UINSGD.AC.ID (Humas) — Pada setiap perjalanan (safar), terlebih dalam perjalanan haji dan umrah seorang mukmin diajarkan untuk melafalkan lafadz basmallah khusus dan hawqolah, yaitu kalimat “Bismillahi tawakkaltu ‘alallâh, la haula wa laa quwwata illabillahil ‘aliyyil ‘adziim” yang artinya “Dengan nama Allâh aku bertawakal hanya kepada Allâh, tiada daya dan kekuatan kecuali atas kehendak Allâh yang Maha Tinggi Maha Agung”.
Selain itu bagi yang hafal, ada untaian do’a tambahan permohonan kebaikan, ketaqwaan, dan keselamatan dalam perjalanan juga perlindungan dari berbagai keburukan yang mungkin terjadi.
Konsep tawakal seringkali dipahami paduan antara ikhtiyar dan do’a. Padahal jika direnungkan lebih dalam, tawakal secara bahasa berasal dari kata wakkala berarti mewakilkan atau mendelegasikan. Secara filosofi dapat dimaknai sebagai menyandarkan tentang suatu urusan dari satu pihak pada pihak lain. Tawakal dapat dipahami sebagai pemasrahan suatu urusan hanya kepada Allâh bukan kepada makhluk.
Namun walaupun proses mewakilkan itu hanya kepada Allâh SWT. Namun tetap, syarat dan ketentuan berlaku yaitu dengan patuh dan pasrah pada hukum yang Allâh tetapkan bagi manusia yaitu turut mengalir pada takdir yang seharusnya. Hukum dalam bentuk aktivitas berpikir rasional, bertindak realistis, dan berkeyakinan bahwa semua kehendak, datang dari Allâh SWT. Saat sudah bertawakal kepada Allâh tidak lagi tawakal ke yang lain seperti ke supir, pilot, atau masinis pada saat safar, karena hakikat keahlian dan kemampuan supir, pilot, dan masinis adalah titipan ilmu dan kemampuan dari Allâh SWT.
Pada ruang lingkup lebih luas, tawakal pada pimpinan tempat kerja atau usaha berpotensi penyimpangan keyakinan seorang mukmin. Tawakal hanya pantas diberikan kepada yang Maha Tahu dan Maha Berkuasa. Kita tidak tahu dan tidak punya kuasa serta kemampuan menerbangkan pesawat, maka kita wakilkan kepada pilot. Tetapi pantaskah pilot menerima mandat segalanya hingga menjamin pasti selamat? Tentu saja tidak pantas, dan yang pantas hanya Allâh yang telah memberi ilmu dan kemampuan pada pilot. Tawakal merupakan ikrar “surat kuasa” dari makhluk kepada Allâh SWT. Firman Allâh: “..Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allâh. Sungguh, Allâh mencintai orang-orang yang bertawakal”. (Surat Ali ‘Imran: 159).
Sementara lafadz hawqolah menunjukan penegasan kepasrahan secara totalitas bahwa segala yang ada dan terjadi pada diri kita atas kehendak Allah. Ibnu Katsir menyebut di dalam tafsirnya lafadz ini disebut al-baqiyat al-sholihat. Firman Allah: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan di dunia tetapi amal kebajikan (al-baqiyat ash-shalihat) yang terus menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 46).
Dzikir dan do’a yang senantiasa terhubung qalbu melampaui perhiasan dunia yang akan menderaskan pahala dan kebaikan dunia dan akhirat. Jika saja terjadi takdir yang tidak dikehendaki manusia, bagi seorang mukmin yang sudah memasrahkan diri kepada Allah akan mendapat hikmah dibalik setiap musibah dan balasan kebahagiaan di akhirat. Dalam keseharianpun hakikatnya setiap manusia sedang dalam perjalanan di planet bumi yang berputar pada porosnya berjalan pada garis edarnya sehingga seyogyanya senantiasa diisi dengan berdzikir dan berdo’a sebagaimana akhlak dalam safar kepada Allah SWT. Wallahu a’lam
Rohmanur Aziz, Pembimbing Tours & Travel Mumtaaz Bandung dan Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam (Islamic Community Development) FDK UIN Sunan Gunung Djati Bandung.