AFTA 2015, Siapkah SDM Indonesia?

Berdasarkan kesepakatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN terakhir di Phnom Penh, pada bulan Desember 2015, Asean Free Trade Area (AFTA) akan mulai diberlakukan. Hanya akan ada satu pasar dan basis produksi dengan lima elemen utama yaitu aliran bebas barang, bebas jasa, bebas investasi, aliran modal dan aliran bebas tenaga kerja terampil.

AFTA adalah peluang dan kesempatan bagi pengembangan ekonomi Indonesia. Namun tentu saja, dibutuhkan kemampuan yang setara dengan negara Asean lainnya, khususnya di bidang sumber daya manusia. Kenapa? Karena sumber daya manusia Indonesia lah, yang akan berjibaku langsung dengan kompetisi ekonomi regional tersebut.
 
Posisi Indonesia
Philip Kotler, Jatusripitak dan Maesincee dalam bukunya The Marketing of Nations; A Strategic Approach to Building National Wealth (1997) menyatakan, agar sebuah bangsa dapat berkembang maju di era globalisasi, diperlukan pembangunan infrastruktur fisik, infrastruktur teknologi, infrastruktur dan kekuatan human capital serta dukungan infrastruktur untuk usaha kecil.

Bagaimana dengan Indonesia saat ini? Harus diakui, kita masih memiliki sejumlah Pekerjaan Rumah (PR) untuk dituntaskan terkait keempat hal tersebut. Infrastruktur fisik seperti jalan tol baru memiliki 28 ruas, dengan panjang total  778 KM dan jalan raya baru memiliki 350 ribu KM. Sementara  transportasi laut dan udara masih kurang memadai. Khusus untuk transportasi laut, biaya angkutan laut sesungguhnya hanya sepersepuluhnya jika dibandingkan dengan transportasi darat.

Besarnya beban biaya logistik dan rumitnya birokrasi dianggap sebagai persoalan yang memberatkan investor. Tahun 2012, Asia Business Outlook the Economist Corporate Network mengatakan bahwa Indonesia masih kurang luwes terhadap para investor. Besarnya beban biaya logistik dan pelayanan birokrasi menjadi penyebab utamanya. Sebagai gambaran, pengiriman barang melalui laut ke Hamburg, Jerman, lebih murah jika dibandingkan ke Banjarmasin. Waktu proses ekspor di Indonesia rata-rata 17 hari, sementara rata-rata Asean 14 hari. Demikian halnya dengan perkara birokrasi, masih panjangnya proses perijinan, berbagai aturan di daerah yang kerap membingungkan dan bertentangan dengan aturan di pusat, membuat daftar panjang kendala investasi masih menghantui.

Peringkat Indonesia pada Global Competitiveness Report 2011-2012 masih berada di bawah negara-negara ekonomi utama di ASEAN seperti Thailand, Malaysia dan Singapura. Indonesia di peringkat  ke 44, bandingkan dengan Thailand yang ada diperingkat 38, Malaysia 26 dan Singapura ke 3.
          
Kekuatan SDM Indonesia
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tentang indikator pendidikan menyebutkan, tahun 2011 Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi tahun 2011 mencapai 17,28 persen. Ini artinya, hanya 17,28 persen dari proporsi anak sekolah dalam kelompok usia Perguruan Tinggi yang mendapatkan Pendidikan Tinggi.

Tentu saja angka tersebut masih mengkhawatirkan. Bagaimanapun, kompetisi tinggi membutuhkan kapasitas pendidikan tinggi. Dengan tingkat partisipasi 17,28 persen, artinya masih banyak anak Indonesia yang belum dapat mengikuti pendidikan tinggi. Dalam konteks kemampuan kompetisi global, akan sangat diragukan kapasitas untuk berkompetisi dengan tenaga kerja asing, khususnya dalam memperebutkan pasar di dalam negeri dan Asean. Dikhawatirkan, jangankan di pasar Asean, di dalam negeri sendiri, tenaga kerja Indonesia akan kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. Indonesia meluluskan 800 ribu sarjana setiap tahun. Saat ini hanya 1 dari 4 anak Indonesia yang berkesempatan masuk ke Perguruan Tinggi.

Artinya, peluang masuk ke Perguruan Tinggi di Indonesia masih rendah, belum lagi kualitas kelembagaan Perguruan Tinggi itu sendiri, kualitas lulusannya, kualitas risetnya, dan kesiapan dari sisi profesionalisme kerja. Kurikulum perguruan tinggi, termasuk di dalamnya akademi, sepertinya belum mempersiapkan para mahasiswanya untuk mampu bersaing di pasar global, khususnya Asean. Tentu saja, hal ini sangat memprihatinkan. Terlebih, input dari SLTA-nya juga banyak yang kurang berkualitas.

Belum lagi, Human Development Index 2011 yang dikeluarkan UNDP menyebutkan, Indonesia berada di urutan ke 124 dari 187 negara yang dinilai. Ini sungguh ironis dan menyedihkan. Karena Indonesia setingkat dengan negara Honduras, Kiribati dan Afrika Selatan.

Profil manusia Indonesia yang cukup mengkhawatirkan karena akan dihadapkan pada persaingan ketat. Selain sekolah formal dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, bagaimana dengan kualitas lembaga kursus dan balai latihan kerja? Karena lembaga pendidikan informal dan nonformal itu sangat penting untuk menyiapkan sumber daya manusia Indonesia.

Lalu bagaimana pula dengan budayanya, sikap mental, entrepreneurship dan kesanggupan untuk bersaing, tentu saja hal ini terkait soft skill. Masih ada cukup banyak daftar panjang untuk menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas. Namun, yang menyedihkannya adalah belum adanya kebijakan yang terintegrasi dari hulu ke hilir penyiapan sumber daya manusia Indonesia.  
 
Membangun SDM Yang Berkualitas
Rangkaian penyiapan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas harus terintegrasi, estafetanya harus tegas, dan kualitasnya harus terus meningkat mulai dari hulu hingga hilir. Sehingga yang akan lahir adalah manusia-manusia terbaik dari sisi moral, intelektual dan keterampilannya. Untuk itu semua, dibutuhkan sekolah dengan fasilitas dan kualitas terbaik, guru yang hebat dan kurikulum yang membumi.

Bangsa yang sumberdaya manusianya berkualitas, menurut Soedijarto (2008), di bidang ekonominya memiliki kemampuan untuk mengolah dan mengelola sumber daya alam, mengembangkan teknologi, menghasilkan komoditas yang bermutu dan dapat bersaing di pasar dunia, mampu mengelola modal dan mengelola perdagangan yang dapat bertahan dan maju secara berkesinambungan.

Di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa yang sumber daya manusianya berkualitas memiliki infrastruktur teknologi unggul, sehingga mereka dapat terus bertahan, bersaing dan maju. Tentu saja, untuk mencapai itu semua bukan proses pendek, melainkan suatu perjalanan panjang dari program pembangunan yang holistik dan berkelanjutan.

Pembangunan SDM yang berkualitas harus dipersiapkan sedini mungkin. Dari lingkungan keluarga, sekolah dasar, sekolah lanjutan hingga perguruan tinggi, sebagai kesinambungan proses pendidikan yang tak terputus. Pada keluarga lah, orang tua memiliki peran penting untuk membentuk karakter generasi muda yang bermoral dan kreatif.  Di tingkat sekolah dasar hingga tingkat atas, anak harus didorong untuk tumbuh sebagai pribadi yang bermoral, kreatif dan berkembang sesuai potensi terbaiknya.

UNESCO mencanangkan empat pilar pendidikan yang mesti dikembangkan lembaga pendidikan, yakni learning to know (belajar mengetahui), learning to do (belajar melakukan sesuatu) dalam hal ini kita dituntut untuk terampil dalam melakukan sesuatu, learning to be (belajar menjadi dirinya sendiri) dan learning to live together (belajar menjalani kehidupan bersama).

Konsep “learning to know”, misalnya, pendidikan diarahkan untuk merangsang pengetahuan dan kreativitas siswa dalam mengembangkan wawasan, pengetahuan, ataupun ilmu tertentu. Sementara itu, “learning to do” dijalankan sekolah untuk memfasilitasi siswa mengaktualisasikan keterampilan, minat dan bakatnya. Pada tahap “learning to be” siswa mestinya difasilitasi dengan cara memberikan wadah mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal.

Sedangkan pada tahap “learning to live together”, siswa ditempa agar dapat menjalin relasi harmonis dengan sesama siswa. Kemampuan berhubungan dengan baik tersebut dapat membekali siswa agar ke depan mereka dapat bekerja bersama-sama dalam sebuah tim.
Pendidikan yang baik akan melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya manusia yang berkualitas akan menjadi pribadi yang profesional untuk memberikan jasa untuk semua kebutuhan manusia Indonesia dan dunia. Sumber daya manusia yang berkualitas akan selalu memberikan nilai manfaat bagi seluruh umat manusia. 

Perkara kesiapan menghadapi AFTA 2015,  tidak ada jawaban yang tepat dan tidak perlu saling mencari kesalahan tentunya. Kejujuran pada diri sendiri, evaluasi menyeluruh  terkait dengan posisi objektif saat ini dan apa yang akan dilakukan di sisa waktu yang masih ada, akan menjadi energi akselerasi yang meminimalkan ketertinggalan. Menjadi penonton di pinggiran atau menjadi pelaku utama, waktu lah yang akan mencatatkan.[]
 
Iu, Rusliana, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung

Sumber,  koran Indonesia Finance Today Jakarta (www.indonesiafinancetoday.com), Selasa 30 April 2013

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *