Agama Islam dan Perilaku Koruptif

Ilustrasi perilaku koruptif / foto: kpk

UINSGD.AC.ID (Humas) — Mayoritas masyarakat di Indonesia beragama Islam, tentu pada bulan Ramadhan ini mayoritas umat Islam sedang melaksanakan salah satu rukun Islam, yakni berpuasa yang diwajibkan satu kali setiap tahun. Dalam ajaran Islam terdapat kewajiban beribadah kepada Allah SWT. yang bersifat harian, yakni shalat lima waktu, mingguan, shalat jum’at bagi muslimin, tahunan yakni ibadah haji dan shaum Ramadhan. Semua ibadah tersebut bertujuan supaya umat Islam menjadi hamba Allah yang bertakwa, yang melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya.

Apakah pelaksanaan semua ibadah itu memengaruhi perilaku umat Islam? Tentu saja ada pengaruhnya, tetapi akhlak yang dipengaruhi oleh ajaran Islam di Indonesia kurang terang benderang, agama seolah hanya hiasan hidup yang sekadar formal ceremonial, karena yang paling terang benderang dipertontonkan kepada masyarakat bukan orang-orang yang berakhlak yang kehidupannya dipengaruhi oleh nilai-nilai ajaran Islam, bahkan awal Ramadhan tahun ini pun bangsa Indonesia dihebohkan oleh berbagai mega korupsi yang nilai kerugiannya negara sangat pantastik.

Salah satu fenomena sosial yang selalu menjadi racun bagi masyarakat di berbagai negara adalah perilaku korupsi, fenomena ini sudah menjadi masalah sosial yang dihadapi oleh sebagian besar negara di dunia. Sejarah korupsi setua usia manusia. Sejalan dengan perubahan kemampuan manusia, cara melakukan korupsi pun bervariasi bergantung pada cara manusia licik manusia melakukan korupsi, semakin canggih manusia merumuskan rekayasa kehidupan, semakin canggih pula pola dan model korupsi yang dilakukannya.

Menurut lembaga survey Internasional Political and Economic Risk Consultancy yang bermarkas di Hongkong negara Indonesia merupakan salah satu negeri terkorup di Asia. Indonesia terkorup di antara 12 negara di Asia, diikuti India dan Vietnam. Thailand, Malaysia, dan Cina berada pada posisi keempat. Sementara negara yang menduduki peringkat terendah tingkat korupsinya adalah Singapura, Jepang, Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan.

Agama yang Terpuruk oleh Hawa Nafsu
Islam agama yang paling sempurna bukan jaminan para penganutnya memiliki akhlak yang sempurna, bahkan bisa jadi “para penjual agama” dengan argumen profesionalisme akan bertambah banyak, yang menyampaikan ajaran Islam dengan penuh canda, bernyanyi dengan musik yang semakin menjauh dari tujuan menstranfer ilmu agama dan membentuk akhlak masyarakat, hanya sekadar hiburan selebihnya bertujuan komersil.

Lebih mengerikan dari itu, agama dijadikan alat politik dan keuntungan ekonomi dengan mendalili perbuatan korupsi dan penyimpangan konstitusi negara demi tegaknya kekuasaan oligarkhi. Sehingga pelaku korupsi merasa aman melakukan perbuatannya karena ada perlindungan agamis, meyakini aman fi dunya wal akhirah.

Akibat hawa nafsu duniawi ini, seolah ajaran Islam tidak memengaruhi pembentukan akhlak yang mulia. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi (United Nations Convention Against Corruption) menegaskan bahwa negara-negara peserta konvensi prihatin atas keseriusan masalah yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga, nilai nilai etika, keadilan, mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan supremasi hukum. Bahkan, hubungan antara korupsi dan bentuk-bentuk kejahatan lain banyak terjadi, khususnya kejahatan terorganisasikan dan kejahatan ekonomi termasuk pencucian uang.

Selain itu ketakutan lebih besar adalah pada kasus-kasus yang melibatkan bagian penting dari sumber-sumber penerimaan negara yang dapat mengancam stabilitas politik dan pembangunan berkelanjutan diberbagai negara-negara tersebut di dunia. Kenyataannya korupsi bukan lagi merupakan masalah lokal, tetapi sebuah fenomena intenasional yang memengaruhi seluruh masyarakat dan perekonomian. (Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Korupsi, 2015).

