Bagaimana Agama Mengkonstruksi Seksualitas Perempuan?

Dalam tadarus litapdimas kali ini, saya akan berbagi hasil penelitian saya tentang bagaimana Islam mempengaruhi wacana seksualitas di Indonesia. Secara spesifik penelitian ini berusaha mengungkap bagaimana teks-teks ajaran Islam mempengaruhi persepsi dan perilaku perempuan Muslim yang sudah menikah dalam relasi seksual mereka bersama suami.

Jika dalam beberapa penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan seksualitas di Indonesia menyatakan bahwa yang dapat mempengaruhi konstruksi seksual perempuan adalah ideologi gender yang dikenalkan oleh negara dan budaya, maka penelitian saya menyatakan bahwa agama juga berperan dalam memberikan pengaruh bagi konstruksi seksualitas perempuan di Indonesia.

Bersamaan dengan dengan adanya perintah melaksanakan ibadah puasa, Alquran juga menjelaskan aturan tentang relasi seksual dalam surah al-Baqarah ayat 187, “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka”. Ayat ini menggambarkan bahwa relasi seksual antara suami dan istri diumpamakan seperti ‘pakaian’: saling menutupi, saling melindungi dan saling melengkapi. Ada pesan mutualitas (kesalingan) dari ayat tersebut.

Namun demikian, realitas menunjukan fakta yang berbeda. Melalui wawancara mendalam dan pendekatan etnografi feminis bersama para perempuan Muslim yang sudah menikah sebanyak 42 orang, penelitian saya menunjukkan bahwa beberapa suami tidak menunjukkan relasi seksual atas dasar mutualitas tersebut.

Beberapa suami banyak yang tidak memperhatikan kondisi istri, seperti tidak melakukan foreplay, tidak mempedulikan apakah istri mengalami kepuasan atau tidak, dan bahkan terjadi tindak kekerasan seksual. Mirisnya lagi, tindakan-tindakan tersebut mendapat justifikasi, selain dari budaya, juga dari teks-teks agama. Dan para perempuan banyak yang tidak bisa melakukan apa-apa kecuali mengikuti dan menerimanya karena takut akan konsekuensi pamali (budaya) dan dosa (agama).

Maka tidak heran apabila hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas perempuan yang telah menikah menganggap bahwa seks dalam pernikahan merupakan kewajiban seorang istri dan hak seorang suami. Oleh sebab itu, sulit bagi mereka untuk menolak hubungan seksual apabila suaminya menginginkan karena takut akan dosa dan pamali. Kedua ajaran ini, yakni agama dan budaya, saling menguatkan satu sama lain tentang wajibnya seorang istri dalam melayani kebutuhan seksual suami, kapanpun suami menginginkan.

Data yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa teks ajaran agama ternyata lebih banyak mempengaruhi para perempuan ini dalam relasi seksualnya dengan suami. Mereka mengetahui ajaran-ajaran agama tentang seksualitas perempuan itu dari membaca buku-buku yang berkaitan dengan pernikahan, kitab-kitab kuning di pesantren dan majlis taklim. Mayoritas yang sampai kepada perempuan ini adalah ajaran-ajaran yang menyatakan bahwa seks dalam pernikahan adalah kewajibannya dan bukan haknya. Padahal, sebenarnya terdapat beberapa teks ajaran Islam yang menyatakan bahwa seks dalam pernikahan adalah hak dan kewajiban kedua belah pihak. Namun sayangnya, teks-teks yang menggambarkan kesetaraan dalam hubungan seksual antara suami dan isteri ini tidak cukup popular,seperti dalam surat al-Baqarah ayat 187 yang menjelaskan tentang relasi kesetaraan dalam aspek seksualitas dalam pernikahan.

Dalam penelitian ini sebenarnya juga ditemukan beberapa perempuan yang mampu menyuarakan pendapatnya tentang hakseksual perempuan dalam pernikahan. Menurut mereka, perempuan juga berhak mendapatkan kepuasan seksual. Mereka bernegosiasi dengan para suaminya agar hubungan seksualnya saling memberi kesenangan dan kepuasan bagi kedua belah pihak. Namunrealitas ini memang sangat sedikit sekali, dari 42 responden, hanya 4 orang yang mampu menyuarakan hal itu.

Pada akhirnya, poin penting dari penelitian saya ini adalah memberikan gambaran tentang pemahaman dan perilaku seksualitas perempuan dalam pernikahan dan sebagai rekomendasi sehingga hak-hak seksualitas mereka dapat diperhatikan dan diakui. [FYI]

Irma Riyani, Ph.D., dosen Fakultas Ushuluddin Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter