Anak Kita Harus Jadi Generasi yang Kuat

Salam. Tantangan Islam di Indonesia ke depan sangatlah berat. Isu-isu penting seperti Revolusi Industri 4.0, pendangkalan akidah, persaingan global, dan politik dunia adalah gambaran penting untuk memproyeksi masa depan agama ini. Padahal, Islam dituntut menjadi agama yang dianut oleh khaira ummah, umat terbaik di muka bumi ini. Dan menjawab tantangan berat tersebut adalah bagian dari ajaran Islam itu sendiri.

Ada beberapa titik masuk untuk sekedar menawarkan konsep menjawab tantangan masa depan Islam di Indonesia, salah satunya adalah menjadikan anak kita sebagai generasi yang kuat. Ada pepatah Arab yang sudah akrab di telinga, “Pemuda kita saat ini adalah tokoh-tokoh di masa yang akan datang”. Titik masuk ini dianggap penting karena saat ini Indonesia sedang mendapatkan bonus demografi, yang mana prosentasi pemudanya lebih banyak.

Mempersiapkan anak kita menjadi generasi yang kuat tentu saja akan mempengaruhi potret Islam di Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya. Kekhawatiran terhadap dampak munculnya generasi tidak kuat atau lemah di masa yang akan datang bahkan menjadi tema pembicaraan al-Qur’an sendiri, yaitu firman Allah SWT.:

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.” (Q.S. al-Nisa’/4:9).

Perintah untuk mewapadai munculnya generasi lemah pada ayat itu diungkapkan dalam bentuk kata kerja (fi`il) mudhari yang diawali dengan “lam amar”, lam yang memberikan fungsi perintah (liyakhsya), sehingga terjemahannya “hendaklah mereka takut”. Perintah dengan model seperti ini memberikan fungsi makna bahwa perintah tersebut berlaku saat itu juga dan terus berlangsung ke depannya, serta harus menjadi obsesi seorang muslim.

Ada beberapa kosa kata dalam Bahasa Arab yang terjemahannya takut, yaitu “khasy-yah”, “khauf”, “rahbah”, “wajl”, dan “haibah”. Masing-masing memiliki penekanan maknanya. Mari kita tengok perbedaannya menurut Ibnu Qayyim dalam kitab Madarij al-Salikin:

“Khauf” adalah rasa takut yang secara spontan diikuti gerakan fisik. Misal, lari karena takut harimau. “Khasy-yah” rasa takut yang dihadapi dengan tenang sambil menyusun strategi untuk menghindarinya. ”Rahbah” lari dari obyek yang ditakuti dengan mata terus mengawasi obyek tersebut. “Wajl” bergemuruhnya hati karena takut kepada makhluk. “Haibah” takut karena melihat kewibawaan obyek yang ditakuti, takut yang disertai pula dengan pemuliaan dan kecintaan.

Terlihat bahwa diksi “khasy-yah” sengaja dipakai ayat ini untuk memberikan petunjuk bahwa kekhawatiran/ketakutan munculnya generasi muslim yang lemah di masa yang akan datang harus dihadapi dengan tenang, jangan dihindari atau diabaikan, melainkan terus mempersiapkan berbagai strategi agar rasa takut tersebut tidak terjadi.

Masih menurut Ibnu Qayyim, “khasy-yah” biasanya digunakan untuk menggambarkan rasa takut orang yang ilmunya luas dan mendalam (ulama), sebagaimana ayat “innama yakhsyallah min ibadihil-ulama’. Dengan demikian, maknanya lebih dalam lagi: Para pakar muslim harus memiliki kekhawatiran ini dan segera menyusun berbagai strategi untuk mengantisipasinya.

Perhatikan ungkapan “wa-lsyakhsya al-ladzina…” (Dan hendaklah orang-orang—yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka—takut). Obyek (maf`ul) yang perlu ditakuti tidak disebutkan. Itu sebabnya, para mufasir berbeda-beda dalam menentukan obyek tersebut.

Tidak-disebutkannya obyek pada ayat ini dapat kita baca bahwa dampak yang diakibatkan munculnya generasi lemah itu sangat banyak, bisa bersifat vertikal maupun horizontal. Dampak vertikal menyangkut pertanggung-jawaban yang harus disampaikan kepada Allah. Dampak horizontal menyangkut ekses yang terkait dengan relasi antar umat, mulai inferiority, ditindas, dijajah, terbelakang, kemiskinan, kejumudan, dan lain sebagainya. Dampak ini bisa berbeda-beda sesuai konteks zaman dan tempat.

Preposisi “law” (seandainya) sebenarnya berfungsi untuk pemaknaan proyeksi masa depan atau membaca masa depan, atau membaca saat ini untuk melihat masa depan. Peristiwa/fenomena/kejadian itu belum hadir, tapi potensinya sudah dapat dilihat dengan pembacaan yang mendalam.

Ada dua strategi yang ditawarkan ayat ini. Pertama, bertakwa kepada Allah. Ini terkait dengan penerjemahan nilai-nilai transenden-keilahian dalam formula-formula empirik, rumusan-rumusan strategi berkenaan dengan mempersiapkan generasi rabbani, generasi yang kuat secara iman dan imun. Kedua, qawlan syadidan. Tafsir al-Jalalain menafsirkannya dengan “ucapan yang benar”. Tafsir al-Muyassar menafsirkannya dengan “qawlan muwafiqan lil-adl wal-ma`ruf”. Ini terkait dengan penerapan strategi yang sudah dirumuskan. Penerapannya harus dilakukan secara benar, adil, dan akurat, serta disesuaikan dengan konteks.

Apa strategi yang ditawarkan Nabi untuk mengantisipasi kekhawatiran di atas. Ada tiga, “Ajari anak-anak lelakimu berenang dan memanah, dan ajari menggunakan alat pemintal untuk wanita.” (H.R. Al-Baihaqi). “Berenang” adalah simbol kekuatan fisik, skill, menguasai medan, dan pengetahuan. “Memanah” adalah simbol keakurasian, fokus, tepat sasaran, konsentrasi, dan sumber daya. “Memintal” simbol menyusun strategi, merapihkan yang berantakan, menyelesaikan masalah, ketelitian, mempersiapkan program.

Mari kita persiapkan anak-anak kita menjadi generasi kuat di masa depan. Dan ini adalah sebuah amal jariah yang luar biasa dahsyatnya.

Subhanallah. Begitu dalam dan indah makna yang diperlihatkan ayat di atas. Wallahu a`lam bish-shawab.

Prof. Dr. H. Rosihon Anwar, M.Ag, Wakil Rektor I UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Tulisan ini merupakan Kajian ke-69 dalam Gerakan Peduli Bahasa Al-Qur’an

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter