Salah satu seruan yang sering kita dengar dalam ceramah-ceramah agama saat sedang menggejalanya musibah COVID-19 adalah anjuran untuk “segera bertaubat”. Anjuran seperti ini jangan dulu dipahami sebagai sikap “sok saleh” atau “sok suci” dari sang penganjurnya, tetapi harus dipahami secara bijak karena di dalamnya sarat kandungan makna.
Untuk memaknai ungkapan itu, penulis mencoba mengaitkan anjuran untuk bertaubat dengan protokol pencegahan dan penanggulangan pandemi COVID-19, baik yang dilaksanakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) maupun Pemerintah Indonesia.
Kita sering mendengar bahwa dalam protokol pencegahan dan penanggulangan COVID-19, salah satunya adalah anjuran “mencuci tangan dengan air yang mengalir”. Lantas apa hubungannya antara anjuran untuk bertaubat dalam versi agama dengan anjuran mencuci tangan dengan air yang mengalir dalam versi WHO?.
Untuk itulah tulisan sederhana ini akan mencoba mengupas hubungan antara mencuci tangan dengan anjuran untuk bertaubat dalam menyikapi musibah COVID-19.
Taubat secara bahasa berasal dari kata “tawaba” yang artinya adalah “kembali”. Taubat dimaksudkan sebagai kembali kepada Allah serta melepaskan diri dari perbuatan dosa atau bahkan menjauhkan niat melakukan dosa.
Taubat berarti meninggalkan dosa karena takut kepada Allah dengan diiringi perasaan menyesal dan menganggap dosa sebagai perbuatan buruk serta memperbaiki perilaku dengan amal soleh. Inti dari taubat adalah perasaan menyesal telah berbuat maksiat, sekaligus niat untuk selalu mengarahkan hati kepada Allah.
Dalam referensi Islam, taubat sering dikaitkan dengan firman Allah SWT yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nasuha (taubat yang semurni-murninya)” (QS. At-Tahrîm: 88).
Ayat tentang taubat itu berlaku untuk semua orang dan untuk semua kondisi, tidak mesti dalam kondisi musibah an-sich, karena manusia tidak lepas dari perbuatan dosa. Karenanya, bertaubat merupakan salah satu amal sholeh yang perintahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya.
Tujuan bertaubat itu sendiri tidak lain adalah agar seorang hamba senantiasa dapat memperbaiki diri dari perbuatan tercela yang telah dilakukan sebelumnya.
Kesadaran untuk bertaubat sesungguhnya dipertaruhkan dengan status “cerdas atau tidaknya” manusia dalam memanfaatkan waktu untuk bertaubat dalam menjalani hari-hari kehidupannya. Analogi untuk mengukur cerdas atau tidaknya seseorang bisa dinarasikan sebagai berikut:
“Hidup manusia tidak ubahnya seperti seorang yang berjalan menelusuri pinggiran sungai yang airnya mengalir jernih. Bagi orang yang cerdas, ketika baru beberapa meter berjalan, kemudian kakinya tiba-tiba terkena kotoran hewan, maka ia langsung mencucinya dengan air sungai yang mengalir di sampingnya tersebut.
Tetapi bagi orang yang kurang cerdas, ketika terkena kotoran, kemudian dalam hatinya berkata: “Ah nanti saja dicucinya kalo sudah sampai tujuan…”. Orang yang kurang cerdas ini tidak menyadari bahwa kematian sesungguhnya kapan saja bisa menjemputnya secara tiba-tiba.
Mungkin saja si pejalan kaki itu belum sampai tujuan, ternyata keburu dipanggil menghadap Allah, sehingga kotoran yang menempel di kakinya belum sempat dicuci”.
Demikian analogi pentingnya menyegerakan taubat dalam kehidupan di dunia ini yang rentan dengan dosa atau kotoran, sementara fasilitas taubat senantiasa tersedia di sampingnya seperti air sungai yang mengalir tadi.
Jika kotoran itu dipahami sebagai dosa, sementara COVID-19 dipahami sebagai resiko kematian yang mengancam siapa saja, maka anjuran untuk menyegerakan bertaubat di masa musibah COVID-19 sesungguhnya merupakan langkah preventif yang signifikan.
Kemudian, jika taubat adalah langkah “preventif keagamaan”, maka Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ataupun lockdown adalah langkah “preventif keselamatan jiwa” yang dilakukan pemerintah. Jika demikian, berarti PSBB ataupun lockdown sesungguhnya mengandung irisan agama.
Mengapa dikatakan beririsan dengan agama? Karena dalam pandangan agama, bahwa orang yang bertaubat justru dianjurkan untuk me-lockdown diri dengan menjauhi keramaian manusia (social distancing), karena social distancing sangat penting guna menjaga kemurnian taubat seseorang.
Selanjutnya uraian kita akan lebih menarik lagi kalau PSBB, lockdown, atau social distancing kita kaitkan dengan dunianya kaum sufi. Dalam persepektif sufi ada istilah uzlah dan khalwat yang esensinya mirip dengan PSBB, lockdown, atau social distancing.
Secara etimologi uzlah berarti “mengasingkan diri dari keramaian atau kerumunan manusia, sedangkan arti kata khalwat adalah konsentrasi mengosongkan jiwa dalam kesendirian agar terhindar dari pengaruh-pengaruh negatif yang datang dari pergaulan sosial.
Antara uzlah dan khalwat memiliki hubungan makna yang berkelindan. Uzlah adalah “mengasingkan” dan khalwat adalah “mengosongkan”. Maksudnya “mengasingkan” diri dari keramaian manusia dan “mengosongkan” diri dari pengaruh negatif keramaian manusia.
Kaum sufi mengambil sikap ini sebagai langkah preventif untuk menjaga kemurnian taubatnya, karena dikhawatirkan keramaian dalam pergaulan sosial bisa memancing munculnya segala hal yang tidak bermanfaat bahkan mendorong adanya segala bentuk kejahatan dan maksiat.
Dalam referensi Islam, kita tentu sangat mengenal dengan kegiatan uzlah dan khalwat yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW di Gua Hira. Turunnya ayat al-Qur’an yang pertama yang berbunyi “Iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq” dan seterusnya adalah ketika Rasulullah sedang beruzlah atau berkhalwat di Gua Hira itu.
Jadi, kalau boleh dianalogikan dengan konteks pencegahan dan penanggulangan pandemi COVID-19, maka yang dicontohkan Rasulullah itu ternyata tidak jauh dari apa yang kita sebut social distancing, PSBB atau lockdown dalam pencegahan wabah COVID-19. Dengan kata lain social distancing, PSBB atau lockdown bisa dimaknai sebagai uzlah dan khalwat.
Uzlah dan khalwat itu merupakan langkah penting untuk memuluskan dan menjaga taubat seseorang, karena uzlah dan khalwat akan mendatangkan kesucian lahir dan bathin. Dalam referensi kaum sufi, kesucian bathin akan tercipta setelah kesucian lahir diperoleh melalui wudhu.
Wudhu itu sendiri dilakukan dengan menggunakan air yang mengalir. Jika dikaitkan dengan anjuran WHO untuk mencuci tangan dengan air mengalir, maka berarti langkah pencegahan COVID-19 merupakan bagian dari ritual wudhu yang menggunakan air yang mengalir.
Dari sini sangat jelas bahwa anjuran untuk bertaubat bisa disebut sebagai “protokol agama”, sedangkan anjuran untuk mencuci tangan dengan air mengalir bisa disebut sebagai “protokol kesehatan”.
Jika keduanya disebut sama-sama sebagai “protokol”, maka keduanya berarti memiliki hubungan yang sangat erat dan berkelindan dalam penanggulangan pandemi virus Corona yang mematikan itu.
Protokol kesehatan menyuruh mencuci tangan dengan air mengalir, sedangkan protokol agama menyuruh bertaubat dengan pendekatan uzlah dan khalwat dengan senantiasa menjaga wudhu (dengan air mengalir). Itulah pertalian “benang merah” antara anjuran segera bertaubat (versi agama) dengan anjuran mencuci tangan dengan air mengalir (versi kesehatan).
Dengan demikian, dalam penanggulangan COVID-19, selain pendekatan kesehatan, pendekatan keagamaan pun patut dijalankan. Pertimbangannya, virus Corona adalah juga makhluk Tuhan dan pasti tunduk atas kehendak-Nya.
Dengan bertaubat, berdoa, beruzlah dan berkhalwat yang senantiasa menjaga kesucian wudhu dengan air yang mengalir, maka diharapkan wabah COVID-19 berhenti dan diberhentikan Allah. Kemudian umat manusia bisa kembali hidup normal seperti sediakala. Âmiin……
Prof. Dr. H. Muhtar Solihin, M.Ag adalah Guru Besar pada Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung dan Wakil Kordinator-1 Kopertais Wilayah-II Jabar-Banten.
Sumber, Antara Banten Jumat, 12 Juni 2020 20:52