UINSGD.AC.ID (Jakarta) — Mereka yang mendatangi TPS untuk mencoblos di hari pemilihan akan diminta oleh petugas KPPS mencelupkan jarinya di bak tinta pemilu yang disediakan. Tinta itu membekas sekian hari dan tidak hilang setelah dicuci. Lalu apakah shalat yang dilakukan dengan tinta pemilu di jari sekian hari itu tetap sah?
Dilansir dari hasil bahtsul masail NU Online, terutama untuk penanya yang budiman, Abdul Qadir dari Jakarta Pusat. Semoga dirahmati Allah SWT. Pertama yang harus dipahami adalah bahwa kesucian di pakaian, badan, dan di tempat shalat merupakan syarat sah shalat atau ibadah lain yang mengharuskan kesucian seperti thawaf sehingga benda najis yang menempel pada ketiganya harus disucikan.
Sebelum sampai pada pertanyaan apakah sah shalat yang dilakukan dengan sisa warna tinta pemilu di jari, pertama yang harus dijawab adalah terkait kesucian tinta pemilu. Apakah tinta pemilu mengandung najis? Hal ini memerlukan kajian laboratorium lebih lanjut.
Jika uji laboratorium menyatakan bahwa tinta pemilu mengandung najis, maka kita diharuskan untuk menyucikannya semampu kita dengan menggunakan sabun, batu, atau zat pembersih lainnya. Jika warna tinta pemilu itu masih membekas di jari kita setelah dicuci, maka status jari kita yang terkena tinta pemilu adalah suci.
قوله (إن بقيت في الثوب أو بدن) أو نحوه (من بعد غسل له فاحكم بطهارته) للمشقة والحت والقرص سنة وقيل شرط فإن توقفت إزالته على أشنان ونحوه وجب كما جزم به القاضي والمتولي ونقله عنه النووي في المجموع وجزم به في تحقيقه وصححه في تنقيحه
Artinya, “(Jika najis itu tersisa di pakaian, badan,) atau sejenisnya, (setelah dibasuh, maka hukumilah kesuciannya) karena sulit. Sedangkan tindakan menggosok dan mengorek bersifat sunah belaka, tetapi ada yang mengatakan bahwa keduanya syarat. Jika penghilangan najis bergantung pada potas [kalium karbonat atau garam abu] dan sejenisnya [seperti sabun, bensin, atau cairan tajam yang lain], maka wajib sebagaimana diyakini oleh Al-Qadhi dan Al-Mutawalli, serta dikutip oleh An-Nawawi dalam Al-Majemuk dan diyakininya di Tahqiq dan disahihkan olehnya di Tanqih,” (Lihat Syekh Syihabuddin Ar-Ramli, Fathul Jawad bi Syarhi Manzhumati Ibnil Imad, [Singapura-Jeddah-Indonesia, Al-Haramain: tanpa catatan tahun], halaman 64-65).
Sisa warna najis yang tersisa di pakaian atau di badan kita setelah diusahakan pembersihannya tidak menjadi masalah. Sisa najis berupa warna yang idealnya harus dibersihkan secara tuntas dimaafkan karena sulit menghilangkannya sekaligus atau uzur.
Kasus ini serupa dengan masalah sisa noda darah haid yang membekas di pakaian sebagaimana diulas Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki dalam Kitab Ibanatul Ahkam, Syarah Bulughul Maram. Keduanya mengatakan bahwa sisa noda darah haid pada pakaian yang telah dicuci ditoleransi secara syariat.
يعفى عما بقي من أثر اللون بعد الاجتهاد في الغسل بدليل (ولا يضرك أثره) الآتي في الحديث الذي بعده
Artinya, “Bekas warna (najis) yang tersisa pada pakaian dimaafkan setelah pakaian dicuci secara serius dengan dalil hadits selanjutnya yang berbunyi, ‘Bekasnya tidak masalah bagimu,’” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz I, halaman 54).
Ulama Mazhab Syafi’i memberikan catatan kriteria “sulit” dalam konteks penyucian najis dengan praktik pengorekan benda tersebut sebanyak tiga kali disertai dengan penyucian pendahuluan dengan alat pembersih semacam sabun atau pembersih lainnya.
Artinya, penyucian benda yang tercemar najis sebanyak tiga kali dengan tetap menyisakan warna najis merupakan sebuah ikhtiar yang memadai. Kalau pun setelah ikhtiar, warna najis masih tersisa, maka itu tidak masalah.
ضابط العسر قرصه ثلاث مرات مع الاستعانة المتقدمة فلو صبغ شيء بصبغ متنجس ثم غسل المصبوغ حتى صفت الغسالة ولم يبق إلا مجرد اللون حكم بطهارته
Artinya, “Kriteria sulit itu adalah tindakan mengorek sesuatu sebanyak tiga kali disertai dengan bantuan pendahuluan [seperti sabun atau pembersih lainnya]. Bila suatu benda dicelup dengan pewarna yang mengandung najis, lalu benda yang dicelup dengan pewarna tersebut dicuci hingga bersih basuhannya dan yang tersisa hanya warnanya, maka benda itu dihukumi suci,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Nihayatuz Zein, [Bandung, Al-Maarif: tanpa catatan tahun], halaman 46).
Semua ketentuan ini dapat dilakukan bila tinta pemilu terbukti mengandung unsur najis. Tetapi bila uji laboratorium menyimpulkan bahwa tinta pemilu tidak mengandung najis, maka tentu saja tinta pemilu yang tersisa warnanya di jari tangan tidak mengharuskan kita untuk menyucikannya dengan ikhtiar-ikhitar sebagaimana di atas.
Bila uji laboratorium menyatakan bahwa tinta pemilu tidak mengandung najis, kita dapat langsung shalat yang cukup diawali dengan berwudhu seperti biasa.
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca. (Alhafiz Kurniawan)