Dalam perspektif agama, korupsi dipandang sebagai dampak dari lemahnya nilai-nilai agama dalam diri individu, oleh karenanya upaya yang harus dilakukan adalah memperkokoh internalisasi nilai-nilai keagamaan dalam diri individu dan masyarakat untuk mencegah tindakan korupsi kecil (petty corruption), dan korupsi besar (grand corruption). Sedangkan secara sosiologis, korupsi dipandang sebagai sebuah masalah sosial, masalah institusional dan masalah struktural, korupsi terjadi pada semua sektor dan dilakukan oleh sebagian besar lapisan masyarakat, sehingga korupsi dilihat sebagai penyakit sosial (patologi sosial). Dengan demikian, seolah agama terpuruk dan tidak memberi pengaruh kepada perilaku penganutnya dikarenakan akal dan hawa nafsu manusia dikendalikan oleh mentalitas yang rusak.

Idealnya di Indonesia tidak ada koruptor, tidak ada maling, penipu, penjilat, dan kejahatan jenis lainnya, tetapi justru karena ini Indonesia maka agama Islam amat dibutuhkan, karena agama mayoritas saja belum begitu mampu memberikan kesadaran hukum yang mendalam apalagi agama kaum minoritas. Bisa jadi pelakunya berpeci, fasih membaca kitab suci Al-Quran, pendidikannya tinggi, dan sehari-hari berpenampilan nyantri. Tidak bermaksud mengeneralisasi, akan tetapi setan menggoda manusia tidak pandang buku, mau jenggotan atau klimis tanpa kumis, setan terus mengajak kepada kemunkaran, terutama korupsi yang menimbulkan kesengsarakan masyarakat.

David Jancsics dalam Interdisciplinary Perspectives on Corruption (2014) mengulas konsep korupsi dengan tiga kategori utama yaitu:

1. Model aktor rasional : Pendekatan ini memandang bahwa korupsi dihasilkan dari analisis biaya atau manfaat aktor perorangan. Korupsi dilihat sebagai keputusan paling rasional yang dilakukan oleh aktor untuk memaksimalkan keuntungan pribadi mereka. Korupsi bisa saja terjadi ketika biaya yang ia keluarkan untuk menempati suatu posisi atau jabatan lebih besar daripada insentif (gaji) yang ia dapatkan. Sehingga solusinya yang dilakukan adalah dengan meningkatkan gaji kepada pegawai dan memperberat sanksi tindakan korupsi.

2. Model struktural : Pendekatan strukturan berfokus pada faktor eksternal (kekuatan luar) sebagai penyebab tindakan korupsi. Menurut pendekatan ini, korupsi didorong oleh norma dan kendala sosial material dimana struktur yang ada memberikan kesempatan untuk melakukan praktik korupsi. Studi perbandingan lintas negara berpendapat bahwa korupsi lebih tinggi di negara-negara di mana bentuk-bentuk agama yang lebih hierarkis seperti Katolik, Ortodoksi Timur, dan Islam berlaku, sedangkan tingkat korupsi cenderung lebih rendah di negara-negara dengan proporsi populasi Protestan yang lebih besar.

3. Model relasional : Model relasional menekankan kajian korupsi pada interaksi sosial dan jaringan antar aktor korup. Model ini mengkaji aktivitas ilegal dengan berfokus pada hubungan interpersonal seperti bentuk pertukaran non-moneter, timbal balik, bantuan, dan interaksi lainnya antara aktor korup ditingkat kelompok kecil. Korupsi dilihat sebagai jaringan pertukaran informal dibalik struktur organisasi formal.

Pemberian hadiah menyebabkan adanya hadiah-hadiah yang harus dilunasi dimasa depan. Model analisis ini barangkali dapat tdierapkan pada hubungan antara pengusaha yang memberikan dukungan materil kepada seorang calon pejabat negara yang kemudian harus dibalas ketika ia sudah menjabat dengan memberikan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan.

Korupsi merupakan bagian atau spesies tertentu dari imoralitas, faktor penentunya adalah kaitan tindakan atau praktik tertentu terhadap standar integritas tata kelembagaan. Tata kelembagaan atau institusi yang merupakan mekanisme penegakan hukum yang mengatur perilaku seorang bertindak dalam ranah kegiatan tertentu, dengan sanksi eksternal dan formal.

Pada akhirnya korupsi yang terjadi bukan lagi disebut sebagai demoralisasi melainkan imoralisasi karena tingkat korupsi yang bisa dikatakan lazim adanya. Korupsi sudah pada taraf yang cukup meresahkan dan sangat merusak moral manusia, dan moral telah diabaikan oleh manusia korup.

Kita masih tetap optimis, Islam yang ajarannya diyakini sempurna akan menjadi solusi bagi bangsa ini untuk mengikis habis perilaku munkar dengan cara pembentukan akhlak yang mulia sebagaimana akhlah Nabi Muhammad saw. Semoga.

Beni Ahmad Saebani, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *