Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum (PMH) Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Sunan Gunung Djati Bandung menggelar Webinar Nasional bertajuk “Moderasi Bermadzhab di Tengah dan Pasca Pandemi Covid-19” melalui aplikasi zoom, Rabu (22/07/2020). Event kolaborasi dengan Asosiasi Dosen Perbandingan Mazhab dan Hukum (ADPMH) se-Indonesia ini diikuti lebih dari 300 peserta, yang berasal dari akademisi Perguran Tinggi Keislaman Negeri dan Swasta seluruh Indonesia dan non-akademisi.
Prof Hj Aisyah, Ph.D (Guru Besar Perbandingan Mazhab UIN Alaudin Makassar); Assc. Prof H Wawan GA Wahid, Lc, M.Ag (Dosen Perbandingan Madzhab UIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta) tampil sebagai narasumber dengan keynote speaker Prof Dr M Arskal Salim, GP, M.Ag. (Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama), Prof. Dr. H. Mahmud, M.Si (Rektor UIN Bandung), Dr. Fauzan Ali Rasyid, M.Si (Dekan FSH UIN Bandung) yang dipandu oleh Siti Hanna, Lc, MA (Sekretaris ADPMH, Ketua Prodi PM UIN Jakarta).
Ketua Pengurus Pusat Asosiasi Dosen Prodi Perbandingan Madzhab dan Hukum (ADPMH) se-Indonesia, Dr Ayi Yunus Rusyana, M.Ag, menjelaskan Webinar ini diselenggarakan dalam rangka Launching Pengurus Pusat ADPMH se-Indonesia masa bakti 2020-2024. “Pengurus Pusat ADPMH baru terbentuk, setelah dosen Prodi PMH PTKIN se-Indonesia melaksanakan musyawarah secara daring pada bulan Juni 2020. Saya Kaprodi PMH FSH UIN Bandung, alhamdulillah mendapatkan amanah terpilih menjadi ketua Pengurus Pusat ADPMH. Pengurus ADPMH terdiri dari perwakilan Dosen Prodi PMH yang ada di PTKIN dan PTKIS se-Indonesia,” tegasnya.
Menurutnya Asosiasi Dosen ini penting, karena di abad 21 ini, skill yang diperlukan bukan lagi sebatas berkompetisi, melainkan harus terampil berkolaborasi, bekerjasama untuk meningkatkan kualitas PTKIN/PTKIS, dan terutama meningkatkan kompetensi dosen baik di bidang Pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat (Tridharma Perguruan Tinggi). “Namun secara organisasi, Asosiasi Dosen PMH ini perlu disupport dan dibina, oleh masing-masing PTKIN dan PTKIS, dan terutama oleh Direktur DIKTIS Kemenag,” jelasnya.
Dosen Perguruan Tinggi Keislaman Negeri dan Swasta, terutama dosen Perbandingan Madzhab dan Hukum, dituntut peran dan kontribusi akademik, bagi pengembagan dan implementasi hukum Islam di Indonesia terutama di tengah dan pasca pandemic covid-19 ini. “Banyak kontroversi maupun tantangan yang dihadapi oleh umat Islam terkait pelaksanaan ajaran agama Islam dalam suasan pandemic ini. Hingga timbul banyak pertanyaan, misalnya: Bagaimana Hukum Islam beradaptasi di tengah situasi pandemi covid-19? Bagaimana mengimplemetasikannya pasca pandemic? Karakteristik mazhab fikih seperti apa yang dapat merespon covid-19 dengan tepat dan adaptif?” paparnya.
Hukum Islam yang Adaptif
Webinar Nasional ini merupakan bagian dari ikhtiar Asosiasi Dosen Perbandingan Madzhab dan Hukum (ADPMH) untuk berkontribusi dalam dan menjawab pertanyaan-pertanyaan atau tantangan-tantangan tersebut. “Jangan sampai ada kesan, hukum Islam tidak mampu beradaptasi dengan tantangan zaman, dan apalagi, dianggap penghambat modernitas, sains dan teknologi. Oleh karena itu, dengan tema moderasi bermazhab di tengah dan pasca covid-19 diharapkan webinar ini dapat menjadi media yang tepat dan efektif untuk merumuskan dan menggagas pemikiran hukum Islam yang fleksibel dan adaptif tanpa kehilangan ruh Syariah yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah,” tandasnya.
Bagi Prof. Arskal sangat mengapresiasi kehadiran Asosiasi Dosen PMH se-Indonesia dalam rangka meningkatkan kualitas mutu dan lembaga Perguruan Tinggi, sehingga melahirkan pemikiran Islam moderat, inklusif dan progresif.
“Eksistensi suatu lembaga tergantung pada sumber daya manusianya. Coba refleksikan, konsep bermadzhab, beragama pendapat di tengah kondisi pandemi Covid-19. Inilah point penting dari adanya prodi, dosen PMH yang diharapkan dapat melahirkan pemikiran moderat, rasional, inklusif. Misalnya pengalaman pada saat berbuka puasa, pendapat berdasarkan terbenem matahari, Islam hadir, daerah terdekat, asal dari negaranya. Hal ini menjadi sebuah kekayaan khazanah Islam yang fleksibel, adaptif, cocok dengan kondisi dan semangat zaman” paparnya.
Untuk itu pengembangan pemikiran Islam moderat, unklusif dan progresif ini menjadi penting di Indonesia, sehingga dapat melahirkan pemikiran Islam seperti Munawir Sajali.
Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof. Dr. H. Mahmud, M. Si, menuturkan salah satu kontribusisi positif atas kehadiran Asosiasi Dosen PMH ini diharapkan ikut andil dalam menyelesaikan persoalan masyakarat yang real, misalnya kemacetan yang terjadi di Kota-kota besar. “Kehadiran fiqh lalu lintas harus menjadi solusi dari para fuqoha terhadap segala persoalan umat, bangsa, karena fiqh itu sangat dinamis,” tegasnya.
“Saya kira tepat ketika kita mendapatkan arahan dari Direktur yang juga alumni Prodi PMH ini, mudah-mudahn keberadaan Prodi, lembaga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, pemerintah, bangsa dan agama,” ujarnya.
Sementara itu, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Dr. Fauzan Ali Rasyid, M.Si., mempertegas pentingnya acara webinar ini. Dia menyatakan bahwa Fiqih itu bersifat fleksibel dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman, termasuk dalam menghadapi pandemi covid-19 ini. “Yang paling penting, ijtihad Fikih selalu mengacu kepada maqashid al-syari’ah, yaitu menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga keturunan, menjaga harta dan menjaga akal. Dengan adanya ADPMH ini, para dosen Fikih dan Ushul Fikih dapat bekerja sama dan berijtihad kolektif di dalam melakukan ijtihad kontemporer bagi kepentingan masyarakat,” demikian disampaikan Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum.
Menurut Prof. Aisyah, Hukum Islam yang adaptif dengan kondisi dan situasi masyarakat itu sangat mungkin, mengingat adanya prinsip fleksibilitas di dalam filsafat Hukum Islam. “Ibnu Qayyim al-Jauziyah, misalnya, menekankan qaidah bahwa hukum Islam dapat berubah seiring perubahan waktu, tempat dan keadaan. Oleh karena itu, MUI dan beberapa ormas keagamaan mereformulasi hukum Islam di tengah pandemic covid-19 ini,” jelasnya.
Assc. Prof. Wawan Gunawan menegaskan bahwa kondisi darurat seperti masa pandemic sekarang, dapat dikategorikan sebagai situasi darurat yang dapat menggeser pelaksanaan ritual fikih. Melaksanakan shalat Jum’at di Mesjid secara berjamaah, meskipun dapat dikategorikan “menjaga agama”, akan tetapi dalam kondisi pandemic perlu mengutamakan “menjaga jiwa,” sehingga dapat digeser pelaksanaannya di rumah atau bahkan secara virtual.
“Di sinilah pentingnya moderasi bermadzhab di tengah dan pasca pandemic ini, sehingga tidak terlalu rigid dan kaku dalam memahami dan melaksanakan hukum Islam,” paparnya.