49 % Penduduk tidak Mendapatkan Hak Identitas

[www.uinsgd.ac.id] Menurut sensus tahun 2012 penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan tidak memperoleh hak identitas hukumnya. Jumlah tersebut mencapai 49 % atau sekitar 40 jutaan penduduk. Padahal hak pengakuan identitas secara hukum sama porsinya dengan hak dasar yang lain.

Wahyu Widiana, mantan Kepala Bagian Badiklat Mahkamah Agung menyampaikan hal tersebut kepada ratusan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) di Aula FSH pada Rabu (04/09/2013).

Wahyu Widiana menyampaikan Kuliah umum “Peran Mahasiswa dalam Program Bantuan Hukum” sebagai perwakilan dari Australian Indonesian Partnership for Justice (AIPJ) sebagai senior advisor yang bekerja sama dengan Fakultas Syariah dan Hukum untuk memberikan pencerahan dan meruncingkan gagasan dalam bidang bantuan hukum.

Menurut Wahyu, kegiatan seperti ini sangat diapresiasi oleh Mahkamah Agung apalagi berkaitan dengan bantuan hokum atau pojok hukum.”Saya sangat menginginkan kegiatan-kegiatan dan kerja sama positif. Saya sudah mulai kerjasama atas nama AIPJ salah satunya dengan UIN Bandung,”ujarnya.

Melalui AIPJ, Australia banyak menyelenggarakan program bantuan hukum dengan memberikan bantuan-bantuan hukum melalui lembaga bantuan hukum, universitas, atau melalui pengadilan itu sendiri.

“Kerjsamanya tidak hanya sebatas ini. Tapi bisa mendorong mahasiswa agar bisa memberi layanan hukum terhadap masyarakat.AIPJ menjalankan hak bagi orang miskin dan perempuan. Pendekatan yang dilakukan dengan kerjasama kemitraan misalnya pembuatan akta nikah, akta cerai, informasi hukum. Program lain kami mendorong agar semua orang mendapatkan identitas hukum karena itu menjadi hak dasar yang sama dengan hak dasar lainnya,”jelasnya.

Menurut lelaki kelahiran Tasikmalaya tersebut, seseorang yang tidak memiliki akta kelahiran akan sulit mendapatkan hak lainnya seperti sekolah. Ini menjadi alasan bagi AIPJ untuk membangun kemitraan di bidang bantuan khususnya berkaitan dengan family law bagi orang miskin yang sulit mendapatkannya karena biayanya mahal. Menurutnya jika pun sekarang akta kelahiran digratiskan, namun biaya operasional pengurusannya cukup mahal.

“Sensus 2012 menunjukan bahwa penduduk miskin Indonesia mencapai 12 % dan sebesar 49  persennya tidak memiliki akta kelahiran akibatnya mereka sulit mengakses hak lain seperti sekolah, kerja, dan lainnya. Jika dijumlahkan penduduk yang tidak memiliki akta kelahiran tersebut mencapai 40 jutaan,”paparnya.

Dari masalah tersebut, peran mahasiswa dibutuhkan untuk memberikan pencerahan hukum kepada masyarakat. Agar masyarakat mendapatkan hak-haknya. Menurutnya, mahasiswa juga harus berperan dalam mengontrol pengadilan.

Relevansi antara mahasiswa hukum dengan perannya memberikan pencerahan dan bantuan hukum, bagi mantan kepada bagian Badiklat Mahkamah Agung ini adalah sebagai asisten lawyer dengan memberikan layanan dan pendampingan.

“Peran mahasiswa sebagai lawyer asisten harus terampil dalam memberikan layanan dan pendapingan. Mahasiswa juga harus mengikuti perkembangan hukum melalui diskusi-diskusi serta advokasi langsung kepada masyarakat,”ujarnya.

Pada akhir orasinya, ia menyampaikan bahwa di Barat antara hukum keluarga dengan hukum Negara posisinya sama oleh karena itu di Perguruan Tinggi seperti Monas University terdapat program studi hukum keluarga. Hal ini sangat masuk akal karena kebanyakan kasus hukum lebih banyak berkaitan dengan hukum keluarga. Ia mencontohkan di LBH UI, kebanyak kasus sebanyak 60% adalah kasus hukum keluarga.

Agar mahasiswa terampil ia menyarankan agar lembaga dapat memberikan mata kuliah keterampilan kepada mahasiswa serta mahasiswa harus mengambil mata kuliah professional practice atau yang berbobot mata diklat.***[Dudi]

 

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *