19.

[27]Hugh Goddard, Menepis Standar Ganda, Membangun Saling Pengertian Muslim-Kristen, Terjemahan Ali Noer Zaman, Qalam, Yogyakarta, 2000, hal. 23 dan 25.

[28] Ibid, hal. 26.

[29] Ibid, hal. 31.

[30]Roger Garaudy, Mencari Agama Pada Abad XX, terjemahan HM Rasyidi, Bulan Bintang, Jakarta1986, hal. 224.

[31]Lihat, Tom Yacobs, Paulus, Hidup, Karya dan Teologinya, Kanisius, Yogyakarta, 1984 (cet.kedua), hal. 52.

[32]Ibid, hal. 50.

[33]Ibid, hal. 53.

[34]Goddard, Op.Cit, hal. 32.

[35]Schuon, Perenial…, Op.Cit, hal. 49.

[36]Tom Yacobs, Op.Cit, hal. 132.

[37]Ibid, hal. 120 dan 121.

[38]Schuon, Perenial….,Op.Cit, hal. 69.

[39]Raimundo Panikkar, Dialog Intra Religius, Terjemahan Kelompok Studi Filsafat Driyarkara, Kanisius, Yogyakarta, 1994, hal. 76.

[40]Sayyed Hossein Nasr, Kekasih Allah Muhammad, Kedalaman Spiritual & Arti Batiniah Berbagai Episode Kehidupannya,  terjemahan R Soerjadi, PT Raja Grafindi Persada, 1997, hal.1.

[41]Grose & Hubbard, Op.Cit, hal.45.

[42]Ibid, hal. 47.

[43]Sayyed Hossein Nasr, Kekasih…, Op.Cit, hal. 2.

[44]Ibid, hal. 3.

[45]Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Alquran, Kritik Terhadap Ulumul Quran, Terjemahan Khoeron Nahdiyin, LKIS, Yogyakarta, 2001, hal.77.

[46]Goddard, Op.Cit, hal. 35.

[47]Lihat, Rodney Stark, One True God, Risiko Sejarah Bertuhan Satu, terjemahan M.Sadat Ismail, Qalam, Yogyakarta, 2003, hal. 33.

[48]Ibid, hal. 33-34.

[49]Said Aqiel Siradj, Tauhid (Keesaan Allah) dalam Perspektif Islam dan Kristen Orthodoks Syria, Makalah yang dipresentasikan dalam Forum Dialog Teologis III yang diselenggarakan atas kerjasama Yayasan Wakaf PARAMADINA dengan Studia Syriaca Orthodoxia di “Candi Prambanan Room” Hortel Sahid Jaya, Jakarta 22 Oktober 1998.

[50]Goddard, Op.Cit, hal. 33.

[51]Lihat, Frithjof Schuon, Islam & Filsafat Perenial, Terjemahan Rahmani Astuti, Mizan, Bandung, 1993, hal. 15.

[52]Ibid, hal. 15.

[53]Goddard, Op.Cit, hal. 68.

[54]Albaba Almuadzim Shenuda III, dalam tulisannya berjudul : Menjelaskan Tiga Sipat Hakikat dalam Keesaan Allah, terjemahan Efraim Bar yang disampaikan di Katedral “al-Qadis Marqus”, tahun 1990.

[55]Rodney Stark, Op.Cit, hal. 75.

[56]Dikutip oleh A. Mukti Ali dalam Burhanuddin Daya & H.L. Beck, (red), Op.Cit, hal.213.

[57]Ibid.

[58]Lihat Garaudy, Op.Cit, hal. 199.

[59]Ibid, hal. 192.

[60]Rodney Stark,  Op.Cit, hal. 76.

[61]Ibid, hal. 78.

[62]Ibid, hal. 79 dan 80.

[63]Ibid, hal. 82.

[64]Ibid, hal. 86.

[65]Ibid, hal. 87.

[66]Ibid, hal. 89 dan 91.

[67]Ibid, hal.99.

[68]Ibid, hal. 117.

[69]Ibid, hal.123.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter