Artificial Intelligence vs Emotional Intelligence

(UINSGD.AC.ID)-Beberapa tahun terakhir, dunia kembali dihebohkan dengan kehadiran perkembangan teknologi, yaitu AI (Artificial Intelligence) Jauh sebelum AI hadir, dunia sudah banyak mengalami perubahan sebagai efek dari kemajuan teknologi komunikasi, yang dengan cepat mengubah tatanan kehidupan umat manusia.

Artificial Intelligence yang pertama kali muncul tahun 1956 di dalam konferensi Darthmouth, namun perkembangannya sangat cepat. Tidak hanya sisi positif, namun juga sisi negatif dari penggunaan  AI ini untuk kepentingan tangan-tangan jahat. Berbagai tindak kriminal dengan menggunakan AI ini mulai terjadi, seperti perdagangan manusia, dijadikan media distribusi narkoba, sampai illegal fishing pun ada.

Di antara bentuk kejahatan ini, telah berhasil dilakukan tindakan oleh Direktorat Intelijen Keimigrasian Indonesia, seperti orang Cina yang memalsukan paspor negara Meksiko, orang Vanuatu yang memakai identitas penduduk orang Indonesia. Tujuannya agar bisa ikut pertandingan One Pride MMA.

Selain tindak kejahatan, ada juga beberapa masalah yang dipicu oleh kehadiran AI, seperti banyaknya manusia yang kehilangan pekerjaan karena kalah bersaing dengan AI. Rentanya data-data yang tersimpan pada sistem, yang kemudian disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Kecanggihan AI ini juga bisa meretas data-data rahasia perbankan, data rahasia negara, sehingga bisa memicu konflik horizontal dan vertikal.

Sudah beberapa tahun terakhir, ketika AI mulai meningkat, orang semakin dimanjakan dengan fasilitas yang didapatkannya, sehingga semakin bergantung. Seolah-olah manusia tidak berdaya, bahkan ada anggapan AI inilah ‘Tuhan’ yang bisa memberikan kebutuhan apa pun umat manusia.

AI bisa untuk membuat informasi-informasi berbau hoaks, demi kepentingan kelompok atau lembaga tertentu dengan cepat dan massif. AI bisa dijadikan senjata ampuh untuk membunuh karakter seseorang, dengan berbagai pembuatan konten porno, sehingga bisa menjatuhkan atau bahan untuk memeras.

Ketergantungan bahkan sudah menjadi candu terahdap AI juga dirasakan para siswa dan mahasiswa. Di lingkungan perguruan tinggi, setelah AI menawarkan berbagai aplikasi yang dibisa dipakai mahasiswa dalam mengerjakan tugas-tugas perkuliahan, dengan cepat dan mudah AI membantu mahasiswa menyelesaikan soal-soal yang berat, tanpa ada upaya kerja keras mengumpulkan bahan atau referensi, tanpa susah payah mempelajari gaya selingkung jurnal, atau tanpa keterampilan menulis sama sekali. AI bisa memandulkan analisis dan kreativitas mahasiswa dalam membuat karya.

AI jelas telah menghilangkan kecerdasan emosional. AI lebih memanjakan orang dalam bekerja. Super instan dan super cepat begitu ditawarkan AI. Orang semakin apatis, serba instan ketika ingin mendapatkan sesuatu, sehingga tidak sabaran, dan ketika gagal mereka mudah putus asa. Jauh sebelum ada AI, orang ketika bekerja, begitu berdarah-darah, penuh emosional, stres, lelah, campur aduk. Proses inilah yang mengasah kepekaan, respek pada orang, dan menghargai akan karya orang lain.

Rasa bahasa yang tidak dimiliki AI. Meskipun manusia pada proses menulis sebuah tulisan dibantu dengan laptop atau komputer, pilihan kata, diksi, kalimat, penekanan dalam tulisan atau angle dalam tulisannya, sama sekali tidak bisa mencerminkan karakter atau watak penulisnya.

Berangkat dari tulisan yang dibuat langsung oleh seorang penulis, pembaca bisa memahami karakteristik atau tipikal penulisannya. Kita bisa melihat bagaimana karakter para penulis dahulu, yang kalau tidak ditulis namanya pun, pembaca akan memahami siapa penulisnya. Apakah periang, pemberani, seorang yang idealis dan lain sebagainya. Namun ketika menggunakan AI, itu semua akan sirna. Tidak ada tulisan yang mencerminkan karakter penulisnya.

Manusia boleh adaptif dengan berbagai perkembangan zaman, AI bisa dipakai untuk membantu melengkapi aktivitas manusia, namun bukan mengendalikan manusia, apalagi sampai manusia menjadikannya segala-galanya. AI buatan manusia, seharusnya manusia yang dibantu olehnya, bukan manusia yang dicelakakan olehnya, apalagi sampai hilang kecerdasan emosional oleh kehadiran AI.

Encep Dulwahab, dosen Ilmu Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Sumber, Ayo Bandung 24 Agustus 2023.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *