“Kepergian” seseorang, terlebih jika orang itu menjadi panutan tentang akhlak dan keluhuran ilmu selalu menyisakan duka bahkan luka. Perginya seumpama meninggalkan lubang yang menganga. Perginya semisal meninggalkan jejak yang mungkin gagap untuk bisa dicontoh oleh orang-orang yang berada di belakangnya.
Saya bisa memahami “derita” dan sakit hati yang ditunjukkan dengan mata yang berkaca-kaca ketika mengenangnya. Rasa kehilangan yang mendalam. Suasana batin yang rapuh karena perginya sang panutan yang mempertontonkan kebersahajaan. Sesal yang menggumpal dengan linangan air mata yang menetes tiada habis.
Yang pergi adalah magnet yang memancarkan uswah penuh pesona. Ia menunjukkan laku spiritual yang matang yang tidak sekadar berbingkai luasnya ilmu tapi juga mengalir melalui bukti yang bisa dikenali secara jelas dalam laku dan polah sehari-hari. Sikap yang tidak dibuat-buat seperti kebanyakan politisi. Sikap yang tulus ketika menghadapkan muka ke siapa saja dengan tatapan kasih sayang bukan kebencian.
Mbah Moen. Orang tua yang memaksa berdiri menyanyikan Indonesia Raya padahal untuk jalan pun ia dibantu kursi roda. Orang tua yang berhalis tebal dengan sorot mata sejuk yang bisa meluluhkan siapapun yang bertatap muka dengannya.
Mbah Moen. Saya hanya membaca sepotong kisahnya. Mendengarkan murid dan orang dekat bertutur tentangnya. Menyimak sekilas pengakuan orang-orang yang pernah berjumpa dan bersua dengannya.
Mbah Moen. Orang mengenangmu sebagai sosok yang baik. Sosok sempurna yang memiliki kematangan spiritual dan keluasan intelektual. Berdiri di tengah dan mengayomi siapapun. Bahkan dalam situasi sengketa, orang meminta suaramu untuk mendamaikan dan memberi jalan keluar. Mungkin karena itu juga kharismamu menjadi pusat dan tujuan rebutan kuasa dan tahta.
”Mautul ‘alim mautul ‘alam, matinya seorang ‘alim adalah matinya alam,” begitu kata Gus Mus. Sekaligus juga berarti matinya seseorang yang berilmu adalah padamnya cahaya ilmu. Gelap.
Kata-kata Gus Mus, adalah juga isyarat untuk tak berlama-lama membiarkan kegelapan menguasai hidup kita. Bangkit, jaga nyala yang masih hidup, dan mari nyalakan pelita berikutnya!
Mbah Moen. Lahul fatihah…
Dr. Radea Juli A. Hambali, M.Hum, dosen Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung