(UINSGD.AC.ID)-Bertemu teman lama ataupun berjumpa dengan sosok yang baru kerap mendatangkan situasi bahkan pemahaman yang berbeda. Terlebih jika pertemuan itu didasari oleh hasrat dan niat yang tulus untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan.

Tiba-tiba saja kita merasa menjadi sosok yang berubah. Ada bisikan halus dari pikiran yang menitahkan kita untuk tak gampang memberikan kesimpulan. Ada desis halus dari hati yang mendorong untuk secara suka rela melakukan “epoche” terhadap putusan yang akan kita keluarkan.

Seketika perspektif dan cara berpikir kita lebih maju selangkah. Cakrawala pengetahuan dan wawasan yang kita punya menjadi terbuka. Kita kemudian sadar, prinsif “self sufficiency” adalah sejenis kesombongan dan arogansi. Horizon pengetahuan senyatanya tak sebatas dari cara mata kita melihat tapi juga dari informasi pendengaran lawan bicara yang mungkin tidak kita kenal sebelumnya.

Badaliyya. Inilah perjumpaan yang merubah dan membuat kita menjadi berbeda itu. Sebuah gerakan yanh awalnya diperkenalkan oleh Louis Masignon. Spirit badaliyya dibangun di atas pengalaman akan kehadiran, perjumpaan dan dukungan dari sosok yang bahkan tampak asing di hadapan.

Manusia adalah makhluk yang terlempar ke dunia, begitu orang macam Heideger meyakininya. Dalam kesadaran akan keterlemparannya itu, manusia selaku “being-in-the-world” selalu berakar pada relasionalitas bersama yang lain sebagai “being-there-for-the-other”.

Sumber Karunia

Badaliyya membutuhkan keterbukaan yang akan mengantar fihak-fihak yang terlibat dalam sebuah dialog untuk siap membuka ruang bagi yang lain dan membiarkan yang lain masuk ke dalamnya.

Keterbukaan terhadap kehadiran yang lain bahkan jika yang lain itu tampak asing kata Jean Luc Marion adalah “sumber karunia” yang bisa membantu fihak-fihak yang terlibat untuk membangun dan menemu identitas baru.

Idul Fitri. Peristiwa yang dijumpai di ujung ramadhan dengan ucapan rendah hati untuk saling memaafkan adalah “sumber karunia” itu. Kesadaran untuk saling memaafkan adalah sejenis pengakuan bahwa aku bisa saja salah dan tak sungkan untuk menyampaikan permintaan maaf kepadamu.

Menyampaikan permintaan maaf dan memaafkan adalah cara dimana kita hendak menjadi sosok yang berbeda dan ingin berubah. Mata yang saling menatap. Bibir yang tersenyum dan ujung tangan yang saling bertemu adalah moment yang tidak hanya spiritual tapi juga sosial yang mengabarkan pesan bahwa kita “sedang melebur kekhilafan, kesalahan dan dosa”.

Allahu a’lam[]

Tabik,

Dr. Radea Juli A. Hambali, M.Hum., Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin (FU) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *