Pertumbuhan penduduk Indonesia senantiasa meningkat dari tahun ke tahun. Data dari Biro Statistik Indonesia menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2000 adalah 205.132.458 dan meningkat menjadi 237.641.326 pada tahun 2010. Adapun laju pertumbuhan penduduk Indonesia pada tahun 1990-2000 adalah 1,4 % dan meningkat menjadi 1,49 % pada tahun 2000-2010. Namun bagaimana kualitas generasi yang senantiasa bertambah tersebut? Dari kelompok penduduk mana yang lebih banyak melahirkan generasi Indonesia?
Kesempatan kerja dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi meningkatkan usia menikah dari tahun ke tahun. Data Statistik Indonesia menunjukkan bahwa rata-rata usia menikah pada tahun 1992 untuk perempuan adalah 22 tahun, meningkat menjadi 22,9 tahun pada tahun 2000 dan meningkat lagi menjadi 23,2 tahun pada tahun 2005. Untuk laki-laki, usia menikah mereka cenderung lebih tinggi dari usia menikah perempuan. Yaitu 25,8 tahun pada tahun 1992, meningkat menjadi 26,7 tahun pada tahun 2000 dan meningkat lagi menjadi 26,9 tahun pada tahun 2005.
Namun, kecenderungan umum meningkatnya usia pernikahan ini tidak terjadi pada semua lapisan penduduk Indonesia. Perempuan dari kelompok masyarakat miskin baik di pedesaan atau di perkotaan masih cenderung menikah pada usia dini. Perempuan dari masyarakat ekonomi bawah, baik di pedesaan atau di perkotaan seringkali terancam putus sekolah. Ketika seorang anak perempuan putus sekolah dan tidak mendapatkan kesempatan bekerja, ia rentan terhadap pernikahan dini. Hasil Susenas menunjukkan bahwa masih ada kecenderungan perempuan Indonesia yang menikah pada usia antara 10-15 tahun yang terjadi baik di pedesaan ataupun perkotaan. Di pedesaan, pada tahun 2010 dan 2011 terdapat 15 % dan 13,79 % pernikahan terjadi di usia 10-15 tahun, sementara di perkotaan presentasinya lebih rendah, yaitu 12,26 % dan 11, 52 %.
Menikah pada usia dini berpotensi meningkatkan laju pertumbuhan penduduk lebih cepat karena mereka yang menikah pada usia dini lebih panjang masa reproduksinya, apalagi jika perempuan tersebut tidak menggunakan alat kontrasepsi untuk penjarangan kelahiran. Menikah pada usia dini, terutama di bawah usia 20 tahun, juga sangat berbahaya bagi kesehatan reproduksi perempuan dan rentan terhadap kematian ibu dan anak.
Angka kematian ibu dan anak masih terhitung tinggi di Indonesia. Pada tahun 2012, data menunjukkan bahwa sekitar 9.500 ibu meninggal saat melahirkan serta 157.000 bayi dan 200.000 anak balita meninggal setiap tahun. Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), Jawa Barat merupakan salah satu wilayah dengan angka kematian ibu tertinggi. Pada tahun 2010, angka kematian ibu di Jawa Barat sebesar 2280, Jawa Tengah sebesar 1766, Nusa Tenggara Timur sebesar 642, Banten sebesar 538, dan Jawa Timur sebesar 500. Tahun 2011, angka kematian ibu di Jawa Barat sebesar 837, Jawa Tengah sebesar 668, Jawa Timur sebesar 627, Banten sebesar 250, dan Nusa Tenggara Timur sebesar 208.
Kita dapat menarik benang merah bahwa terdapat dua kecenderungan yang berlawanan. Yaitu meningkatnya usia pernikahan di kalangan perempuan terdidik, terutama di perkotaan, namun masih banyak kasus menikah di usia muda di kalangan tertentu, terutama di kalangan masyarakat ekonomi rendah. Di satu sisi, para perempuan yang terdidik cenderung memiliki perencanaan berkeluarga, misalnya, kapan dan berapa anak yang ingin mereka miliki. Biasanya mereka berencana memiliki maksimal dua anak dan ada sebagian kecil dari mereka yang bahkan memutuskan untuk tidak memiliki anak (lihat misalnya pembahasan utama Femina no 41, 22-28 October 2011, hal 54).
Di sisi lain, perempuan dari keluarga masyarakat ekonomi rendah dan kurang berpendidikan cenderung menikah muda dan memiliki lebih banyak anak karena berbagai alas an seperti putus sekolah, kurangnya pengetahuan dan akses mereka terhadap alat kontrasepsi dan ketidak berdayaan mereka dalam menentukan nasib atas tubuh mereka sendiri. Banyaknya anak tentu saja akan menambah beban ekonomi mereka. Keterbatasan kemampuan ekonomi bisa menyebabkan minimnya suplai gizi bagi anak-anak keluarga ekonomi lemah ditambah lagi ketidak mampuan membiayai sekolah sehingga menyebabkan tingginya drop out sekolah.
Jika kedua kecenderungan yang berlawanan ini dibiarkan, dalam jangka panjang, bisa menyebabkan tingginya kenaikan populasi Indonesia namun berkualitas rendah: kurang gizi, lemah dan tidak berpendidikan. Para generasi berkualitas rendah ini pada masa produktifnya rentan menjadi pengangguran yang tentu saja bisa melahirkan problem social atau kriminalitas yang tidak dikehendaki.
Mereka yang terserap dalam lapangan kerja lebih banyak menjadi buruh murah atau pekerja rumah tangga, baik di dalam atau luar negeri, yang rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan majikan. Atau lebih buruk lagi, mereka rentan menjadi korban human trafficking.
Untuk menghentikan lingkaran kemiskinan dan lajunya perkembangan penduduk yang kurang berkualitas diperlukan langkah preventif. Di antaranya adalah dengan memberikan semacam penyuluhan gratis, terutama bagi perempuan dari keluarga miskin yang drop out atau tidak melanjutkan sekolah tentang kesehatan reproduksi dan pemberdayaan perempuan.
Pemberian beasiswa terhadap masyarakat ekonomi miskin, terutama perempuan, juga bisa menjadi salah satu solusi. Pemerintah Indonesia telah memberikan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang di antaranya bertujuan agar semua anak Indonesia yang berusia 7-15 tahun dapat menyelesaikan pendidikan dasar 9 tahun.
Namun seperti penggunaan dana bantuan lain yang tidak selalu bersih dari korupsi, penggunaan dana BOS juga rentan terhadap korupsi sehingga alokasi dana yang seharusnya memprioritaskan kelompok tidak mampu untuk mendapat bantuan, pada realitasnya tidak selalu dapat dialokasikan kepada mereka yang sangat membutuhkannya. Oleh karena itu, perlu adanya monitoring terhadap penyaluran dana ini, terutama jika ada siswa dari kelompok miskin yang drop out dari sekolahnya. Ada baiknya juga jika dalam penyaluran dana APBN/APBD untuk pendidikan ini melibatkan pihak swasta atau lembaga swadaya masyarakat yang biasanya bekerja dengan penuh dedikasi dan bukan semata hanya ingin menyelesaikan proyek saja.
Selain itu, masih terbatasnya dana pemerintah dalam memenuhi begitu banyaknya penduduk Indonesia yang miskin, membutuhkan partisipasi donor lain yang bisa memenuhi kebutuhan masyarakat miskin yang jumlahnya tidak sedikit.[]
Nina Nurmila, Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SGD Bandung
Sumber, Pikiran Rakyat, 5 Juli 2013