Kebanyakan orang mungkin pernah tahu atau setidaknya mendengar kata sumur. Jika kita rajin memerhatikannya dengan saksama, akan ditemukan fenomena menarik yang membalikkan logika materialistis. Logika materialistis menyatakan bahwa sesuatu yang dibagikan atau diambil jumlahnya, akan berkurang dan menyusut. Namun, fenomena sumur berbicara lain. Sumur semakin sering diambil airnya, semakin bertambah dan bersih airnya.

Air sumur pada umumnya mengandung lumut yang terkadang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Baru diketahui setelah menempel di dinding-dinding bak mandi. Lumut ini akan terangkat dari sumur berbarengan dengan ditimba airnya. Semakin banyak air ditimba, akan semakin banyak pula lumut yang terangkat dari sumur. Akibatnya, mata air-mata air yang berada di dalamnya terbebas dari sumbatan endapan lumut.

Selain itu, lubangnya semakin membesar dan bertambah karena terstimulan oleh banyaknya air yang diambil. Oleh karena itu, menjadi sangat logis jika sebuah sumur yang airnya banyak diambil, akan semakin banyak jumlahnya dan jernih warnanya ketika tiba musim kemarau.

Sebaliknya, jika sebuah sumur jarang, bahkan tidak pernah diambil airnya, lumut yang berada di dalamnya akan mengendap. Bila endapan tersebut dibiarkan dalam jangka waktu yang lama, ia akan menutupi lubang air yang berada di sumur tersebut.

Alih-alih mata airnya bertambah, yang ada saja menjadi tertutup oleh lumut. Oleh karena itu, jika tiba musim kemarau, sumur yang jarang diambil airnya akan kering kerontang dan jika ingin berair lagi, harus dikuras terlebih dahulu.

Fenomena sumur di atas sejalan dengan prinsip berbagi dalan ajaran Islam. Menurut Islam, harta seseorang tidak akan berkurang karena disedekahkan. Malah, secara kualitas, akan semakin bertambah. Ada tiga istilah pokok dalam Alquran yang merujuk pada berbagi, yakni infak, zakat, dan sedekah. Infak berasal dari kata nafaqa yang berarti keluar. Berinfak berarti mengeluarkan sesuatu (harta), baik pada jalan kebaikan (QS Ali Imran [5]: 134) maupun jalan keburukan (QS al-Anfal: 36).

Infak pada jalan kebaikan terbagi ke dalam dua bagian, yakni zakat dan sedekah. Zakat secara bahasa berarti bersih dan tumbuh. Ketika seseorang berzakat, pada hakikatnya ia sedang membersikan hartanya dari hak orang lain. Terkadang, hak orang lain pada harta seperti lumut, yaitu sangat halus dan keberadaannya jarang disadari sehingga orang tidak berzakat salah satunya karena merasa hartanya sudah halal atau bersih.

Padahal, pada harta halal itu tetap saja masih ada kotoran berupa hak orang lain. Oleh karena itu, mengeluarkan zakat secara berkala menjadi sangat penting supaya harta menjadi bersih dan menumbuhkan kebaikan sebagaimana firman Allah SWT, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu, kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan, Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS at-Taubah: 103).

Sedangkan, sedekah berasal dari kata shidq yang berarti jujur dan benar. Ketika seseorang bersedekah, pada hakikatnya, ia sedang membuktikan kebenaran imannya. Sedekah juga seakar dengan kata shadieq yang berarti kawan atau teman. Jadi, bersedekah berarti setiap pemberian yang menghasilkan kedekatan jiwa dan raga antara pemberi dan yang diberi. Oleh karena itu, sedekah tidak hanya berbentuk harta, tetapi juga dapat melalui kebaikan lainnya, seperti tersenyum dan menyingkirkan duri dari jalanan.

Dalam sebuah hadis dijelaskan, “Tidak akan berkurang harta yang disedekahkan, kecuali bertambah, bertambah, bertambah ….” ( HR at-Tirmidzi). Wallahu a’lam bi shawwab.

Karman, dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN SGD Bandung.

Sumber, Hikmah Republika 21 Maret 2019

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *