Syari’at itu adalah aturan, tatacara, prosedur. Intinya adalah hakikat yaitu tujuan, inti, esensi, substansi. Kalau beragama hanya syari’at, hidup ini capek dan repot. Yang namanya aturan atau tatacara pasti banyak, tidak satu. Karena banyak cara, orang banyak yang menggunakan cara dan aturan yang berbeda.
Disinilah, orang beragama beda pendapat, ribut, konflik dan bertengkar, ingin menggunakan dan mempertahankan caranya masing-masing. Repotnya, masing-masing merasa caranyalah yang paling benar. Karenanya, kalau mau merasakan manisnya agama, jangan hanya tatacara, perkuatlah dengan hakikat. Tujuan dan hakikat beragama, ibadah dan bertuhan itu apa? Jangan terlalu memusingkan cara. Cara itu bisa 1001 macam.
Anda mau ke Jakarta atau kota lain. Bila kesadaran Anda di wilayah hakikat, Anda hanya berfikir tujuan, gimana yang penting bisa sampai, terserah caranya. Anda gak mau pusing dengan cara. Bila Anda di syariat, Anda akan lebih banyak direpotkan memikirkan alat dan tatacara, inti tujuan kadang-kadang terlupakan.
Anda akan repot memikirkan naik apa (motor, mobil pribadi, rental, numpang ke teman, naik bis, kereta api atau pesawat), gimana caranya, beli tiket dimana (pesen telpon, online atau datang langsung), datangnya kemana, bayar berapa, berhenti dimana saja, disana naik apa lagi, terus kemana dan sebagainya. Belum pakaian, sebaiknya pakai baju apa (kaos, kemeja, batik, jas atau jaket kulit dll). Nanti disana makan apa dan dimana, mandi dimana dst. Tujuan belum tercapai, pikiran sudah ribet banyak membayangkan yang tidak perlu. Dipusingkan oleh proses dan tatacara.
Beragama teknis adalah beragama tatacara, beragama esensi adalah hakikat. Pakailah tatacara tapi jangan sampai menguras pikiran dan energi disitu, karena yang penting itu tujuan. Wallahu a’lam. [Moeflich Hasbullah]