Andil Pesantren Terhadap Bangsa

[www.uinsgd.ac.id] Suasana liburan semester genap dan proses pembangunan kampus tak membuat civitas akademika UIN SGD Bandung sepi dari aktivitas belajar, menuntut ilmu untuk menambah wawasan, pengetahuan sebagai bukti nyata atas terwujudnya Tri Dharma Perguruan Tinggi. 

Salah satunya kegiatan yang digagas Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Media Pendidikan dengan menggelar Diskusi Buku “Pesantren Studies” Juz 2a karya Ahmad Baso yang menghadirkan narasumber Ahmad Baso (Penulis buku) Dr. Bambang Qomaruzzaman, M.Ag (Budayawan dan Dosen Fakultas Ushuluddin) yang dipandu oleh Irawan, M.Hum (Pengamat Pendidikan dan dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan) di Auditorium Utama, Kamis (5/7).

Meskipun hanya dihadiri sekitar 30 peserta yang terdiri dari mahasiswa, dosen, pengasuh Pondok Pesantren di Bandung ini mendapatkan antusias dari peserta yang hadir.

Menurut Baso kehadiran buku ini merupakan kelanjutan dari kajian NU Studies yang tidak membahas secara mendalam dan fokus tentang basis kepesantrenan nusantara dari sisi sejarah yang memiliki andil dalam terwujudnya kesatuan bangsa dan negara Republik Indonesia ini.   

Perlu diketahui ada dua cara dalam membaca orang-orang di pesantren; “Pertama, keberadaan santri yang berusaha belajar ilmu alat, seperti nahwu, sharaf, balaghah, mantik dan lain lain. Kedua, kehadiran mustami yang gemar bersyair, dan membaca hikayat,” tegasnya

Mengenai pesantren yang diidentikan dengan mengajarkan seputar pendidikan Islam kata Baso “Sangat sempit jika kita membicaran Pesantren hanya melihat dari segi pendidikan Islam saja. Akan tetapi harus melihatkan embel-embel kenusantaraan yang erat kaitannya dengan kondisi sosial, budaya, politik dalam menjaga, bahkan mempertahankan nusantara,” keluhnya

Mari kita lihat polemik kebudayaan pesantren. “Kehadiran Kyai Sadra yang hanya mengajarkan bismillah bisa mempertahankan kebudayaan Jawa. Dengan berpedoman kepada ballighu ‘anni walau ayah ajaran Bismillah yang tidak berkutat pada makna harfiah, tetapi lebih mendalaminya dengan memberikan arti perkata-kata. Akhirnya bisa mempertahankan kebudayaan,” jelasnya

“Untuk itu, diperlukanlah Islam yang membumi di wilayah nusantara dengan berusaha menghadirkan, dibaca dan diamalkan karena kelahiran pesantren memiliki karakter yang khas di nusantara,” saranya     

Berguru menjadi bukti atas khasan tradisi Pesantren. “Tradisi berguru, bukan seperti dosen atau profesor karena santri tidak bergantu kepada Kyai, mandiri, sederhana, dan menjadi problem solver di tengah-tengah masyarakat. Tanpa kemandirian dan memiliki kepribadian memberikan solusi atas masalah yang dihadapi niscaya santri ini tidak akan memiliki pesantren di kemudain hari,” ujarnya

Dengan bergaul bersama anak-anak bangsa dari Jawa, Sumatra, Aceh, Makasar yang kuat tradisi kepesantrenan tidak ada jaringan pesantren nusantara yang berhasil membuat pemukiman jawi di Arab. “Rasanya orang-orang Arab akan hambar bila tidak mengutip atau menyebarkan kitab Al-Jawi saat membicarakan Islam,” paparnya

“Oleh karena itu, tradisi berguru ini untuk mengembalikan dan berusaha menyelamatkan Nusatara,” tambahnya  

Mengang diakui Bambang peranan pesantren dalam memciptakan bangsa sangat penting. “Jika kita membicarakan sejarah bangsa tidak melibatkan kehadiran pesantren itu a historis karena keberadaan Indonesia bukan dilihat dan melibatkan suku-suku yang berbeda, tetapi dimulai dari pesantren,” katanya

Sebagai contoh jauh sebelum Isalm hadir di Indonesia pada abad 13 dan kemerdekaan yang sering dibangkitkan dari Sutomo. “Untuk priangan ada Syekh Quro di Karawang yang masih keturunan Ali yang giat menyebarkan islam melalui pesantren. Sampai sekarang bukti peninggalanya masih ada. Atau di Garut ada Syekh Godog Syeh Sunan Rohmat Suci, makam Prabu Kiansantang,” paparnya

Penyebaran Islam di tanah Sunda itu ada dua jalur; Pertama, Selatan, biasanya melalui jaringan pesantren dengan milihat jejak, patilasan, seperti orang yang berjiarah dari Banten ke Pamijahan atau dari Pamijahan ke Banten pasti akan mewati jejak syekh, kyainya. Kedua, Utara, biasanya melalui kekuasaan, seperti yang terjadi dari Cirebon ke Banten,” jelasnya

Sebagai conto ada anggapan Islam NU di Jabar itu berbeda dengan Jawa. “Dulu di Tasik pernah adanya orang yang secara ekstrim menolak Hasyim karena keislamanya sangat berdeda dengan Jawa, tetapi dari Cirebon,” tambahnya     

Membaca buku ini kita akan menemukan sumbangan pesantren terhadap pembangunan bangsa yang cukup penting dan banyak. “Untuk itu, keberadaan pesantren menjadi sangat penting dari bangsa Indonesia ini,” pungkasnya. [Ibn Ghifarie]

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *