Agen-agen Islam moderat di Indonesia seperti Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), dan ormas-ormas Islam moderat sudah waktunya mengkampanyekan Islam moderat ke luar negeri. Tokoh-tokoh Islam moderat di Indonesia perlu lebih intensif lagi “keluar kandang” untuk menyebarkan gagasan-gagasan Islam rahmatan lil’alamin lewat berbagai media.
Demikian disampaikan dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung Ahmad Ali Nurdin pada Tadarus Litapdimas Seri ke-6, yang berlangsung secara online, Selasa (12/05). Tadarus yang kali ini mengangkat tema “Multi-Track Diplomacy Moderasi Beragama”, membahas isu moderasi beragama di Indonesia yang berkaitan dengan perkembangan Islam di luar negeri.
Menurut Ali Nurdin, penyebaran gagasan Islam moderat keluar negeri bisa bekerjasama dengan lembaga-lembaga setempat yang menaruh perhatian terhadap penyebaran Islam moderat. Salah satunya adalah Central for Islamic Thought and Education (CITE) yang bejuang melawan imej negatif tentang Islam di Australia. Penelitian yang dipresentasikannya kali ini adalah terkait lembaga tersebut.
Rekomendasi penelitiannya yang lain adalah perlunya penerbit-penerbit buku keislaman di Indonesia yang mempunyai visi penyebaran Islam moderat untuk melakukan ekspansi penerbitan-penerbitan buku berbahasa internasional untuk konsumsi publik dunia, seperti Australia.
“Kemenag, PTKI, ormas-ormas dan tokoh Islam juga perlu bekerja bersama-sama dengan Kemenlu dalam merumuskan strategi diplomasi penyebaran Islam moderat supaya bisa mewarnai kebijakan luar negeri Indonesia dan mempromosikan Islam Indonesia sebagai Islam yang rahmatan lil’alamin,” tambahnya.
Peneliti lainnya yang mendapatkan kesempatan mempresentasikan hasil riset terbaiknya adalah Agus Salim dari UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Penelitiannya mengenai pengembangan Islam moderat keluar negeri melalui Kementerian Luar Negeri Indonesia mengungkapkan istilah “netralitas aktif” dalam kebijakan diplomasi Indonesia.
“Sebelumnya netralitas diartikan sebagai sikap menjauhi identitas agama tertentu dalam retorika formal negara. Saat ini, dengan mengambil sikap proaktif dalam menyuarakan identitas dan norma agama, ternyata Kemenlu tetap dapat menjaga pakem netralitas tersebut. Ini dapat terjadi karena Kemenlu tidak lagi memandang netralitas sebagai ‘dinding pemisah’ namun lebih sebagai ‘kaca cermin’ yang dengannya Kemenlu mencari titik temu dan kompatibilitas antara nilai-nilai agama yang substantif dan inklusif dengan nilai-nilai kebangsaan dan norma-norma perdamaian dan keamanan internasional,” ujarnya.
Penelitian Agus Salim juga memberikan klarifikasi mengenai makna dan signifikansi Islam moderat dalam kebijakan luar negeri pada negara-negara Muslim. Selama ini ada pandangan umum yang mengatakan bahwa pernyataan identitas Islam moderat para pemimpin dunia Musim tidak lebih dari statemen aliansi geopolitik yang menunjukkan kerjasama mereka dengan kebijakan luar negeri Amerika dalam perang melawan teror. Padahal konstruksi identitas Islam moderat juga memiliki muatan subtansi berupa nilai-nilai normatif Islam yang inklusif; norma-norma agama yang memiliki titik temu dengan nilai-nilai agama dan nilai universal lainnya.
Dalam kesempatan itu, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya Ahmad Zainul Hamdi yang menjadi pembahas penelitian dua dosen terbaik ini mengatakan, multitrack diplomacy atau diplomasi multijalur yang menjadi tema tadarus kali ini merupakan bentuk diplomasi soft power yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia. Multitrack diplomacy adalah sebuah cara pandang terhadap proses diplomasi internasional sebagai sebuah sistem.
“Multitrack diplomacy tidak hanya mengandalkan para diplomat resmi, namun memanfaatkan berbagai stake holders untuk melakukan kerja-kerja diplomasi sesuai dengan kapasitasnya,” ujarnya dalam kegiatan tadarus yang dipandu langsung oleh Abd basir, Kepala Seksi Pengabdian Masyarakat pada Subdit Penelitian dan Pengabdian kepada masyarakat Direktorat PTKI.
Menurut Zainul Hamdi, multitrack diplomacy atau diplomasi multijalur terdiri dari sembilan jalur: Pemerintah, NGO dan Profesional; Bisnis atau Perdagangan; Perorangan atau Individu; Penelitian, Pelatihan dan Pendidikan; Kegiatan Advokasi; Agama; Dana; dan Komunikasi dan Media.
“Hingga kini, agama menjadi salah satu jalur diplomasi yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia dalam menjalankan polugrinya. Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi menyatakan bahwa ada lima prioritas polugri Indonesia 2019-2024. Dari lima prioritas ini, agama kembali masuk ke dalam skema polugri, terutama pada poin ‘Peningkatan kontribusi Indonesia dan kepemiminan’ karena di situ ada isu countering extremism,” tambahnya.
Tadarus yang diikuti oleh sekitar 500-an peserta secara live lewat aplikasi zoom dan 800-an lewat youtube Pendis Channel berlangsung cukup dinamis. Karena kesempatan untuk berinteraksi langsung sangat terbatas, para peserta memberikan respon tertulis lewat dua aplikasi online itu.
Dalam rangka mengembangakan Islam moderat ke luar negeri, para peserta tadarus antara lain menekankan peran TKI/TKW di luar negeri. Yuni Setya Hartati dari STAINU Temanggung menekankan perlunya perhatian kepada TKI dengan memfasilitasi kegiatan keagamaan yang moderat. Sementara Ali Harahap menyatakan siap menjadi da’i/da’iyah moderat bagi TKI jika program ini dijalankan.
Gayung bersambut, pembahas Ahmad Zainul Hamdi mengungkapkan, sebagian TKI/TKW justru terlibat dalam pernyebaran paham-paham radikal, sehingga perhatian kepada para penyumbang devisa ini menjadi tak terelakkan dalam rangka penyebaran Islam moderat ke seluruh dunia.
Kepala Seksi Penelitian Mahrus El-Mawa mewakili direktorat PTKI dalam kesempatan itu mengatakan, moderasi beragama sudah masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Penelitian-penelitian bertema moderasi beragama yang dilakukan di lingkungan PTKI diharapkan bukan hanya untuk Kementerian Agama, tetapi juga kementerian dan lembaga lain yang terkait. (Anam)
Sumber, Kemenag Rabu, 13 Mei 2020 05:58 WIB