“Kenapa kau kirim banjir yang menghanyutkan banyak orang papa tanpa mengirimkan bahtera Nuh?” seseorang berdoa sambil memendam kemarahan kepada Tuhan.
Aku bertanya pada maulana ihwal doa itu. Maulana menjawab, “Bahtera itu sudah dikirimkan melalui Nabi Nuh, kita tinggal menggunakannya. Kisah Nuh mengajarkan bahwa banjir adalah hukum alam yang pasti akan datang ketika nafsu lebih utama daripada ketaatan kepada hukum Allah.
Allah bilang jangan rusak bumi, tapi demi memperindah mesjid semua lantainya ditempel keramik dari penghancuran gunung, pintunya diperindah dari jati yang semakin langka.
Nabi bilang bersih itu bukti iman, tapi kau bilang bersih itu sebagian dari iman; sebagiannya lagi apa? Lalu kau biarkan wc di mesjidmu pesing dan penuh sampah.
Semua itu menunjukkan ketidakpedulian pada bahtera Nuh!”
“Tapi, kasihan juga melihat anak-anak yang masih kecil dan orang-orang tua yang harus mengalami seluruh penderitaan ini,” sanggahku.
“Sejak kapan, kearifanmu melebihi ketentuan Allah,” ujar Maulana ketus. ” Lagipula di mata Allah tak ada yang papa atau berdaya. Yang ada adalah yang sadar dan tidak sadar. Semua bencana ini bagi yang sadar akan menariknya untuk semakin meyakini hukum Allah, sementara bagi yang tak sadar semuanya ini akan membuatnya membenci Allah. Tak ada bedanya antara yang papa dan tidak papa. Semua ini jalan Allah untuk menarik mereka.
Kita yang sangat bebal ini tidak pernah memahami maksud bacaan dalam al-Quran, Allah bisa saja membiarkannya. Tapi Allah sayang pada kita, maka dibuatlah bencana yang meruntuhkan semua kesombongan teknologi, asumsi-asumsi ilmiah, atau janji-janji kampanye. Semuanya ini adalah al-Quran yang nyata, agar dialami setelah kita semua malas membaca al-Quran bacaan.”
“Maaf maulana,” saya menyela lagi, “tidakkah pernyataan tadi terkesan menyalahkan orang yang terkena bencana, seperti menimpakan tangga pada orang yang sudah jatuh?”
“Bukankah lebih bagus begitu?” jawab Maulana, “Orang yang sudah jatuh ditimpa tangga mendapat kesempatan untuk bangun dan segera mendapatkan alat untuk naik lagi.
Sudahlah, lebih baik mulailah untuk beristighfar 1000 X sehari”
Saya menuruti perintah itu dan mengeluarkan biji-biji tasbih. Maulana merebut untaian tasbih itu, “Istighfar itu menyadari kesalahan, lalu memperbaikinya, dan memohon perlindungan Allah agar perbaikan yang dilakukan itu dapat bermanfaat. Istighfarmu saat ini adalah bersihkan sampah…”
“…1000 kali sehari?” tanyaku dalam hati [Bambang Qomaruzzaman]